ʙᴀʙ sᴀᴛᴜ

Aku tidak tahu apa tepatnya yang memulai kesialan hari ini. Seolah semua datang secara bersamaan berlomba menjadi yang pertama, kemudian disusul menjadi yang kedua dan seterusnya.

Sudah satu jam aku duduk di dalam bilik toilet. Setelah memukuli seorang pria yang kuanggap sebagai pria mesum yang masuk ke dalam toilet wanita secara brutal, kini aku terjebak di dalam bilik toilet tanpa berani keluar. Bukan karena seseorang menguncinya, melainkan karena kebodohanku sendiri yang ternyata salah melihat tanda di pintu depan.

Tanganku terasa kebas, pegal pada pergelangan tangan semakin terasa karena sejak tadi yang aku lakukan hanya menutup telinga dari suara-suara yang ada di luar pintu bilik pojok tempatku bersembunyi.

Aku terus merutuk kebodohan sembari terus memikirkan bagaimana cara keluar dari sana tanpa diketahui orang, atau bagaimana cara keluar tanpa melihat hal-hal mengerikan. Aku bergidik, membayangkannya saja, membuat tubuhku gemetar ketakutan.

Setelah suara-suara gelak tawa yang sejak tadi memenuhi toilet menghilang, aku memberanikan diri untuk membuka bilik toilet, mengintip dari celah terkecil untuk memastikan bahwa ruangan itu kosong dan aku bisa kabur secepatnya. Namun, celahnya kembali tertutup oleh punggung yang sengaja merapat pada pintu.

"Jangan dibuka dulu. Tunggu aba-aba saya baru kamu bisa buka."

Suara berat itu dibuat sepelan mungkin. Meski tidak melihat sosoknya, aku tahu itu adalah pria yang tadi menjadi korban prasangkaku. Sedikit merasa bersyukur, setidaknya dia tidak membalas perbuatanku yang mengatakan dia pria mesum karena masuk ke toilet.

Aku menuruti perkataannya hingga suara ketukan pada pintu terdengar setelah beberapa menit kemudian. Ada sedikit ketakutan dalam diriku ketika membuka pintu sebelum terlonjak karena dorongan pintu yang keras dan pria itu menarikku hingga keluar dari area toilet pria. Sempat berpapasan dengan seorang bapak-bapak yang hendak masuk, pria paruh baya itu menatap kami dengan ekspresi terkejut sebelum pria itu menarikku berlari menjauh dari sana.

Kami berhenti untuk mengatur napas setelah dirasa cukup jauh dari jangkauan laki-laki paruh baya tadi. Sempat menoleh ke belakang sekilas, tanpa sadar kami tertawa bersama mengingat hal bodoh yang baru saja terjadi.

Aku menatap pria di depanku sedang berusaha mengatur napasnya, ia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya di hadapanku.

"Sorry gue main tarik-tarik aja. Gue panik tadi karena takut dikira berbuat mesum di kota orang."

Di kota orang? Jadi dia bukan asli orang Yogyakarta? Lalu dari mana ia berasal? Dari cara bicaranya, aku pikir pria itu berasal dari kota yang sama denganku.

Aku mengangguk samar, tersenyum kemudian meraih tangannya. "Nggak masalah. Justru seharusnya saya terima kasih karena sudah diselametin. Maaf juga tadi sudah mikir yang enggak-enggak."

"Iya-iya. Nggak masalah." Pria itu menggaruk tengkuknya.

Kami terdiam untuk beberapa detik sebelum kemudian aku teringat akan teman-temanku yang menunggu untuk ke tempat wisata selanjutnya.

Iya, untuk menghabiskan liburan semester, aku dan ketiga temanku memutuskan untuk berlibur ke Yogyakarta selama lima hari, meninggalkan Jakarta dan segala aktivitasnya yang cukup padat sebelum Vinka, salah satu temanku ribut dengan pacarnya di telepon. Aku yang mencoba menenangkan justru malah mendapat amukan Vinka yang menyalahkan rencanaku naik kereta api dibandingkan diantar oleh pacarnya.

