ʙᴀʙ ᴛɪɢᴀ
"Pakai ini, El." Suara berat Kara disusul oleh gerakannya memasangkan sebuah sweater padaku. Udara memang menjadi lebih dingin dari sebelumnya karena jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan ketika kami memutuskan untuk kembali.
Kara tidak bicara apa-apa. Sejak pengakuannya telah mengambil potretku secara diam-diam dan apa yang telah kami lakukan sebelumnya, aku tidak banyak bicara, pun menjawab ketika dia meminta izin untuk menyimpan fotoku di dalam kameranya dan permintaan maafnya atas kejadian tadi, meski dia mengatakan bahwa ia tidak menyesali ciuman itu karena ia menganggapnya sebagai sebuah pernyataan perasaan.
Dengan ponsel Kara yang ada padaku, akhirnya aku berhasil menelpon Luna. Vinka menangis dan meminta maaf ketika ditelepon. Ternyata, mereka tidak kembali ke penginapan karena sibuk mencariku disegala sudut dan hampir melaporkan kehilanganku pada polisi. Aku sempat meminta maaf, meski tidak mengatakan sepenuhnya bahwa aku menikmati liburan disaat mereka panik mencariku ke segala tempat.
Satu jam perjalanan aku habiskan mengobrol bersama teman-teman di telepon. Sesekali Kara menoleh dan ikut tersenyum ketika aku bercerita pada Luna dan Vinka. Akan tetapi ia tidak bersuara hingga mobilnya berhenti di depan penginapan.
Di depan, sudah ada Luna, Vinka, dan Rania yang menungguku pulang. Mereka berhambur memelukku ketika aku turun dari mobil Kara. Jadilah drama itu dimulai, Vinka kembali menangis meski sejak di telepon tadi ia sudah menangis, begitu juga Rania dengan ocehannya dan Luna yang meneliti seluruh tubuhku sebelum pandangannya tertuju pada Kara.
Aku menoleh dan Kara melambaikan tangannya pada kami berempat.
"Siapa lo? Lo bawa ke mana temen gue?" Luna berkacak pinggang, pura-pura berani meski tingginya hanya sampai sebahu Kara.
"Dia Kara. Dia yang bantuin gue seharian ini."
Kara mengulurkan tangannya di depan Luna, tetapi langsung disambar cepat oleh Rania. "Gue Rania, temennya Chya dari SMA."
"Dhiwangkara."
"Oh My God! Dari namanya aja udah ganteng!"
Aku menepuk jidat mendengar ucapan Rania, sedangkan Kara hanya tersenyum tanpa menjawab.
"Oh gitu. Kalo gitu makasih deh." Luna menjawab ketus. Dari semua temanku, memang Luna yang paling protektif. Terbukti, setelah itu dia langsung mengajakku dan yang lain untuk masuk.
Aku melambaikan tangan hendak berpamitan sebelum Kara menahan tanganku. "Gue boleh ngomong sesuatu sebelum kita pisah?"
"Mau ngomong apa? Enggak ada apa-apa, kan? Lo enggak diapa-apain sama ini orang, kan, Chya?" Luna berdiri di antara aku dan Kara.
"Kita bisa ketemu lagi setelah hari ini?" tanya Kara setelah merasa terdesak oleh sikap Luna.
Jujur saja aku bingung harus menjawab apa. Jika boleh jujur aku nyaman bersama Kara. Akan tetapi, apa semua ini tidak terlalu cepat? Kami bahkan hanya mengenal kurang dari dua belas jam.
Aku menatap Luna untuk meminta bantuan memberi jawaban pada Kara. Luna hanya mengedikkan bahu, sementara Vinka dan Rania mengode bahwa aku harus setuju dengan permintaan Kara.
Kembali menatap Kara, aku mengangguk pelan sembari mengulas senyum tipis. Aku lihat ia bersorak riang sebelum melewati Luna dan meraih tanganku. Aku menahan tawa ketika melihatnya tertawa menatap wajahku.
