12. How Are You?
Beberapa hari berlalu sejak kejadian di gang belakang stasiun. Sejak itu, Attar tidak pernah lagi bertemu dengan Sofi, baik di stasiun, kereta, maupun di kampus. Saat itu barulah Attar merasa menyesal karena tidak menanyakan nomer ponsel gadis itu.
Malam itu, karena kondisi Sofi yang nampak syok, juga karena bajunya yang sobek, Attar tidak bisa membiarkan gadis itu pulang sendiri sehingga ia memutuskan mengantar Sofi pulang. Sepanjang perjalanan, mereka sama-sama terdiam. Hanya sesekali terdengar Sofi memberi arahan menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah gadis itu, Sofi segera masuk ke rumahnya setelah mengucapkan terima kasih. Attar bahkan belum sempat berkata apa-apa. Dan dia menyesalinya sekarang.
Meski sangat sadar bahwa dia tidak perlu memikirkan keadaan gadis itu, tapi pikiran tentang gadis itu tidak bisa dicegah. Attar barangkali bisa mencari gadis itu di kampusnya, tapi fakultas gadis itu terlalu luas dan belum tentu ia akan bertemu dengan orang yang mengenal gadis itu. Attar juga bisa saja datang lagi ke rumah gadis itu, tapi jika gadis itu nanti menanyakan tujuannya datang, dia harus bilang apa? Masa dia harus bilang ”Apa kabar? Saya khawatir”? Kan cheesy banget.
Tapi barangkali semesta mendengar kegundahan hatinya sehingga pada suatu sore akhirnya Attar melihat gadis itu di dalam kereta jurusan Bogor-Jakarta yang biasa dinaikinya saat pulang dari kampus. Gadis itu berdiri di seberang pintu kereta yang ditujukan untuk turun-naik penumpang. Tangan kirinya berpegangan pada tiang di samping kursi, sementara tangan kanannya memeluk tas ranselnya di depan dada. Kepalanya menunduk, dan sebagian wajahnya tertutup poni dari rambutnya yang digelung asal-asalan dengan hair stick sederhana yang lebih mirip sumpit mi ayam. Sebuah tas kain yang kelihatannya berisi buku yang cukup tebal diletakkan diantara kedua kakinya. Tanpa banyak berpikir, Attar segera menghampiri gadis itu.
”Sofia...” Attar berdiri di hadapan gadis yang sedang menunduk itu, dan memanggil namanya. Dengan kaget Sofi mengangkat kepala dan membuka matanya. Dengan mata yang sedikit berair karena baru bangun tidur, Sofia mendapati wajah seorang lelaki di hadapannya.
Saat mata mereka bertemu, barulah Attar tahu mengapa ia tidak bisa melupakan Sofi. Perempuan itu memiliki profil wajah standar. Tidak jelek, tapi juga tidak cantik. Penampilannya juga biasa saja, khas mahasiswi dengan blouse atau kemeja dan celana panjang berbahan katun atau jeans. Tidak modis. Tapi mata penuh air mata yang dilihatnya ketika mereka pertama kali bertemu mampu membuat Attar tidak bisa melupakannnya.
”Mas, eh Bang ...” Sofi menyapa dengan kikuk sambil menegakkan posisinnya.
”Kamu tidur?”
Sofi tersenyum gugup sambil menggaruk bagian belakang kepalanya. Hal itu membuat sebagian rambut yang digelung asal-asalan itu jatuh ke sisi wajahnya.
”Sambil berdiri?” Attar lanjut bertanya, berusaha tidak terdengar gugup akibat melihat gerakan sederhana barusan yang tiba-tiba saja membuat Sofi nampak seksi di matanya.
Sofi nyengir malu sambil mengangguk.
”Mas, eh, Abang naik dari mana? Tadi saya nggak lihat Mas, eh Abang di gerbong ini?”
”Panggil Mas juga boleh,” Attar berkata sambil tersenyum ketika mendengar gadis itu beberapa kali bingung memanggilnya. ”Saya tadi di gerbong belakang. Ini saya jalan ke depan karena 3 stasiun lagi sampai di stasiun tujuan.”
Sofi mengangguk.
