bab tujuh belas

Sesuai instruksi Mas Agas, aku ikut ke apartemen yang Kara tempati selama hari kerja.

Setelah menyelesaikan satu pemeriksaan di salah satu rumah sakit besar di Jakarta Selatan ia memilih untuk kembali ke apartemen, alih-alih pulang ke rumah orang tuanya yang berada di BSD.

Ruangan apartemen Kara tidak begitu luas, hanya ada dua ruang yang terpisah aquarium tembok untuk kamar. Sementara dapur kecilnya bersisian dengan ruang tamu. Aku menggaruk tengkuk, duduk dengan canggung di sofa utama yang menghadap sebuah aquarium berukuran besar.

"Itu ... aquarium, Pak?"

"Bukan. Kamar mandi."

Aku memutar bola mata, malas menanggapi ucapan Kara yang kelewat absurd sementara ia pergi menuju kulkas dan mengambil kaleng satu minuman kaleng. "Minum ini. Saya cuma punya ini untuk saya kasih ke kamu."

Ternyata dia mengambil kaleng minuman itu untukku. Aku menerimanya, mengulas senyum setipis mungkin saat mengucapkan terima kasih.

"Kamu saya tinggal di sini sendiri enggak apa-apa? Kepala saya sedikit berat. Kalau kamu bosan, kamu bisa baca buku-buku di sana atau bisa ambil apa saja yang ada di kulkas." Kara menunjuk rak buku yang bersebelahan dengan aquarium.

"Enggak apa-apa, Pak. Saya izin pakai listrik untuk laptop saya, ya. Mau ngerjain kerjaan dari Pak Rion."

Kara mengangguk sebagai tanda persetujuan sebelum berjalan menuju kamarnya. Aku membuka chat yang dikirim Eza juga Mas Joni. Isinya tentang bahan materi campaign dan KPI ketika Mas Agas menelpon.

[ "Kara gimana?" ]

"Udah baikkan, Mas. Cuma tadi pamit tidur, kayaknya kecapek'an."

[ "Ohh gitu. Ya sudah, biarin dia istirahat aja dulu. Sebentar lagi gue pesenin makanan buat kalian." ]

"Enggak usah, Mas. Tadi pas di jalan saya sama Pak Kara sempat mampir beli makanan dulu, 'kok. Jadi sekarang sudah ada makanan sampe nanti siang."

Aku menolak tawaran Mas Agas. Tadi saat diperjalanan, aku sempat bertanya pada Kara apa dia sudah sarapan, dan pria itu menggeleng. Oleh karena itu, aku berinisiatif mengajaknya mampir ke supermarket yang kami lewati untuk membeli bahan makanan.

Mas Agas mengiyakan jawabanku, kemudian berpesan agar sesekali aku mengecek keadaan Kara yang sedang tidur.

Setelah selesai dengan pekerjaan dan mengirimkannya pada Bu Tami, aku memberanikan diri melangkah memasuki kamar Kara, mendekat pada Kara yang masih memejamkan mata. Awalnya, aku ingin langsung kembali keluar saat melihatnya tidur sangat pulas, tetapi aku mengurungkan niat ketika melihat titik air di matanya.

Aku memberanikan diri untuk mendekat, menyentuh keningnya untuk memastikan ia tidak demam. Namun, saat aku mendekat suara Kara terdengar begitu lirih.

"El ...."

Aku refleks menjauh ketika ia menyebut panggilan itu. Matanya masih terpejam erat, tetapi air mata semakin intens keluar hingga membasahi bantal yang ia gunakan.

"El ...."

Ada rasa sesak yang tiba-tiba datang entah dari mana. Aku mencoba menetralkan diri, menyakinkan bahwa kini aku tidak lagi mengharapkan Kara kembali seperti dulu. Iya, cerita kami sudah usai bahkan sebelum benar-benar dimulai. Aku menggelengkan kepala, kembali mendekat pada Kara dan menepuk pundaknya.

"Pak? Pak Kara baik-baik saja?"

Kara tersentak mendengar panggilanku, ia refleks membuka mata dan duduk. "Kamu?"

"Maaf, Pak. Sebaiknya lebam bapak dikompres dulu, biar enggak semakin parah. Nanti saya bantu oles salep supaya memarnya mendingan."

Kara membuang muka. Tangannya bergerak ke wajah, mungkin tengah menyeka air mata yang keluar selama tidur. "Iya. Kamu bisa keluar dulu."

Aku melangkah keluar, menghampiri kulkas dan mengambil es batu yang akan aku gunakan untuk mengompres Kara. Wajah Kara tidak sebaik sebelum ia tertidur. Dengan roman minus ekspresi, ia mengambil handuk kecil dan memintaku meletakkan bongkahan es ke atasnya.

"Biar saya saja, Pak," tawarku saat mengambil alih handuk yang sudah membungkus es.

