ʙᴀʙ ʟɪᴍᴀ
Aku tidak tahu persisnya jalan berlubang mana yang dilewati. Sampai-sampai, roda kehidupan kami seolah berhenti di satu titik dan enggan untuk bergerak dari keterpurukan. Sebesar apa lubang tersebut? Apakah cukup untuk menenggelamkan roda kehidupan kami selamanya di dalam keterpurukan? Jika memang benar adanya. Seharusnya seseorang memberi tanda agar aku dapat memutar arah meski jarak yang kami tempuh akan lebih jauh.
"Jadi udah siap sama interview lanjutannya?"
Aku mendongak ke arah Luna yang baru saja selesai melakban dus-dus berisikan baju pesanan dari reseller. Ia menggeser dus besar yang baru saja dilakban hingga ke pojok.
Luna mendekat ke arahku yang sedang tercenung memperhatikan layar laptop berisikan panggilan interview kedua dari sebuah perusahaan unicorn dari brand kafe yang cukup terkenal.
"Paling buat basa-basi aja, sih. Aslinya mereka sudah punya kandidat yang dipilih berdasarkan hubungan orang dalam." Aku menyandarkan bahu pada sofa dan mengembuskan napas berat.
"Don't be such a pessimist. Who knew this would be the start of your career? Who knows?" Luna duduk di sebelahku dan menepuk pundakku pelan. Ia menggeser laptop dan membaca isinya.
"Its easy to talk, but we clearly know in this country abilities are always on the inside, right?" Aku meraih tumbler berisikan latte dingin dan menandaskannya. "You know what? The last four years of my life has been joke. Everyone would probably laughing to hear my story. Gue rasa kesialan gue belum cukup sampai di sini dan gue enggak mau berharap lebih sama panggilan interview kali ini. Lagi pula ini terlalu jauh, paling sampai di sana gue udah lepek duluan dan seperti biasa. Gagal."
Luna meringis sebelum mengambil tumbler di tanganku dan meletakkannya di meja. "Tapi, feeling seorang Luna enggak pernah salah. Lagi pula, lo memang cuma bisa berharap sama kesempatan ini, kan? Setelah bekerja serabutan selama tiga tahun. Maybe it's time."
Aku balas menatap Luna yang menatapku dengan penuh keyakinan. "Tapi bagaimana kalau gagal lagi?"
"Coba lagi."
"Gagal lagi?"
"Coba lagi untuk ke sepuluh kalinya, coba kedua puluh kalinya dan seterusnya. Gue yakin lo bisa, Chya. Lo bukan orang dengan kepintaran standar kayak gue. Lo hampir berangkat ke Jer ...." Luna menjeda ucapannya. "Sorry."
Aku memaksakan senyum ketika melihat luka di wajah Luna. Ia tahu, lebih dari siapapun jika aku tidak lagi ingin membahas masa lalu. Terutama Jerman, kota impian untuk melanjutkan S2 terpaksa harus aku kubur dalam-dalam ketika perusahaan ayahku mengalami kerugian.
Empat tahun lalu, perusahaan papa dinyatakan bangkrut dan papa harus menjual asset perusahaan serta asset pribadi untuk membayar gaji karyawan yang belum dibayarkan empat bulan terakhir. Sialnya, satu tahun terakhir setelah selama tiga tahun papa berusaha memulai segalanya dari nol dengan menjadi driver online dengan sisa mobil yang dimiliki, papa jatuh sakit sementara aku belum mendapat pekerjaan tetap.
"Its okay! Lagipula lo bener. Cuma sikap optimis lo kadang terlalu kacau." Aku mengudarakan tawa untuk memperlihatkan pada Luna bahwa aku baik-baik saja.
"Dengar, Chya. Gue ini sahabat lo. Udah seharusnya gue jadi support system buat lo. Kalo gue sama pesimisnya sama lo, siapa yang bakal semangatin lo!" Luna menoyor kepalaku pelan. Raut wajahnya sudah kembali normal dibanding saat mengatakan hal di masa lalu. "Jadi. Ayo sekarang pilih baju mana yang mau lo pake buat interview besok? Pilih sesukanya, gue taken gaji pertama lo buat traktir gue di Henshin sepuasnya."