Aku yang tidak terima disalahkan memilih untuk kembali ke penginapan tempat kami menginap, berpisah seorang diri meski Luna, sahabatku yang lain sudah mencoba menenangkan. Mungkin Luna benar ketika mengatakan sebaiknya aku mengalah pada Vinka, karena ternyata aku meninggalkan ponsel di dalam penginapan tadi pagi, dompetku juga kutitipkan pada Luna karena aku kebagian membawa motor sewaan sejak tadi pagi.

Aku meringis, merutuki kebodohan untuk kesekian kalinya.

"Hei, lo enggak apa-apa?"

Suara berat serta tepukan pada bahu yang dilakukan pria itu membuatku kembali terlonjak. Pria itu membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. Dari jarak sedekat itu, aku dapat dengan jelas melihat potret diriku di dalam bola matanya yang gelap.

"Gu-gue enggak apa-apa." Aku mencoba mundur beberapa langkah, menjauhkan wajahnya dariku, mencoba bersikap normal meski berada di jarak sedekat ini dengannya membuat degup jantungku mengencang.

Namun, usahaku untuk bersikap normal di hadapannya buyar seketika saat terdengar suara asing yang terdengar memalukan. Aku membuang muka ketika mendengar pria itu tertawa karena suara perutku.

"Jadi dari tadi diem aja nahan laper?" tanyanya disela-sela tertawa.

"Emang ngerasa laper nggak wajar? Bukannya itu manusiawi, ya?" Aku berusaha menahan malu dengan argumen tidak penting.

"Manusiawi, sih. Tapi lo nggak keliatan kayak orang-orang yang seharusnya kelaperan. Kalau gue prediksi, mungkin di tabungan lo punya uang untuk beli makanan sampe sepuluh porsi." Dia menampilkan ke sepuluh jarinya di hadapanku.

"Don't judge book by it's cover," balasku cuek.

"Yes, you are right. But seeing your appearance everyone might not believe that you're starving," jawabnya dengan tangan terlipat di depan perut.

"Kenapa?"

"You look so beautiful."

Napasku tercekat mendengar balasan terakhirnya. Sepertinya, pria di depanku ini adalah tipikal pria buaya darat. Jadi aku harus sebisa mungkin terlihat biasa di depannya. "Thank's for the compliment."

"My pleasure." Dia kembali membalas cuek. "Jadi? Bagaimana kalau kita makan siang?"

"Makasih. Tapi gue ke sini bareng temen-temen." Aku menunjuk ke belakang punggung, seolah memberitahu bahwa ada yang menungguku.

Meski sekarang aku tidak tahu dimana keempat teman kuliahku, tetap saja sungkan rasanya jika harus meminta bantuan pria itu sekali lagi. Aku lihat dia mengangguk maklum, raut wajahnya berubah canggung meski masih mempertahankan senyumnya.

"Sama temen? Yakin? Bukan sama pacar?"

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaannya. "Harus gue jawab?"

Dia kembali tertawa mendengar jawabanku. Pria ini mudah sekali tertawa, itu hal pertama yang aku tahu tentangnya. Dia tampan dengan garis wajah tegas dan hidung bangirnya, tetapi manis secara bersamaan dengan bibir tipis dan lipatan pada pipi ketika dia tertawa. Matanya dibingkai alis yang cukup tebal dan hitam serupa dengan warna rambutnya.

"Sorry," ucapnya kemudian. "Ya sudah. Kalau begitu, gue duluan."

Dia memutar badan setelah aku mengangguk dan mengucapkan kalimat terima kasih yang terakhir kali padanya. Aku tetap diam di tempat melihat punggungnya menjauh, sempat menoleh ke belakang, pria itu melambaikan tangannya padaku sehingga aku membalas perlakuannya.

Aku yang tidak tahu harus ke arah mana saat ini mencoba duduk di bangku yang ada di depan tukang tambal ban tutup sebentar. Jarak antara Monjali ke Malioboro kurang lebih enam kilometer, sudah pasti tidak mungkin aku sanggup berjalan kaki hingga ke sana. Jadi, lebih baik aku istirahat sejenak sambil memikirkan cara untuk kembali ke penginapan yang ada di Malioboro.

