ʙᴀʙ ᴇᴍᴘᴀᴛ ( ᴋᴀʀᴀ's ᴘᴏᴠ )

Dua hari terakhir di Yogyakarta, setelah kejadian ribut-ribut antara Eliana dan Ditto, pacarnya yang kuliah di Yogyakarta menyebabkan handphone-ku pecah karena bantingan Eliana, aku menatap lekat perempuan yang kini menangis di hadapanku. Entah apa yang mereka ributkan, Eliana tidak banyak bercerita pada aku, Rion, maupun Amar, yang merupakan temannya sejak lama.

Aku sekuat tenaga menahan agar tidak menghampiri Ditto dan memberinya pelajaran terhadap apa yang sudah dilakukannya pada Eliana. He's a jerk! Meski aku tidak tahu persis apa yang dilakukannya pada Eliana hingga perempuan itu menangis.

"Kalau lo enggak mau cerita sama gue. Lo bisa cerita sama Rion atau Amar. Kita semua ready buat lo, Yan." Pilihan yang kuberikan agar Eliana bercerita pada Rion atau Amar justru disambut tangis yang lebih kencang lagi. Aku merengkuh tubuh Eliana yang bergetar, menyalurkan rasa aman agar ia bisa tenang.

Di dalam pelukan, Eliana akhirnya membuka suara. Sangat pelan, sampai-sampai aku tidak percaya jika fakta itu yang akan keluar dari mulutnya. Dadaku terasa begitu sesak, rasanya aliran darah memompa cepat hingga ke kepala dan akan segera meledak.

Aku menarik bahunya kasar, melepaskan pelukan dan menatapnya dengan pias, sementara Eliana hanya dapat menunduk. Tanpa berani menatapku, ia menganggukkan kepalanya lemah.

She is pregnant! Dan Ditto menolak untuk bertanggung jawab dengan alasan ia baru mengetahui bahwa dia hanyalah pelampiasan Eliana selama ini. Alasan bodoh macam apa itu?

Aku mengumpat keras atas apa yang diceritakan Eliana. Aku mengerti kenapa Eliana tidak ingin menceritakan ini pada Rion maupun Amar. Karena sudah dapat dipastikan Ditto tidak akan melihat matahari besok pagi jika mereka tahu akan hal ini.

"Biar gue yang temuin Ditto. Gue akan bicara sama dia supaya dia tanggung jawab atas anak yang lo kandung," ucapku setelah berhasil mengatur napas.

"Tapi, Kar."

"Sudah. Lo enggak perlu takut lagi. Ada gue, Rion sama Amar yang akan selalu jagain lo. Kita akan pastiin Ditto tanggung jawab sama apa yang dia perbuat ke elo."

Aku menepuk pundak Eliana sebelum kembali memeluknya saat Rion masuk ke dalam kamar Eliana. Tanpa suara, Rion mengode bahwa ia menungguku di luar untuk membahas masalah Eliana. Aku mengangguk sebagai tanda persetujuan untuk Rion dan meminta keluar lebih dulu.

"Kenapa?" tanya Amar saat aku duduk di meja makan apartemen yang kami sewa selama di Yogyakarta. Rion bergabung setelah mengambil kotak jus jambu dari dalam kulkas.

Aku menimbang apakah harus menceritakan semuanya pada Rion dan Amar perihal masalah yang dialami Eliana? Apakah Amar dan Rion akan marah pada Ditto, atau justru menyalahkan Eliana? Kondisi Eliana sekarang sedang tidak baik-baik saja, aku yakin ia tidak akan dapat menerima segala amukan Rion atau rasa tidak percaya Amar akan hal ini.

"Biasa. Selingkuh." Aku mencoba berbohong pada Rion dan Amar.

"Siapa? Ditto? Apa Eliana?"

Pertanyaan yang dilontarkan Amar membuatku memutar bola mata. Aku memilih opsi paling singkat sebetulnya agar tidak menyebut nama Ditto sebagai fitnah ini. Akan tetapi, Amar justru memancingku mengatakannya.

Aku mendengkus. "Menurut lo?"

