11. Are You Okay?

”Abang kenal sama mbak Sofia?”

Lagi-lagi Sarah bertanya saat abangnya sedang menggendongnya ke kamar. Ini pertanyaan ketiga dalam lima menit. Si Abang memutar mata dengan malas, tapi Sarah terus saja menggodanya.

”Nggak kenal,” jawab lelaki berwajah Timur Tengah dengan mata cokelat itu.

”Lho? Tadi kata mbak Sofia, dia berhutang budi sama Abang?”

”Cuma pernah ketemu. Dan gue membantunya.”

”Ohhh...”

Sarah mendesah kecewa. Kirain mereka saling kenal. Sarah sudah terlanjur senang punya bahan untuk meledek abangnya, yah ternyata mereka cuma pernah ketemu.

”Dia keren banget tadi pas nolongin aku. Aku jadi pengen belajar bela diri juga deh, Bang.”

Si Abang hanya bergumam menanggapi.

”Punya kakak ipar kayak mbak Sofia pasti keren deh Bang.”

Bodo amat!

”Tapi tipe ceweknya Abang mah yang cantik-cantik ya, bukan yang keren ya?”

”Cerewet amat sih mulut! Yang keseleo itu kaki apa lidah lo sih?”

”Bang Attar!”

Sarah berteriak karena si Abang serta merta melemparnya ke tempat tidur, alih-alih meletakkan Sarah yang kakinya masih sakit dengan perlahan.

 

* * *


Langit sudah gelap ketika Attar turun dari commuter line di stasiun terdekat dari rumahnya. Ia sedang menuju ke tempat parkir stasiun kereta ketika dia merasakan tas yang digendongnya di dada bergetar. Sebelum masuk ke tempat parkir, ia menepi dan mengambil ponselnya dari dalam tas. Sebuah pesan terbaca, berasal dari ibunya yang memintanya mampir membeli martabak bangka yang dijual di belakang stasiun. Karenanya ia berbalik arah dan menuju tempat penjual martabak bangka yang dimaksud sang ibu.

Ketika ia berbelok di gang belakang stasiun, saat ia sudah melihat kios penjual martabak bangka kesukaan ibunya, Attar mendengar suara berisik di gang kecil di sebelah kanannya. Hal itu membuat perhatiannya teralih dari tukang martabak. Dia melihat enam orang laki-laki di gang kecil itu. Dan seorang perempuan bertubuh kecil.

Penerangan di gang tersebut tidak terlalu baik. Dan Attar merasakan aura yang tidak menyenangkan dari kumpulan orang itu. Dia bisa saja tidak peduli dan pura-pura tidak melihat lalu pergi melipir langsung ke tukang martabak. Tapi kenyataannya dia melihat perempuan itu. Wajahnya tertimpa cahaya dari satu-satunya lampu jalanan di gang itu. Dan Attar merasa mengenal wajah gadis itu. Itulah yang membuatnya tidak bisa pura-pura tidak melihat.

”Jadi lo, cewek brengsek yang gangguin kerjaan anak buah gue?” Attar melihat seorang lelaki bicara dengan nada mengancam, sambil berjalan menuju perempuan itu, berusaha memojokkannya.

Attar melihat bahwa lelaki yang sedang bicara itu bukan yang badannya paling besar, atau yang wajahnya paling sangar diantara para lelaki lain. Jika asumsinya benar, keenam laki-laki itu sepertinya adalah preman. Tapi tidak seperti kelima lelaki lainnya, lelaki yang baru saja bicara itu tidak terlihat seperti preman. Dengan penerangan di gang yang seadanya, wajah lelaki itu bahkan bisa dibilang tampan dengan kulit coklat khas terbakar matahari. Tapi mendengar caranya bicara, Attar menyimpulkan bahwa kemungkinan pria itu justru adalah pemimpin para preman.

”Sori nih Bang, anak buah Abang yang duluan gangguin gue,” Attar mendengar perempuan itu menyahut.

Untuk ukuran badan sependek itu, perempuan itu berani juga. Tapi mengingat cerita adiknya bahwa perempuan itu memiliki kemampuan bela diri, tidak terlalu mengherankan jika perempuan kecil itu punya nyali menghadapi si kepala preman.

”Bohong Bang!” kata seorang lelaki lagi yang berkepala plontos. ”Cewek ini yang selalu datang ganggu kerjaan kita. Sok pahlawan menolong anak-anak itu. Dua kali Bang.”

”Bang, plis deh, malu sama badan gede. Masa beraninya malak anak SMP, Bang? Ga malu sama tato?”

Jadi bukan cuma Sarah, gadis itu pernah menolong anak lain juga?, pikir Attar

”Gue kasih saran aja nih. Cewek kecil kayak lo nggak usah sok pahlawan.” Kali itu si ketua preman bicara sambil melangkah mendesak sehingga posisi gadis itu terpojok.

”Gue kasih saran aja nih Bang. Kurang-kurangin dosa lah. Inget punya Ibu dan istri, inget nanti punya anak. Berhenti menjahati perempuan dan anak-anak, Bang. Syukur-syukur kalau Abang berhenti menjahati semua orang.”

Attar menggertakkan gigi mendengar kata-kata gadis itu. Dalam keadaan terdesak dan tidak menguntungkan, bisa-bisanya dia menasehati preman-preman itu? Waras nggak sih tuh cewek?

Berhadapan dengan gadis itu, kini wajah si ketua preman terkena cahaya lampu jalanan. Membuat Attar bisa melihat wajah kejam si ketua.