"Lo balik lusa, kan? Minggu pagi? Sabtu malam, di Kedai Kopi Margomulyo, alun-alun utara, gue tunggu di sana, ya? Gue bakal nunggu di sana sampe lo dateng. Lo nikmatin aja liburan lo sama temen-temen dulu."
Aku hanya bisa menggigit bibir bawah ketika mendengar apa yang Kara katakan. Sembari mengangguk pelan, aku membalas genggaman tangannya sambil berusaha menetralkan detak jantungku. Ini gila! Dhiwangkara adalah satu-satunya pria yang dapat membuatku terlihat bodoh di depannya.
Tidak berlangsung lama, Kara melepaskan genggaman tanganku dan melangkah mundur. Ia melambai pada Luna, Vinka, juga Rania untuk berpamitan sebelum memasuki mobilnya.
"Thanks for today."
Aku hanya bisa mengangguk mendengar ucapannya sebelum mengingat bahwa jaket dan handphone-nya masih ada padaku.
"Kara! Jaket sama handphone-nya?"
Kara menurunkan kaca mobilnya dan menatapku. "Simpan aja. Balikin sabtu malem nanti pas kita ketemu, ya! Inget. Jangan dijual handphone-nya."
Ia berlalu begitu saja meninggalkan aku yang kini ditatap oleh sinis oleh Luna, dan jenaka oleh Vinka dan Rania. Seolah mereka mengatakan Cie-Chya-udah-punya-gebetan!
"Siapa Kara tuh, Chya? Lo ketemu di mana cowok modelan begitu?" tanya Rania ketika kami melangkah masuk ke dalam kamar di penginapan.
Di kamar yang terdapat dua buah kasur ukuran double, aku memutuskan untuk mandi ketika Luna memilih menyeduh kopi sachet yang kami beli di minimarket. Rania dan Vinka sedang menggunakan sheetmask saat aku duduk di samping Luna dan menyeruput kopi yang dia seduh.
"Jadi? Siapa Kara?" tanya Luna.
"Bu-bukan siapa-siapa." Aku membuang muka, menghindari tatapan sinis Luna.
"Jadi si bukan siapa-siapa itu bisa bikin Chya sampe merah gitu mukanya." Rania melepas sheetmask dan mengubah posisi yang sebelumnya terlentang menjadi tengkurap, melipat tangannya di bawah dagu.
"Muka lo enggak bisa bohong, Chya. Dia orang Jogja? Bisa LDR-an emangnya?" tanya Vinka yang sudah melepas masker dan mengenakan cream malam.
"Tinggalnya di BSD. Di sini liburan juga sama temen-temennya," jawabku pelan.
"Gilaaa! Jodoh parah, sih, itu mah! Dari sekian waktu dan banyaknya orang yang jalan-jalan ke Jogja, lo ketemu sama Kara. Fix jodoh." Rania menjentikkan jarinya kemudian terkikik.
"Jadi sabtu malem lo mau ketemu dia? Sendiri? Lo belum kenal-kenal banget loh. Apa enggak bahaya?"
"Yaaa ... gue, kan, bisa minta anter sama lo, Lun."
Luna hanya bisa memutar bola matanya, sepertinya ia malas menanggapi permintaanku walau setelahnya ia setuju karena takut aku mengalami hal buruk.
"Oke! Dengan satu syarat. Enggak ada drama lagi diantara kita. Oke! Please guys, kita tuh di sini mau liburan. Masa malah masuk ke pasar-pasar sampe ke masjid-masjid kita masukin satu-satu nyari lo tahu enggak?!"
Aku menampilkan senyum lebar di depan Luna.
"Ke mana aja lo sama Kara tadi?"
Karena mendapat desakan dari ketiganya, terpaksa aku menceritakan rute perjalanan satu hari bersama Kara. Rania melemparku dengan bantal karena tidak terima disaat mereka mencariku, aku malah jalan-jalan ke berbagai tempat wisata bersama Kara.