"Ditto, sih. Karena kalau Lian yang selingkuh harusnya Ditto yang nangis, kan?"

Rion sejak tadi tidak bereaksi. Ia hanya mengusap wajahnya kasar setelah menghabiskan jus jambu kemasan dan membuang napas kasar.

"Jadi kita jauh-jauh dari Jakarta ke Jogja, gue bela-belain cuti kerja. Cuma buat ngurusin Eliana yang nangis karena cowok brengsek yang selingkuh?" Rion memastikan.

Aku mengangguk.

"Enggak penting banget, Anjir!" umpatnya kemudian. "Eliana tuh cantik, pinter. Kalau diselingkuhi juga tinggal pilih mau yang mana. Udah banyak yang antri."

Fakta itu tidak dapat dibantah sama sekali. Selain memiliki paras yang cantik, Eliana juga selalu mendapat nilai terbaik. Banyak pria yang mendekatinya jika saja tidak ada aku, Rion dan Amar yang menjadi tameng Eliana agar pria lain tidak mendekat. Setidaknya dulu saat kami masih sama-sama tinggal di Jakarta. Namun, entah apa yang mempengaruhi Eliana hingga mengalami kondisi seperti sekarang ini.

Kenyataan itu membuatku tanpa sadar mengepalkan tangan di bawah meja. Mengingat bagaimana kami menjaga Eliana tetapi ada laki-laki yang berani membuatnya menangis begitu saja, membuatku terdorong agar segera menghabisinya.

****

Aku menghubungi Rion setelah nomor ponselku kembali aktif. Dari sekian banyak orang, hanya nomer ponsel Rion yang aku hapal karena hanya berbeda dua digit dengan milikku. Aku izin untuk menyegarkan pikiran untuk beberapa saat dan berpesan agar tidak meninggalkan Eliana seorang diri karena kondisinya. Rion menyetujui sembari mengingatkan bahwa kami harus pulang dua hari lagi.

Obrolanku dengan Ditto sebelum aku membeli ponsel baru berakhir alot. Pria itu memberikan argumen bahwa kemungkinan anak yang dikandung Eliana adalah anak salah satu di antara aku, Rion, dan Amar bisa saja terjadi dan kami melampiaskan padanya. Mendengarnya, aku hampir melepaskan pukulan jika saja tidak mengingat Eliana.

Di tengah kekalutan. Aku kembali mengumpat saat memasuki toilet umum dan mendapat serangan pukulan secara bertubi-tubi. Aku hampir saja membalas jika tidak melihat bahwa pelaku adalah seorang perempuan. Ternyata perempuan itu salah melihat tanda di depan.

Selama ini, belum pernah ada perempuan yang merebut perhatianku dari Eliana. Kedekatanku dengan Eliana membuat perempuan enggan mendekat. Satu waktu aku pernah dekat dengan perempuan dan aku melupakan janji menjemput Eliana, akibatnya harus masuk rumah sakit karena mengalami kecelakaan. Dari sana, aku berjanji akan menjaga Eliana sampai kapanpun.

Namun, aku melupakan janji yang kubuat pada diri sendiri begitu saja ketika menatap wajah perempuan itu saat menggandeng tangannya untuk berlari dari toilet pria.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali melihatnya tertawa setelah berlari dari tatapan seorang pria paruh baya yang melihat kami keluar dari toilet.

Shit! She's an angel! Aku harus meneguk ludah susah payah melihat pantulan yang keluar dari matanya. Dengan pipi yang merona, ia meminta maaf karena sudah salah sangka, dan hampir saja aku tergoda untuk mencubit kedua pipinya yang memerah itu.

Setelah penolakannya atas ajakan makan siang yang aku berikan, dari jarak jauh aku membuntutinya. Bukan untuk berbuat jahat, melainkan untuk tahu dimana ia menginap dan aku akan menyusun rencana untuk kembali berpapasan dengannya. Akan tetapi, beberapa menit cukup untukku mengetahui jika ia sedang butuh bantuan. Aku kembali menghampirinya dan kembali menawarkan bantuan.

