ʙᴀʙ ᴅᴜᴀ

Apa yang aku harapkan ketika memutuskan untuk kembali seorang diri setelah dipermalukan oleh Vinka? Berharap mereka menyusulku kembali ke penginapan? Nyatanya mereka tidak kembali, dan kini aku punya masalah karena tidak membawa kunci penginapan!

"Gimana?" tanya Kara yang ikut masuk hingga meja resepsionis.

"Gue nggak bisa masuk. Soalnya KTP yang dijadikan jaminan bukan KTP gue. Jadi mereka nggak bisa verifikasi." Aku menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal. Aku berjanji untuk membayar Kara setelah sampai penginapan, tetapi malah mendapat masalah baru.

"Terus?"

"Gue belum bisa bayar lo, Kar. Gini aja deh, lo kasih nomor rekening lo ke gue. Nanti kalau gue udah bisa masuk langsung gue transfer." Aku meminta kertas dan meminjam pulpen pada petugas resepsionis tempatku menginap dan menyodorkannya pada Kara.

Bukannya menuliskan nomor rekening pada kertas yang aku berikan, Kara justru tertawa. Aku sendiri heran, kenapa pria itu sering sekali tertawa.

"Bukan itu maksud gue. Maksudnya lo bagaimana? Lo enggak bisa masuk, otomatis lo mau ngapain? Masa mau nunggu temen-temen lo di sini sampe mereka balik? Lo yakin mereka langsung balik?"

"Enggak, sih." Aku meringis ketika Kara kembali tersenyum.

"Mau ikut gue aja? Gue juga lagi misah sama temen-temen gue. Dari pada sendiri-sendiri, mending berdua enggak, sih?" Kara menawarkan sesuatu yang sulit aku tolak sebetulnya. "Nanti sore mungkin temen lo udah balik gue antar lo ke sini lagi."

"Boleh deh," jawabku setelah beberapa menit berpikir.

Sepuluh menit perjalanan menit terlewat begitu saja akibat obrolan ringan soal kehidupan masing-masing. Sesuai dugaanku, Dhiwangkara berasal dari sekitaran Jakarta yang sedang cuti untuk berlibur bersama ketiga temannya.

Mobil Jeep yang Kara kendarai berhenti di Jalan Veteran, Umbulharjo. Setelah pria itu memberikan uang parkir sebesar lima ribu rupiah untuk biaya parkir, kami beranjak masuk ke dalam situs Warungboto.

Bangunan kuno peninggalan Keraton Jogja terdahulu langsung tersaji begitu kami sampai di lokasi. Mirip dengan Wisata Taman Sari yang berada tidak jauh dari Kraton Jogja, hanya saja situs Warungboto memiliki bangunan bertingkat yang terlihat unik sekaligus elegan.

"Jadi? Kesibukan lo setelah kuliah apa aja?" tanyaku saat kami berhasil mask ke dalam Situs Warungboto.

"Kesibukan gue?" Kara membeo.

Aku mengangguk.

"Enggak banyak. Kalo lagi senggang paling bantu temen untuk promosi usaha mereka. Kalo lagi ada kerjaan yaa ... ngejalanin brainstorming secara berkala untuk strategi pemasaran online, kadang juga ngeevaluasi apa yang lagi jadi trend IT atau aplikasi yang lagi naik, kadang-kadang juga evaluasi target lewat channel iklan berbayar, kayak di Facebook atau kampanye Google Adwords."

"Sibuk, ya, ternyata," komentarku setelah Kara menjabarkan kesibukannya selama di perjalanan. "Lo DiMar? ngecek sampe ke perangkat lunak juga nggak, sih? SAP, C4C atau Microsoft Dynamics? "

"Kadang-kadang, tapi lebih sering salesforce CRM kalo gue."

"The real pekerjaan lima orang dikerjain satu orang." Aku meringis membayangkan sulitnya dunia kerja nanti jika aku lulus.

"Hebat, kan, gue? Makanya cewek biasanya mikir lima kali mau jadi pacar gue. Soalnya saya aslinya lima orang." Kara melebarkan tangan kanannya di hadapanku hingga kami tertawa.

Setelah obrolan ringan kami, Kara pamit untuk mengambil gambar dari Situs Warungboto untuk digunakan pada artikel yang akan ia buat nantinya. Bahkan, saat cuti saja pria itu masih memikirkan pekerjaan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk menunggu hingga pria itu selesai dengan apa yang ia lakukan dengan berusaha menelpon handphone-ku beberapa kali menggunakan handphone yang Kara pinjamkan padaku.

"Ada jawaban?" tanya Kara ketika selesai dengan kameranya.

Aku menggeleng.

"Lo udah laper, kan? Makan aja dulu, yuk." Kara mengulurkan tangannya padaku.

"Tapi ...."