Kara tidak mengatakan apa-apa saat aku menggiringnya ke ruang tamu dan duduk di sofa panjang. Ia menghadap tepat ke depan aquarium, sementara aku memingkan tubuh menghadapnya. Aku meletakkan handuk berisikan es di atas meja kaca, membuka plastik dan mengeluarkan salep pereda nyeri agar mudah diambil setelah mengompres.

"Tahan sedikit, Pak."

Kara sempat meringis ketika aku menempelkan handuk berisi es pada keningnya. Harus sedikit mendongak untuk melihat posisi lebamnya, aku sempat memaku sebentar ketika bekas luka jahitannya begitu terlihat. Luka itu cukup panjang, melintang dari pelipis paling atas hingga ke dalam rambutnya. Sedikit bagian rambut Kara juga tidak lagi ditumbuhi rambut, mungkin itu yang membuatnya memilih memanjangkan rambut.

"Lukanya besar banget, Pak," ucapku tanpa sadar.

"Luka?" Kara mengulang pertanyaanku.

"Luka bekas kecelakaan, ya? Pantes Pak Rion protect banget ke bapak." Aku meletakkan handuk basah karena cairan es ke dalam wadah dan mengambil kembali beberapa bongkah es ke dalam handuk. "Saya rasa ucapan Pak Kara ke Pak Rion tadi bisa saja bikin Pak Rion sakit hati."

Aku menghentikan ucapan ketika Kara menahan tanganku. "Kamu enggak suka saya bicara seperti itu ke Rion."

"Kalau saya jadi Pak Rion, pasti saya sedih banget, Pak. Saya sayang orang itu melebihi nyawa saya sendiri, tapi dia malah bilang kalau dia mau mati." Aku menggeleng pelan dan kembali menempelkan handuk ke kening Kara.

Tempelanku pada kening Kara terlepas begitu saja saat pria itu menyandarkan bahu pada sofa. Ia menghela napas lelah kemudian menatap ke arah aquarium besar berisi ikan-ikan kecil. "Kamu lihat di sana."

Aku menoleh ke arah yang Kara tunjukkan.

"Kamu tahu, kenapa saya suka lihat ikan-ikan di dalam aquarium?"

Aku memilih diam saat mendengarkan Kara bicara. Matanya menatap nanar pada aquarium besar kemudian tertawa pelan.

"Karena saya merasa mirip dengan mereka."

"Maksudnya, Pak?"

"Apa kamu bisa menyentuh ikan-ikan itu ketika mereka berada di dalam kotak kaca? Sama seperti mereka, saya juga berada di dalam kotak kaca, bedanya kotak kaca saya berbentuk rasa khawatir yang berlebihan." Kara terlihat kembali mengembuskan napas berat. Sepertinya, pembicaraan ini cukup sulit untuk dia lakukan.

"Saya dilarang untuk bekerja terlalu keras, kemudian Rion akan meneruskan pekerjaan itu. Saya tidak dapat mengurus keperluan dengan baik, kemudian mereka minta Agas mengurusnya. Kara, kamu butuh apa? Kara, kamu baik-baik saja? Kara, kamu tidak bisa. Selalu seperti itu. Apa pun yang terjadi dalam hidup saya, selalu ada orang lain yang terlibat dalam mengambil keputusan."

Kekehan Kara kini terdengar sumbang. Ia mendongakkan kepala, memejamkan mata dan tangannya menjulur ka atas. "Siapa Kara? Dia hanya boneka kecil yang mudah rusak, karena itu kita harus jaga."

Tidak selamanya menjadi dikhawatirkan itu baik. Kara contohnya, ia bahkan seperti kehilangan jati diri sebagai manusia karena terlalu dilindungi. Namun, kepedulian juga bukan sesuatu yang salah. Mereka hanya terlalu takut kehilangannya.

"Kamu pasti juga beranggapan kalau saya enggak berguna, 'kan, di CoffeTalks. Tanpa saya, Rion bisa melakukan segalanya."

Aku menggeleng pelan. "Awalnya saya berpikir begitu. Cuma setelah kenal Pak Kara dan Pak Rion, saya pikir itu pemikiran yang salah. CoffeTalks bukan hanya tentang kalian berdua, tapi juga karyawan yang terlibat." Aku meletakkan handuk basah kembali ke wadah. Mengambil handuk kering dan mengelap wajahnya.

"Semua karyawan takut sama Pak Rion, saya pikir alasan mereka bertahan karena mereka tahu, mereka punya Pak Kara. Mungkin kalau enggak ada bapak, CoffeTalks enggak akan punya sisa karyawan yang mau kerja sama Pak Rion."

Kara berusaha menahan tawa mendengar pendapatku tentang Pak Rion. Ujung matanya sampai berkerut karena geli yang tak bisa ia tahan.

"Bapak senang banget saya jelek-jelekin Pak Rion," ucapku saat meraih salep dan mengeluarkan isinya diujung jari.