Keesokan harinya, kami memutuskan untuk berbelanja di area sekitaran Malioboro hingga titik nol Yogyakarta. Setelah membeli oleh-oleh untuk orang rumah, kami memutuskan mencicipi gelato yang tidak jauh dari sana.
"Nanti malam lo jadi pergi nemuin Kara, Chya?" tanya Rania. Ia menunjuk es krim rasa cookies and cream juga cokelat. Aku memilih eskrim strawberry yoghurt untukku dan membayar tanpa menjawab ucapan Rania.
Di antara kami, memang aku yang tidak begitu banyak memiliki pengalaman mengenai pasangan. Pacar pertamaku adalah ketika kami duduk di bangku SMA, berjalan selama dua tahun sebelum aku tahu ia selingkuh dengan teman salah satu teman kampusnya setelah kami lulus dan beda kampus, sejak saat itu aku belum punya keinginan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun, takut jika kepercayaan yang aku berikan diabaikan begitu saja.
Begitu pula dengan Kara, pria itu bahkan dapat dikatakan terlalu sempurna untukku. Jadi, aku tidak yakin bahwa kami akan berjalan lancar seperti apa yang aku harapkan. Oleh karena itu, aku tidak ingin berharap lebih padanya. Walaupun bohong jika mengatakan tidak ada perasaan lebih yang aku rasakan ketika bersama dengan Kara.
Pria itu, begitu banyak mengambil perhatianku. Bahkan saat tidak berada di dekatku, pria itu berhasil mengambil sedikit perhatianku lewat handphone yang ia tinggalkan. Tidak ada pesan, pun dengan bunyi telepon untuk menyambung obrolan kami lagi, tetapi foto-foto kami yang diambil oleh handphone itu selama liburan satu hari kemarin berhasil membuatku menerbitkan senyum beberapa kali hingga malam tiba.
Aku tidak tahu persis kapannya kami harus bertemu di alun-alun. Jadi, setelah makan malam dan packing dengan menyisakan satu stelan baju untuk pulang besok pagi, aku mengajak Luna pergi ke alun-alun sementara Vinka dan Rania memilih untuk istirahat di penginapan.
Aku melirik jam yang menunjukkan pukul delapan malam. Luna memesan dua gelas kopi susu untuk menemani kami menunggu.
"Rame banget ada apaan, Lun?" Aku menoleh ke arah beberapa orang yang berlarian di depan kedai kopi.
"Nggak tahu ada apa. Tapi ada banyak polisi, sih." Luna mengedikkan bahu, tampak tidak acuh pada apa yang terjadi.
Kami mengobrol untuk mengusir rasa bosan menunggu Kara. Perihal rencanaku pergi ke Jerman dan rencana Vinka yang melanjutkan ke Singapore. Rania lebih memilih bekerja setelah lulus, sementara Luna masih sibuk dengan toko baju online-nya.
Kami menguap dan mendapati jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Itu artinya, sudah tiga jam kami menunggu dan Kara belum juga datang. Aku tersenyum kecut. Benar, 'kan? Aku yakin ini tidak akan terjadi begitu mudah untukku.
Kara, mungkin lupa akan janjinya, atau ia akan menganggapku sebagai perempuan bodoh yang mudah sekali ia goda. Aku menoleh ke segala arah, memastikan pria itu sedang tidak bersama teman-temannya dan menertawakan kebodohanku saat ini sebelum mengajak Luna kembali ke penginapan karena kami harus naik kereta pagi-pagi sekali besok.
Awalnya Luna menolak, mengatakan mungkin Kara akan datang tengah malam, tetapi aku menggeleng, karena aku yakin Kara tidak akan datang. Tidak akan pernah.
Awal-awal sat set ternyata ilang juga :)
Kan udah dibilang, terlalu lancar diawal juga enggak baik :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top