ʙᴀʙ ᴇɴᴀᴍ

Meski tergolong baru lima tahun berdiri, Coffetalk berhasil menyabet gelar sebagai perusahaan unicorn di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kesuksesan, terkadang kami harus memutar otak untuk mencari ide dan inovasi baru.

Setelah presensi meeting pertamaku dengan Pak Rion, dan memberikan pendapat soal garis besar ide yang diberikan Pak Rion. Aku mendapat tugas untuk membuat campaign di sosial media, terutama terkait produk baru. Kata Eza, ini sesuatu yang belum pernah terjadi pada karyawan yang baru seminggu bekerja setelah training singkat.

"Chya, untuk permintaan Pak Rion soal desain baru landing page kita sudah diperbaharui belum, ya?" tanya Runi, salah satu tim marketing yang bekerja denganku. "Soalnya, kata Bu Tami, Pak Dhiwangkara minta desainnya diubah biar cocok sama produk baru kita juga."

Tanganku yang sedang mengetik beberapa pertanyaan untuk quissioner otomatis terhenti begitu nama Dhiwangkara disebut. Namun, secepat mungkin aku menggelengkan kepala.

"Belum. Soalnya kemarin kata tim design ada perubahan warna yang diminta Pak Rion." Aku menoleh ke arah kubikel Runi yang bersebelahan denganku.

"Loh? Pak Rion minta ganti warnanya? Duh, gimana deh Si Boss, dia yang minta buru-buru, tapi dia juga yang gonta-ganti ide mulu." Bu Tami menginterupsi. Perempuan itu adalah manager marketing yang mengepalai tim kami.

"Saya hubungin dia dulu deh. Maunya jadi pake warna yang ditentuin Pak Kara atau Pak Rion nih." Bu Tami berdecak kemudian menyambar handphone di atas mejanya. "Nanti kita ikutin Pak Kara dia baper!"

"Susah memang kalau punya dua kapten dalam satu kapal." Eza menggumam ketika Bu Tami menjauh agar percakapannya dengan Pak Rion tidak terdengar oleh yang lain.

"Tapi paling ujung-ujungnya kayak biasa. Mereka beda pendapat, terus Pak Kara ngalah. Akhirnya kita pake ide yang dicetus Pak Rion." Mas Joni, salah satu tim marketing yang bersebalahan dengan Eza menyahuti.

Meski berada dalam jumlah minoritas di ruangan berisikan enam orang ini, mereka berdua tidak lantas menjadi yang pendiam. Sebaliknya, mereka berdua adalah yang paling sering memulai obrolan dengan gosip-gosip di sekitaran Coffetalk.

"Bukannya bagus? Ide-ide dari Pak Rion memang sudah terbukti bagus, kan? Makanya Pak Kara mau ngalah." Napasku sedikit tercekat ketika menyebut namanya.

"Kalo bagus, sih. Sama bagusnya. Cuma kalau kita pake ide Pak Kara, 'kan, jadinya yang ngawasin kita juga Pak Kara. Kerjaan bisa jadi lebih ngotak waktunya. Time management yang dibangun Pak Kara, sih, gue lebih suka. Cuma Pak Kara terlalu percaya sama anjing kesayangannya."

"Anjing?" Aku membeo mendengar kalimat terakhir Joni.

"Ssht! Nanti Kalo kedengeran Pak Rion bisa kacau lo." Ami, perempuan terakhir sebelum aku yang menjadi anggota tim marketing menginterupsi.

"Kalo lo mau tahu, Chya. Pak Rion itu dijulukin APD sama karyawan di sini." Ami menggeser bangkunya, mendekat ke arahku.

"APD?" ulangku.

"Iya. Anjing Penjaga Dhiwangkara."

Aku mengerutkan kening ketika mendengarnya. Kata itu terlalu kasar untuk menjadi julukan bagi atasan. Aku akui, satu minggu mengenal Pak Rion, pria itu memang menyebalkan. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruhnya sangat besar, karena dia selalu ada untuk perusahaan tidak peduli kapanpun waktunya.

"Kenapa begitu?" tanyaku yang terlanjur penasaran.

"Jadi ini alasan kalian tidak pernah tepat waktu mengerjakan apa yang saya minta?"

Suara berat mendahului suara pintu kaca yang kembali menutup setelah terbuka tanpa suara. Tubuh tinggi menjulang Pak Rion membuat Ami buru-buru kembali ke kubikelnya dan melanjutkan pekerjaan.

Aku meringis sesaat setelah Pak Rion menghunuskan tatapan tajamnya dan mendekati kubikelku. "Bagaimana dengan quissioner-nya?

"On progress delapan puluh persen, Pak," jawabku dengan nada pelan.

"Good job!" jawab Pak Rion dan aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar darinya.

Pak Rion segera menegapkan tubuhnya lalu menatap satu persatu tim marketing. "Besok jam delapan pagi, saya dan kalian semua kumpul di ruang meeting satu. Kita akan bahas matriks SEO besok dan apa kekurangannya."

"Baik, Pak." Kami menjawab kompak.

Pak Rion hendak memutar arah sebelum ia berbalik. "Oiya. Satu lagi. Sekalian bawa semua pending meter dan pekerjaan kalian yang sudah harus selesai besok saat meeting karena siang saya ada kepentingan di luar."

Kalimat terakhir Pak Rion membuat kami kompak menjatuhkan rahang selama beberapa detik. Jam yang menempel pada dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Itu berarti kami harus lembur untuk mengerjakan semua yang Pak Rion berikan.