”Kamu apa kabar?” Attar bertanya kemudian.
”Baik, Mas, eh Bang. Sekali lagi, makasih banyak bantuannya malam itu, Bang.”
Attar masih melihat tepi bibir Sofi, bekas sobek saat berkelahi malam itu. Tapi selain itu, wajah gadis itu memang tampak baik-baik saja.
”Kalau lebih nyaman panggil Mas, nggak usah memaksa panggil Abang.”
Sofi tertawa sambil menggaruk kepalanya lagi. Ini cewek ketombean?
”Wajah Mas, eh, Abang bukan wajah Jawa. Jadi kayaknya emang lebih pantes saya panggil Abang. Sori, Bang, salah melulu.”
Attar tersenyum menanggapi.
”Kamu bisa tidur sambil berdiri?”
”Udah biasa, Mas, emm Bang.”
”Nggak pernah jatuh?”
”Ya tidurnya nggak pulas-pulas amat lah.”
”Pernah kelewatan stasiun tujuan?”
”Untungnya saya selalu terbangun tepat waktu.”
”Pantesan suka turun buru-buru.”
Lalu mereka berdua tersenyum bersama.
”Pantesan tasnya suka ketinggalan di kereta.”
Lalu senyum Sofi memudar.
”Dan itu bukan setiap ada Abang,” kata Sofi sambil merengut.
Attar mengerutkan dahinya, bingung dengan jawaban Sofi yang nggak nyambung.
”Saya bukan sengaja meninggalkan tas di kereta buat caper ke Abang.”
Attar mencerna sesaat pernyataan Sofi, tapi kemudian dia menutup mulutnya supaya tidak tertawa keras di dalam kereta yang penuh penumpang itu.
”Jadi itu kenapa wajah kamu jutek sama saya waktu kita bertemu di rumah saya?”
Wajah Sofi berubah. Jadi canggung. Tiba-tiba dia sadar sudah salah bicara.
”Kamu salah paham. Bukan begitu maksud pertanyaan saya waktu mengembalikan tas kamu di stasiun tempo hari,” kata Attar sambil nyengir lebar.
Sofi manyun, tapi diam saja. Daripada lebih banyak ngomong dan salah lagi.
”Pantes sekarang kamu taruh tas diantara kedua kaki kamu ya? Supaya nggak ketinggalan lagi? Supaya nggak dikira caper sama saya?”
Sofi makin manyun, dan tetap diam.
Tiba-tiba Attar merasa gemas melihat gadis itu.
Saat itu terdengar informasi di kereta bahwa sesaat lagi kereta akan sampai di stasiun Cawang, satu stasiun sebelum stasiun tujuan Attar dan Sofi.
”Saya turun disini. Pamit ya Bang,” kata Sofi sambil menunduk mengambil tas yang ada diantara kedua kakinya.
Attar menaikkan alisnya. ”Lho? Kita sama-sama turun di Tebet kan?”
”Sekarang saya turun di Cawang, Bang.”
”Kenapa?”
Sofi tidak menjawab.
”Karena kejadian waktu itu? Masih trauma lewat sana?” Attar bertanya lagi.
Dia bohong. Katanya baik-baik aja. Baik apanya?
Gadis itu tersenyum ketika melangkah maju. Kini posisi mereka makin dekat. Lalu gadis itu berkata sambil tersenyum, ”Permisi, Bang. Saya turun duluan ya.”
Karena tidak ada tanda-tanda Attar menggeser tubuhnya, sementara kereta hampir berhenti di stasiun Cawang, Sofi terpaksa berjalan menyamping, menyelipkan tubuhnya diantara Attar dan penumpang lain supaya bisa sampai di depan pintu turun saat kereta itu berhenti.
Tapi belum lagi Sofi berhasil menyelipkan tubuhnya, gerakannya terhenti. Tangan Attar memegang lengannya. Bukan dengan genggaman yang kuat, tapi cukup untuk membuat Sofi berhenti karena kaget. Momen kekagetan itu dimanfaatkan Attar untuk merebut tas kain yang dipegang Sofi.
”Kita turun di Tebet. Saya antar kamu pulang.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top