Tanpa aba-aba, tangan si ketua mengambil dagu si gadis. Refleks, si gadis yang kaget segera menepis tangan itu. Membuat si ketua preman tertawa dengan suara dingin.

”Nggak cantik. Nggak seksi. Tapi boleh juga. Masih segelan kayaknya.”

Attar bisa melihat wajah gadis itu terkesiap. Gadis itu pasti mengerti maksud kata-kata si ketua preman. Apalagi setelah mendengar kekehan kecil dari para anak buahnya.

”Heh! Jangan kurang ajar lo ya!” Wajah gadis itu mengeras. Suaranya lantang, tapi Attar mendengar suara itu bergetar.

Si ketua preman memberi kode kepada kelima anak buahnya, dan sebelum si gadis sempat bertindak, keempat preman itu sudah membekuk gadis itu. Satu orang membekap mulut dan dan mengunci leher si gadis. Ketiga orang lainnya mengikat tangan dan kaki si gadis dengan susah payah karena gadis itu terus meronta. Dan satu orang sisanya menangkap sebuah kunci yang dilemparkan si ketua preman.

”Siapin mobil,” kata si ketua kepada anak buahnya yang menerima kunci mobil. Si anak buah bergegas pergi dari gang itu.

Si ketua kembali menatap gadis yang meronta-ronta itu dengan tatapan dingin dan meremehkan. Tanpa peringatan, dia merobek kemeja gadis itu hingga kancingnya terlepas. Gadis itu menjerit, tapi suaranya teredam oleh tangan salah seorang preman. Matanya menatap nanar dan ngeri.

”Kita bawa ke markas. Lumayan, buat olahraga malem-malem.” Suara itu terdengar dingin dan mengancam.

Attar tahu dia tidak punya waktu lagi untuk menelepon polisi, memanggil satpam atau sebagainya. Dia hanya punya sepersekian detik untuk berpikir sebelum akhirnya dia melemparkan sampah kaleng soda kosong ke kepala salah seorang preman.

Seketika perhatian kelima preman itu teralih sehingga memberi waktu kepada si gadis untuk menggigit tangan preman yang membekap mulutnya dan melepaskan diri dari preman itu. Dengan tangan yang terikat di depan badannya, si gadis masih bisa meninju salah seorang preman lainnya hingga tersungkur. Tapi saat dia ingin melarikan diri, dia lupa bahwa kakinya masih terikat sehingga dia jatuh terjerembab.

Konsentrasi para preman yang terpecah dimanfaatkan Attar untuk melumpuhkan preman botak yang tadi kepalanya kena kaleng soda. Tapi kemudian, saat preman yang lain berhasil memukulnya jatuh, Attar baru sadar bahwa kemampuan bela dirinya standar-standar saja. Dia jadi menyesal kenapa sok jago begini. Tapi dia sudah tidak punya waktu untuk menyesal. Terlanjur cari perkara, yaudah bonyok sekalian aja. Syukur-syukur kalau bisa keluar hidup-hidup dari gang itu.

Saat menghindar dari pukulan preman berambut gondrong, sudut mata Attar menangkap si gadis yang baru saja berhasil melepaskan ikatan di kakinya. Saat itu dia tahu bahwa itu waktu yang tepat.

Attar sekali lagi merunduk menghindari pukulan preman lain yang bertato, lalu ia berlari menghampiri si gadis yang sedang menyambar tasnya. Tanpa aba-aba, dia segera berlari menghampiri si gadis, menyambar tangannya, lalu mengajaknya berlari. Otaknya memerintahkannya untuk berlari secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya, menuju jalanan yang ramai dengan orang. Attar yakin para preman itu tidak punya nyali berkonfrontasi dengan banyak orang. Tapi belum genap lima langkah berlari, tangan yang digenggamnya terlepas, dan sebelum dia benar-benar sadar, Attar melihat si gadis meninju wajah si ketua preman. Attar sudah melihat si ketua preman menghadang mereka, sehingga dia sudah berencana untuk berlari dengan menghindarinya. Siapa sangka si gadis malah sengaja menghampirinya dan meninjunya.

“Brengsek!”

Attar syok mendengar kata-kata makian yang keluar dari bibir gadis itu. Bibir itu bergetar. Antara marah dan takut. Jadi sebelum si gadis menghancurkan rencananya untuk melarikan diri, Attar segera menyambar tangan gadis itu lagi dan menariknya berlari pergi.

Untung tidak berapa jauh, mereka sampai ke jalanan yang banyak orang berlalu lalang. Meski demikian, dengan tetap berlari karena khawatir gerombolan preman itu akan nekat mengikuti, Attar menarik tangan si gadis untuk mengikutinya ke parkiran motor di belakang stasiun kereta.

Ketika mereka sampai dengan napas ngos-ngosan di dekat tempat parkir stasiun, Attar baru menyadari kancing kemeja gadis itu yang terbuka. Tangan gadis itu menggenggam bagian depan kemejanya kuat-kuat, mencoba menutupi sebisa mungkin. Menyadari hal itu, dengan cepat Attar melepas jaketnya, menyampirkannya asal-asalan ke pundak si gadis, lalu merapatkan ritsletingnya.

Are you okay?”

Akhirnya Attar bertanya, sambil berusaha meredakan napasnya yang ngos-ngosan.

Gadis itu masih menunduk dengan bahu gemetar.

Are you okay ...” Attar mengulang pertanyaannya, “...Sofia?”

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top