It's true what they say. Carbon emissions are indeed bad for health

****

Aku hampir saja mengumpat ketika melirik jam pada pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit. Buru-buru menempelkan kartu akses, aku berlari menuju lift untuk sampai ke pantai empat dan melesat ke ruang meeting hingga tanpa sadar mendobrak pintu hingga beberapa orang di dalamnya terlonjak.

"Ma-maaf saya telat, Pak," ucapku disertai ringisan pelan ketika menatap Pak Rion dan seorang pria dengan balutan kemeja putih serta dasi hitam yang melingkar di lehernya.

Pria itu tersenyum tipis kemudian mempersilahkanku untuk duduk dengan gestur tangannya. Aku menunduk sekilas ketika melihat Pak Rion justru menggeleng pelan tanpa bersuara.

Diam-diam aku memperhatikan pria yang duduk di kursi paling ujung tengah sibuk dengan dokumen yang dibawa oleh Pak Rion. Matanya cermat dengan sesekali mengkonfirmasi apa yang tidak aku ketahui pada Pak Rion. Apa dia pria yang bernama Dhiwangkara?

Pintu kaca ruang meeting kembali terbuka disertai suara pelan seorang perempuan berbalut kemeja putih serta blazer hitam yang melekat pas ditubuhnya.

"Pak Kara?"

Pria yang sedang aku perhatikan sejak tadi menoleh. "Ada apa?"

"Maaf, Pak. Kemarin Pak Kara berpesan untuk membawakan ini ke ruang meeting." Perempuan itu mendekat ke meja kemudian memberikan sebuah map berwarna biru padanya kemudian pamit setelah mendapat ucapan terima kasih.

Ternyata, bukan dia.

Entahlah ... Aku tidak dapat mendefinisikan apa yang aku rasakan saat ini. Mungkin kebencian terhadap Dhiwangkara membuat pikiranku tidak rasional, sehingga aku menyiapkan sebuah skenario jika aku bertemu dengan Dhiwangkara hari ini, meski aku tetap berharap mereka orang yang berbeda dan aku tidak akan bertemu kembali dengan Dhiwangkara.

"Baik. Kita mulai saja lebih dulu. Tolong siapkan apa yang saya minta kemarin." Suara Pak Rion menyeretku dari lamunan akibat Dhiwangkara.

Aku bergegas membuka laptop dan memindai jari telunjuk pada trackpad, mencari soft file yang akan kuserahkan pada Pak Rion saat pintu kaca kembali terbuka.

Pergerakanku terhenti begitu saja ketika melihat sosok pria yang baru saja memasuki ruangan. Jantungku berdegup kencang hingga terasa akan keluar dari rongganya. Pria itu, dia berdiri dan menyalami Pak Rion dan pria yang sejak tadi duduk di kursi paling depan. Aku lihat dia tersenyum, senyum yang sama hangatnya dengan empat tahun lalu.

"Ami, Chysara, perkenalkan, ini Pak Dhiwangkara, CEO Coffetalk dan ini Agastya, asisten pribadinya."

Aku tidak begitu mendengarkan perkataan Pak Rion. Mataku nanar manatap pria yang kini sedang melemparkan senyumnya padaku dan Ami.

"Jadi kalian personil baru di divisi marketing?"

Aku tetap bergeming menatapnya. Tubuhnya lebih kurus dibandingkan empat tahun lalu, meski wajahnya tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Hanya potongan rambut yang lebih panjang dan pakaian yang lebih formal membuat Dhiwangkara terlihat berbeda dari Dhiwangkara empat tahun lalu.

"Chya!" Eza berteriak tertahan untuk menyadarkanku. Aku tercenung untuk beberapa saat sebelum memperkenalkan diri dengan gugup.

Seluruh tim marketing serta Agastya, asisten Pak Dhiwangkara kompak menahan tawa dengan mengepalkan tangan di depan mulut.

"Ma-maaf, Pak. Semalam saya lembur, jadi masih ngantuk." Aku berkilah.

"Tidak masalah. Salam kenal, Chysara."

Singkat saja, Dhiwangkara langsung memutus kontak mata yang terjadi di antara kami dan mengalihkan pandangan pada laptop di depannya seolah aku bukan siapa-siapa untuknya.

Hingga meeting berakhir, Dhiwangkara tetap fokus dengan apa yang Pak Rion ucapkan, sesekali ia memuji hasil kerja tim marketing dan mendapat respons berupa ucapan terima kasih dari Bu Tami, Eza, Ami, Joni dan Runi.

Sementara aku? Pandanganku tetap tidak bisa lepas dari Dhiwangkara. Beberapa pertanyaan timbul di kepalaku. Apa dia mengingatku? Apa dia sengaja mengingkari janjinya? Apa alasannya berbuat baik dan memberiku harapan seperti itu? Apa dia pernah merasa bersalah meski hanya sedikit?

Bahkan hingga dia keluar bersama dengan Pak Agastya yang mengekor di belakangnya pertanyaan demi pertanyaan terus timbul di kepalaku hingga jumlahnya melebihi quissioner yang aku kerjakan semalaman.

Namun, jika kemungkinannya adalah ia melupakan kejadian empat tahun lalu. Aku hanya berharap agar Dhiwangkara tidak pernah ingat perkataanku jika aku akan melanjutkan kuliah ke Jerman. Karena mirisnya, di sinilah aku sekarang. Menjadi salah satu dari banyaknya karyawan yang bergantung pada perusahaan yang ia pimpin.

Mungkin, Dhiwangkara enggan untuk mengakui bahwa ia pernah mengenalku dalam situasi yang lebih santai dibanding sekarang.


Makin ke sini makin molor updatenya, tapi masih setiap hari ya kan?
Jangan lupa vote + komen yaa
Kalau ada yang salah penulisan atau bahasa yang kurang jelas, jangan ragu buat komen 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top