"Kalau teman lo udah balik juga pasti angkat telpon yang ada di penginapan, kan? Lagian ini sudah jam dua, lo baru makan roti yang tadi gue kasih, kan? Enggak laper emang?"

Aku hanya dapat menyetujui usulan Kara. Lagi pula, selain dia, aku tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan saat ini.

****

Menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam, mobil Jeep yang dikendarai Kara melaju melewati jalan ringroad barat menuju Bantul. Aku tidak tahu tepatnya Kara akan membawaku ke mana. Setelah mobil yang dikendarainya berhenti, kami masih harus berjalan kaki hingga ke tengah desa.

Ruangan itu mungkin hanya berukuran 4x4 meter, terasa panas karena asap perapian dari sisa pembakaran berdesakan keluar melalui lubang ventilasi. Meski begitu, saat kami masuk sudah banyak orang yang antri untuk mengambil nasi dari bakul besar kemudian sibuk memilih lauk dan sayur yang ditempatkan pada baskom-baskom besar yang dijejer di atas dipan kayu.

"Makan di sini nggak apa-apa, kan?" tanya Kara ketika aku sibuk menyendok nasi ke dalam piring.

"Emang kenapa harus kenapa-kenapa?" tanyaku ketika menyendokkan nasi ke dalam piringnya.

"Kara berdecak pelan. "Nggak bisa, ya, pertanyaan itu dijawab pake jawaban aja?"

Aku menutup mulut dengan kepalan tangan kiri mendengar responsnya. "Enggak."

Piring kami penuh dengan nasi, mangut lele, sayur krecek dan tahu areh. Sesekali aku tertawa mendengar candaan yang dilontarkan oleh Kara. Entah siapa yang pertama memulai, tetapi kecanggungan kami terkikis begitu saja di perjalanan tadi.

"Habis dari Jogja rencananya mau apa, El?" tanya Kara sesaat sebelum meminum teh panasnya.

Sejak penolakanku padanya yang ingin memanggilku dengan nama Sara, pria itu bertanya nama lengkapku karena ingin memanggilku dengan panggilan berbeda. Kata El sendiri diputuskan Kara begitu saja untukku dari nama belakang, Eldiana.

"Rencananya mau persiapan untuk tes IELTS."

Pergerakan Kara sempat terhenti sejenak ketika aku menyebutkan kata IELTS. Namun, ia kembali tertawa lebar seperti yang sejak tadi ia lakukan.

"IELTS? Kuliah? Memang rencana mau ke mana?" tanyanya kemudian. Ia kembali mengambil gelas teh panasnya sembari menatapku antusias.

"Jerman. Tapi masih ragu juga, sih. Nggak yakin bisa."

"Pasti bisalah. Lagi pula S2 cuma dua tahun. Kebanyakan yang udah di sana malah nggak mau balik, kan? Ingat enggak berita-berita yang lagi rame kemarin?"

"Lihat nanti aja deh."

Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman membahas rencana ini dengan Kara. Padahal sebelum ini aku selalu bersemangat membahasnya dengan siapa pun.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika Kara membawaku ke daerah Parangtritis. Memutuskan untuk berhenti sebentar di pantai, Kara mengajakku menikmati indahnya Pantai Parangtritis di sore hari.

"Kita datangnya kesiangan. Kalo lebih sore bisa lihat sunset di sini, pasti bagus banget." Aku meregangkan otot, menikmati udara pantai yang jarang sekali aku dapatkan ketika di Jogja.

"Ada yang lebih bagus dari sunset Pantai Parangtritis, kok." Kara menjawab meski tidak menatapku. Aku menoleh, melihatnya menatap lurus ke arah laut dengan ombak besar. Baju hitam yang dikenakannya kontras sekali dengan kulitnya yang putih. Ia terlihat tampan di mataku.

"By the way ... temen-temen lo? Mereka enggak apa-apa lo tinggal gitu aja?" Aku mencoba mencari topik pembicaraan agar tidak terpaku pada wajah Kara.

Akan tetapi, mungkin aku salah mencari topik pembicaraan karena Kara justru menghela napas, bahkan terlalu panjang untuk sebuah hela napas berat.

"Sorry kalo gue salah nanya," ucapku kemudian.

Kara kembali tertawa. Apa ada yang salah dengan ucapanku sehingga ia tertawakan?

"Temen-temen gue santai aja, kok. Yang dua itu pacaran, mereka bahkan mau nikah. Paling nanti yang ngomel temen gue yang satunya, karena jadi nyamuk diantara orang kasmaran."

"Kirain." Aku sedikit lega dengan jawaban yang Kara berikan.

"Lo sendiri? Gimana sama temen-temen lo nanti? Bakal canggung nggak selama empat hari ke depan? Lagian, sih pake acara ngambek-ngambek."