Luna menarik lenganku untuk segera berdiri kemudian melangkah cepat mengambil koleksi baju dagangannya yang ia pajang pada stand hanger untuk memudahkan pada saat live TikTok.
Dibandingkan bekerja, Luna lebih memilih mengembangkan usaha yang ia mulai sejak duduk di bangku kuliah. Dengan modal nekat meminjam uang dari bank, dalam dua tahun Luna berhasil mengembalikan pinjaman dengan baik serta menambah dua orang karyawan yang bekerja untuknya.
****
Mungkin Luna benar, ketika mengatakan bahwa dirinya memiliki darah seorang cenayang sehingga prediksinya selalu tepat kejadian karena sekarang aku tengah mengumpatinya atas apa yang baru saja kudengar dari tim HR CoffeTalk.
Aku diterima bekerja sebagai tim marketing di Coffetalk Company!
Setelah diskusi perihal kesepakatan upah dan tanda tangan kontrak kerja, aku diminta mendatangi tim marketing untuk perkenalan dengan harapan besok dapat langsung bekerja. Aku mengangguk sebagai persetujuan. Setelah mengabari orang tuaku dan Luna perihal kabar gembira ini melalui WhatsApp aku menggunakan lift untuk naik ke lantai empat.
Gerakanku yang ingin memencet angka lantai tujuan terhenti ketika angka empat sudah menyala. Seorang pria sekitaran usia 28 tahun mengenakan kemeja lengan panjang biru laut yang digulung hingga ke siku, dan celana bahan putih serta kacamata bulat menatapku setelah melihat tanda pengenal sebagai visitor yang menggantung dileherku.
"Anak baru?" tanyanya.
"Iya." Aku menjawab singkat.
"Divisi mana?"
"Divisi marketing. Mas, kerja di tim marketing juga?"
"Bukan."
"Trus? Divisi mana? Kerja di sini gimana, Mas? Santai enggak?"
Ia merotasikan bola mata. Aku mengerutkan kening. Apa yang salah? Namun, itu tidak terjawab ketika bunyi lift membuatku menoleh sebelum pintu benar-benar terbuka.
Ruangan dengan dinding berwarna putih tulang serta lantai lantai vinyl langsung tersaji begitu aku melewati pintu kaca dengan list hitam. Total ada empat orang yang langsung menoleh ke arahku serta berdiri sigap. Aku menggaruk tengkuk, merasa risi dengan sambutan mereka.
Apa harus seformal ini?
"Pak Rion? Ada perlu apa sampai bapak repot-repot datang ke sini?"
Salah satu anggota tim marketing menyapa pria yang berdiri di belakangku. Ternyata, sikap hormat itu mereka tunjukkan pada pria tadi sementara mereka tidak menganggap kehadiranku sama sekali.
"Benar yang kalian bilang. Untuk apa saya repot? Tapi saya tidak akan serepot ini jika kalian sudah menyerahkan proposal yang saya minta."
"Maaf, Pak. Saya pastikan malam ini selesai."
Seorang cowok dengan kaos hitam polos serta blazer abu-abu itu mengangguk sekali di depan pria yang aku tebak adalah orang berpengaruh di perusahaan ini.
Pria yang datang bersamaku tadi menoleh, menatapku dan menggerakkan kepalanya seolah memintaku untuk bergabung bersama mereka. Aku menelan ludah susah payah, mengingat aku sempat bertanya apa bisa santai bekerja di sini. Apakah kontrak kerjaku akan dibatalkan? Aku harap tidak.
"Mulai besok dia akan bergabung dengan divisi kalian. Saya harap ada perubahan yang signifikan dari tim. Ingat. Pekerjaan kalian menentukan nasib perusahaan kedepannya. Bagaimana produk kita dapat bersaing dan bertahan di benak konsumen."
Pria itu lantas berjalan mendekati kubikel dan mengambil beberapa lembar kertas kemudian mendengkus. "Kalian yakin ini akan selesai nanti malam?"
Hening.
Keempat anggota divisi marketing memilih untuk tidak menjawab pertanyaan pria yang dipanggil Rion tadi.
"Saya sudah menduga ending-nya akan seperti ini. Besok kalian akan minta waktu lagi dan lagi sampai kemungkinan ... minggu depan?"
Aku menelan ludah kembali dengan susah payah. Siapa pria ini? Dan apa posisinya sehingga semua orang yang ada di dalam ruangan seolah takut padanya?