Perempuan ceria dan suka berdebat. Itulah yang aku tangkap dari perempuan bernama Chysara. Aku suka namanya, cantik, seperti parasnya. Berbicara dengannya juga cukup menyenangkan. Beberapa kali aku lepas kendali kemudian mencubit pipinya dan tertawa ketika ia mengaduh dan memukul bahuku untuk membalas.

Entah apa yang aku pikirkan ketika membawa Chysara ke ke daerah Bantul. Yang jelas, aku hanya ingin sejenak melepaskan penat karena masalah yang ada di kepalaku. Sesaat aku teringat kembali dengan masalah Eliana, ketika Chysara bertanya perihal keberadaan teman-temanku. Namun, sebisa mungkin aku menutupi masalahku darinya. Aku tidak ingin kebersamaanku dengan Chysara terbuang begitu saja.

Dengan alasan mengambil gambar untuk bahan pekerjaan, diam-diam aku mengambil seluruh gambarnya, merekam segala keindahan yang ada di depan mataku. Aku tahu, mungkin kalian berpikir aku sudah seperti psychopath gila yang mendambakan perempuan. Sepertinya, berada di dekat Chysara membuatku sedikit kehilangan akal dan mengakui segalanya.

Aku tidak peduli dengan apa yang akan ia pikirkan setelah ini. Aku hanya ingin jujur tentang apa yang sedang aku rasakan terhadapnya. Meski pertemuan kami sangat singkat, aku tetap ingin memantapkannya. Oleh karena itu, aku meminta kesempatannya untuk bertemu kembali dihari terakhirnya di Jogja.

Aku melompat kegirangan ketika Chysara setuju dengan ajakanku bertemu di alun-alun. Aku seperti orang bodoh, but who would act normal if confronted by a girl as beautiful as her?

Hingga malam pertemuan kami. Aku meminjam handphone Rion karena handphone baruku ada pada Chysara. Eliana sempat bertanya kemana aku seharian kemarin, dan aku memastikan aku tidak membuat masalah pada Ditto tanpa menyebut nama Chysara sama sekali.

Rion dan Amar memastikan agar aku tidak mencari masalah dengan Ditto seorang diri, tetapi aku meyakinkan agar mereka tidak perlu khawatir. Untuk membuat mereka percaya, aku menyerahkan kunci mobil yang aku gunakan seharian kemarin untuk mengatakan aku tidak akan pergi jauh dari apartemen.

Jam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan pukul tujuh malam ketika aku sampai di depan unit galeri Museum Sonobudoyo. Aku berlari, mengambil jalur kiri ke jalan alun-alun utara untuk menemui Chysara di Kedai Kopi Margomulyo sebelum sebuah pesan masuk pada handphone Rion menghentikan langkahku.

Aku belum sempat memproses apa yang terjadi, ketika semua orang di sana sudah teralihkan dari kesibukan mereka dengan apa yang mereka lihat barusan. Aku sempat melihat beberapa orang berlari mengejar Mitsubishi Xpander hitam yang melaju begitu kencang, beberapa lagi berkerumun melihat apa yang terjadi dan lainnya menelpon ambulan.

Seharusnya aku segera berlari untuk menemui Chysara saat ini, tetapi seluruh tubuhku kebas. Tangan dan kakiku seperti memaku di aspal keras. Aku sempat meringis sebelum semburan cairan merah keluar dari mulut, pasokan oksigen terasa hilang dari paru-paru hingga tanpa aku komando, tubuhku berguncang keras mencari oksigen.

Jangan datang, El. Jangan tunggu aku di sana. Aku mungkin enggak akan datang. Maaf, untuk janji yang aku ingkari.

Segala di sekelilingku berputar hebat. Aku berusaha menyeret tangan yang akhirnya dapat aku gerakan dengan susah payah sebelum merasakan tubuhku terangkat. Pandanganku seketika buram, aku mengerang ketika merasakan sakit yang begitu hebat di kepala sebelum segalanya menjadi gelap.

Kira-kira berapa lama mereka bakal ketemu lagi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top