"Hei, Mas! Di sini tuh gue korbannya. Kenapa jadi gue yang disalahin? Emangnya lo mau, kalo temen lo lagi berantem sama pacarnya trus lo yang disalahin?" Aku bersungut di depan Kara.

Pria itu menggaruk tengkuknya seraya tersenyum lebar. "Ya enggak, sih."

"Tapi kalo lo canggung sama temen-temen lo, lo bisa minta temenin gue buat ajakin lo jalan-jalan. Gue terbuka untuk umum."

Mau tidak mau aku tertawa mendengar ucapan Kara. "Terbuka untuk umum? Situ fasilitas publik?"

Kara menuruti permintaanku untuk tetap berada di sana sampai matahari tenggelam. Aku meminta izin dari Kara untuk menggunakan ponselnya yang ada padaku untuk mengambil gambar, sementara Kara sibuk dengan kameranya sebelum mengajakku ke tempat selanjutnya.

Aku terperangah melihat hamparan gurun pasir hasil dari erupsi Gunung Merapi itu. Meski dingin karena hari sudah malam, tidak menghilangkan antusiasmeku untuk menikmati pemandangan Gumuk Pasir.

"Mau foto di sana, El?" tanya Kara saat menunjuk sebuah ayunan kayu.

Aku mengangguk antusias mendengar pertanyaan Kara. Sejak tadi, sebenarnya aku ingin meminta Kara memotretku dengan kameranya, tetapi aku urungkan karena merasa sungkan dengannya.

Namun, Kara justru terkekeh melihat respons yang aku berikan. Aku mengerutkan kening menatapnya. "Kenapa?"

"Males ahh ... lo udah lepek, jelek. Nggak bagus difoto." Kara menjulurkan lidahnya, mengejekku.

"Ish! Kalo cuma ngeledek mendingan nggak usah nawarin!" Aku memukul bahunya kesal.

"Becanda, El." Kara mencubit pipiku dengan gemas.

"Apaan, sih!" Aku menyentak keras tangannya yang masih saja mencubit pipiku. "Udah nggak usah! Udah nggak mood." Aku melangkah meninggalkan Kara di belakang. Menyebalkan! Apa semenyenangkan itu meledek seseorang baginya?

Aku memilih duduk di atas tumpukan pasir, tidak peduli dengan Kara sedang melakukan apa. Menatap bintang yang terlihat jelas di langit Bantul. Hingga seruan Kara mengalihkanku.

Karena masih merasa jengkel dengan sikapnya, aku memilih abai hingga dia duduk di sampingku.

"Masih ngambek?" tanyanya.

"Nggak."

"Cewek bangeeet." Kara kembali mencubit pipiku gemas. Aku mencoba melepaskan tangannya dari wajahku, tetapi dia justru meraih tanganku dan menguncinya di depan dadanya.

"Gue mau kasih lihat sesuatu. Bagus banget, cantik." Kara melepaskan pegangannya pada tanganku sebelum mengotak-atik kameranya dan memperlihatkannya padaku. "Lihat ini. Cantik, kan?"

Di dalam gallery kamera milik Kara, ada banyak sekali fotoku yang diambilnya secara candid, mulai dari di Wisata Gumuk Pasir, sunset di Parangtritis, makan siang bahkan hingga di tempat aku duduk di tukang tambal ban yang tutup. Sejak kapan Kara mengambil gambarku?

"Dengar, El. Lo enggak perlu meminta sesuatu yang jelas-jelas akan gue lakuin. Asal lo tahu, bahkan tanpa gue perintah, kamera ini udah milih siapa yang jadi modelnya."

Aku tidak menjawab apa yang baru saja Kara utarakan, aku lebih memilih menundukkan kepala, sibuk menatap gallery sebelum sentuhan pada pipi membuatku mendongak.

"El, habis ini kalau lo mau laporin gue ke polisi gue enggak akan ngelawan. Tenang aja."

Aku belum sempat memproses perkataannya, tetapi Kara sudah melangkah maju. Jarak diantara kami begitu dekat hingga aku dapat merasakan hembusan napasnya sebelum ia menempelkan bibirnya pada pipiku. Aku memaku, bahkan saat bibir Kara turun hingga ke bibirku. Aku memejamkan mata dan mulai mengikuti apa yang Kara lakukan. Setelah beberapa saat, bukannya berhenti, ciuman yang Kara lakukan justru semakin dalam dan menuntut. Aku harus berpegangan pada bajunya agar tidak kehilangan keseimbangan saat kakiku mulai melemas karena ulahnya.

Siapa pria bernama Dhiwangkara ini? Kenapa sebuah kesalahan terasa benar dihatiku saat bersamanya?

Skip!! Kara enggak boleh gitu, Nak. Kamu baru-baru jangan nakal :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top