Hanya sekitar beberapa menit, aku merasakan ada seseorang yang duduk di sampingku. Aku menoleh dan mendapati pria yang menolongku tadi duduk di sebelahku. Dia menyodorkan sebotol minuman isotonik dingin kepadaku.

"Masih segel, 'kok. Jangan takut gue kasih obat tidur atau semacamnya." Dia kembali menyodorkan botol tersebut ke arahku.

"Kenapa lo masih di sini?" tanyaku setelah berhasil membuka tutup botol minuman pemberiannya, sensasi dingin menyebar melalui tenggorokanku.

"Gue bukan orang yang cukup bodoh untuk percaya kalau temen lo masih nungguin di tempat mereka setelah satu jam lo ilang karena kejebak di toilet cowok. Dan lo nggak bawa tas sama sekali. Butuh bantuan?"

Napasku tercekat mendengar penuturannya. Aku mengangkat tangan untuk menutupi wajah yang hampir saja menangis karena ketakutan. Pria itu beringsut jongkok kedepan ketika melihatku menangis.

"Are you oke?" tanyanya ketika mencoba menenangkanku. Wajahnya terlihat panik ketika menatapku.

"Kenapa enggak dari tadi, sih? Lo tahu nggak, sih? Gue takut. Gue pikir gue bakal jadi gembel di Jogja."

"Tadi lo yang nolak bantuan gue bukannya?" Pria itu bertanya lagi.

"Iya, sih. Tapi ...."

Aku dengar pria itu kembali tertawa, sedikit curiga jika dia adalah adik bungsu Kuntilanak, aku memukul bahunya pelan untuk mematikan bahwa dia manusia.

"Kenapa malah mukul?" tanyanya.

"Jangan ketawa."

"Kenapa?" Ia mengerutkan kening.

"Jelek."

"Kenapa jelek?"

"Ya ... ketawa lo jelek."

"Emang ada ketawa ganteng?" Entah bagaimana melakukannya, tapi pria itu mengangkat sebelah alis.

"Nggak tau!"

"Kenapa?"

"Kenapa-kenapa mulu!"

"Iya makanya jelasin ketawa ganteng kayak gimana? Kayak gue, 'kan?"

"Pede banget!"

"Harus dong! Lagian jujur aja, sih. Lo juga cantik, 'kok. Tadi gue udah jujur loh." Pria itu kembali mengudarakan tawa kecil seraya berdiri dari posisinya tadi. Dia mengulurkan tangan yang aku sambut segera.

"Dhiwangkara. Panggil gue Kara," ucapnya dengan lugas.

"Chysara. Biasanya dipanggil Chya," balasku.

"Kenapa Chya? Kenapa nggak Sara? Kan cocok tuh, Sara sama Kara." Dia mencoba bercanda meski terdengar cheesy buatku.

"Mau banget dicocok-cocokin?" Aku mengempaskan tangannya.

"Karena bukan tanaman jadi nggak mau dicocok. Tapi kalau dijodohin mau deh."

"Males banget!" Aku kembali memukul pelan pundak pria yang kini aku tahu bernama Kara dengan pelan. "Jadi? Mau bantuin gue balik ke Malioboro nggak? Pleaseee ... bensin lo bakal gue ganti, anggap saja ongkos."

Kara mengembuskan napas berat sebelum bertolak pinggang dan menggeleng lemah. Aku pikir ia akan menolak untuk membantuku, tetapi sesaat kemudian ia justru mengangguk seraya tertawa sebagai persetujuan untuk mengantarku hingga penginapan.

Aku terjingkat, hendak bersorak sebelum sadar bahwa tingkahku tak ubahnya seorang anak kecil yang keinginannya baru saja dipenuhi, dan itu kembali membuat Kara mengepalkan tangan di depan mulut dan tertawa.

Sungguh. Aku merasa malu karena bersikap bodoh di depannya!

Monjali : Monumen Jogja Kembali
Yuk kembali berusaha satu hari satu bab :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top