Tanganku meraih kepala Kara agar sedikit mendekat, menyeka rambut yang menutupi bagian pelipis dan mengoleskan salep sembari meniupinya perlahan.

"Nanti malam jangan lupa minta Mas Agas olesin lagi salepnya, ya, Pak," ucapku berusaha agar napasku tidak mengganggunya.

"Saya bisa kali pakai bantuan cermin. Kalau Agas yang bantu olesin bisa-bisa kepala saya dilepas sama dia." Kara menggerutu. Ia memajukan wajahnya ke sebelah kanan dengan posisi miring.

"Ya kalau malem nanti enggak diolesi salep paling lebamnya berubah jadi benjolan, Pak."

"Emang iya?" Kara refleks menoleh ke arahku.

Gerakanku yang telaten meratakan salep dikulitnya terhenti begitu saja. Aku memaku, dengan mata yang membulat ketika Kara menoleh. Karena jarak yang terlampau dekat, tanpa sengaja bibirnya menyentuh bibirku.

Sempat memaku selama beberapa detik. Aku berusaha mendorong keras bahu Kara agar melepaskan ciuman itu.

Kara menjauh, berusaha menghindar dari amukanku karena kejadian tadi, sementara aku sudah mengambil bantal sofa dan melemparnya ke arah Kara.

"Saya enggak sengaja, Chysa! Sumpah enggak sengaja." Kara menghindar ketika aku melempar bantal sofa lainnya.

"Makanya bapak jangan bergerak-gerak. Sudah tahu saya lagi niupin luka bapak! Bapak malah gerak-gerak." Aku meluapkan semua emosiku.

Meski itu bukan pertama kalinya aku berciuman, tetapi tetap saja aku tidak dapat menerima bahwa ada pria lain yang menciumku sembarangan.

"Bapak tuh harus dikasih pelajaran!" Aku berteriak ketika mengejarnya ke dalam kamar. Mendorongnya hingga tersungkur di kasur dan memukulnya kembali sampai-sampai Kara harus melindungi dirinya di dalam selimut.

"Iyaa iyaa iyaa maaf, saya enggak sengaja, Chysara!"

Aku terus memukulnya hingga Kara membalas dan memerangkap tanganku agar berhenti. Karena terlalu marah, aku tidak sadar bahwa gerakan berontakku dari cekalan Kara membuat kancing kemejaku rusak.

"Oke. Stop." Kara terengah-engah karena berlari. Pandangan Kara yang semula menatap mataku turun, aku mengikuti arah pandangnya dan langsung bergerak menutupi bagian baju yang terlepas dan menunduk.

"Chysara, saya minta maaf. Saya enggak bermaksud ngeliat. Tadi ... cuma refleks aja."

Aku terlalu malu untuk mendengarkan ucapan Kara. Setelah ini, bagaimana aku harus bersikap saat bertemu dengan Kara? Atau, bagaimana jika Fai tahu akan hal ini? Perlahan, aku mengeluarkan suara isakkan. Ketakutan akan prasangka Fai membuatku hilang kendali.

"Chysara kamu nangis? Oke saya benar-benar minta maaf. Saya salah, kamu bisa pukul saya sekarang juga, Chysara. Tapi please forgive me."

Aku mengencangkan tangisanku, tidak mempedulikan Kara yang sudah kelimpungan. Ia segera turun dari kasur, mengambil satu kemeja dan memberikannya padaku.

"Saya malu, Pak," ucapku disela-sela tangisan.

Tanpa diduga, Kara duduk tepat di depanku. Memegangi kepalaku dan menatap tajam. "Dengar saya. Pilih salah satu, kamu laporkan saya kepolisi atas tindakan pelecehan? Saya tidak keberatan. Atau kamu mau kita lupakan dan anggap ini tidak pernah terjadi? Saya juga setuju. Semua keputusan ada di tangan kamu."

Napasku tersenggal saat berusaha menghentikan tangisan. "Sa-saya ...."

"Saya terima apa pun keputusan kamu."

"Tapi bapak janji enggak akan cerita sama siapapun? Termasuk Mas Agas dan Pak Rion?"

"Menurut kamu saya akan selamat jika cerita sama mereka?"

"Yaudah saya maafin Pak Kara," ucapku dengan nada sepelan mungkin. "Tapi bapak enggak boleh bahas ini lagi sampai kapanpun!" sentakku kemudian.

"Iyaa iyaa saya janji! Sekarang kamu ganti baju dulu. Bisa-bisa saya dituduh apa-apain kamu lagi."

"Pak! Bapak barusan janji!" Aku kembali menyetak keras. Tidak peduli pria di depanku ini adalah CEO tempatku bekerja.

"Iya. Janji."

Walaupun Kara enggak inget sama Chysara, tanpa sadar dia bisa luapin apa yang selama ini enggak bisa dia luapin ke orang-orang terdekatnya.

Kayak semacaaaam ... otaknya mungkin lupa, tapi hatinya enggak cieeelaaah ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top