"Selesaikan dua hari lagi. Kalau tidak kalian tanggung risikonya. Dan jangan coba-coba meminta bantuan Dhiwangkara untuk membela kalian di depan saya kecuali kalian ingin angkat kaki dari sini. Paham?"
Hatiku mencelus begitu saja ketika mendengar satu nama yang tidak pernah lagi kudengar selama empat tahun terakhir. Dari jutaan nama, kenapa harus Dhiwangkara? Kenapa harus nama pria brengsek yang memberikan harapan palsu kemudian menghilang begitu saja bagaikan ditelan bumi yang masuk ke pendengaranku?
Aku hanya berharap mereka bukan orang yang sama. Dalam hidup, bertemu Dhiwangkara adalah hal yang paling tidak aku inginkan untuk terjadi. Pria itu sudah kukubur empat tahun lalu di Yogyakarta. Akan tetapi, semakin aku berusaha untuk mengubur kenangan bersamanya, semakin pula rasa sakit yang pernah ia torehkan kembali menganga.
Aku meremas nametag yang ada di dada, berusaha sekuat tenaga untuk mengenyahkan seorang Dhiwangkara di dalam kepalaku. Dhiwangkara sudah mati, dia tidak akan pernah kembali, Dhiwangkara bukanlah siapa-siapa dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa.
Sebuah jentikan jari menyadarkanku dari lamunan. Pria yang dipanggil Pak Rion tadi sudah berdiri di hadapanku dengan kening yang berkerut.
"Kamu yakin akan dapat bekerja di sini?" tanyanya.
Tidak! Aku tidak yakin jika aku akan baik-baik saja saat nama Dhiwangkara masuk ke dalam runguku. Akan tetapi, aku tidak ingin membuang kesempatan ini setelah semua yang sudah aku alami. Aku tidak akan membiarkan nama Dhiwangkara kembali merusak segalanya.
"Yakin, Pak."
"Kalau kerja itu jangan santai. Tapi kalau mau santai, ya, jangan kerja. Paham?" Pak Rion menaikkan kacamatanya di hadapanku.
Aku mengangguk. "Paham, Pak."
"Bagus. Semoga kamu bisa membantu mereka dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat."
Pak Rion berlalu begitu saja, meninggalkan empat orang anggota marketing yang kini menghela napas kelewat panjang. Aku masih diam ditempat hingga seorang wanita yang mengenakan kemeja putih serta celana bahan hitam menghampiriku.
"Kamu tim marketing yang baru, ya?" tanyanya seraya mengulurkan tangan. "Tami. Salam kenal."
"Chysara. Mohon bimbingannya, ya?" Aku tersenyum kikuk.
"Harus bisa, Sara. Gue Eza. Salam kenal and welcome to the jungle!" Eza menepuk bahuku, cukup keras hingga aku meringis.
"Cysa atau Chya aja, Mas. Aneh denger diri sendiri dipanggil Sara." Aku tersenyum tanggung. Baru beberapa menit, ingatanku tentang Dhiwangkara kembali mencuat ke permukaan.
Kenapa enggak Sara? Sara Kara cocok, kan?
Aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan bayangan empat tahun lalu itu. Demi apa pun, kami bahkan hanya mengenal kurang dari dua belas jam, tetapi kenapa ingatan itu tidak juga hilang dari kepalaku?
Aku menghela napas untuk melegakan dada yang sejak namanya disebut terasa begitu sempit. "Kalau yang tadi siapa, Mas, Mbak? Kok kayaknya galak amat itu orang."
"Itu Pak Rion! Wakil CEO Coffetalks. Aduuh deh jangan dekat-dekat sama dia. Dia tuh kayak emisi karbon. Enggak ramah sama lingkungan."
Jadi tadi aku mengajukan pertanyaan soal santai atau tidaknya pekerjaan pada seorang wakil CEO? Terlebih dia datang ke sini untuk menagih project yang belum diselesaikan oleh calon timku. Aku mendecak pelan untuk merutuki kebodohanku. Semoga saja Pak Rion menganggap pertanyaanku hanya sekadar main-main.
Timelime-nya maju sampe empat tahun kemudian ya, dan mereka enggak ketemu sama sekali :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top