bab tujuh
Menjadi bagian dari tim marketing dengan perjanjian kontrak selama satu tahun di Coffetalk adalah hal paling aku syukuri selama empat tahun terakhir. Setelah bekerja serabutan selama tiga tahun, mulai dari SPG brand kosmetik hingga penjaga stand di Pekan Raya Jakarta akhirnya aku memiliki lanyard dengan nama perusahaan secara tetap. Setidaknya, sebelum aku bertemu dengan Dhiwangkara di ruang meeting siang ini.
"Sumpah, ya, Chya. Muka lo lucu banget tadi pas ngeliat Pak Kara. Mas Joni belum berhenti tertawa sejak kami keluar dari ruang meeting. Lo dengan polos ngomong kalau lo ngantuk. Di depan Pak Rion dan Pak Kara pulak! Asli deh."
"Yaudah, sih. Namanya juga keceplosan." Aku merengut sebal mendengar ejekan Mas Joni serta Eza yang belum berhenti juga.
"Tapi emang nggak salah, kok, Chya. Pak Kara emang ganteng banget. Ramah pula orangnya." Ami ikut menyahuti.
"Aduh bukan itu maksud gue. Gue pikir tadi yang duduk dekat Pak Rion itu Pak Kara. Tadi pas ada resepsionis datang manggil Pak Kara, kan dia yang nyaut. Aku berkilah. Aku mana tahu kalau itu asisten pribadinya. Lagian pimpian yang sudah punya wakil masih harus punya asisten pribadi memangnya?"
Aku menghela napas dan kembali dengan aktivitasku membuat rancangan untuk pengembangan program promosi untuk dua bulan ke depan, sekaligus promosi perkenalan produk baru yang jauh berbeda dengan brand utama Coffetalk.
"BTW, Chya. Laporan ROI yang diminta Bu Tami dua hari lalu udah selesai? Soalnya biar gue bisa nentuin budget campaign bulan depan." Mas Joni mengubah topik.
Aku mengusap wajah kasar ketika teringat akan pesan Bu Tami dua hari lalu yang aku tinggalkan karena perintah Pak Rion. "Mampus. Belum lagi."
Aku hanya bisa menyengir melihat Mas Joni menepuk jidatnya. Laki-laki berusia 28 tahun itu lantas mengacak-acak rambut dan mengerang pelan. "Alamat diomelin lagi ini, sih."
"Sorry, Mas."
"Kira-kira bisa selesai kapan?" tanyanya kembali.
"Enggak yakin, sih. Tapi kalau besok mau selesai paling nanti gue lembur sampe malem aja deh. Soalnya enggak masa Bu Tami kena omel lagi nanti gara-gara gue."
Sebetulnya, ucapan itu sedikit ragu aku ucapkan. Akan tetapi, berhubung aku anak baru dan tidak ingin memiliki reputasi buruk, jadi aku mengorbankan diri sambil berharap bahwa Mas Joni akan menemaniku lembur malam ini agar cepat selesai.
"Ya sudah kalau mau lembur. Semangat, Chya. Jangan lupa isi form lemburan, ya."
Aku mencebik pelan. Ternyata pria itu sama sekali tidak memiliki empati pada juniornya di kantor. Untuk menaikkan mood-ku yang tiba-tiba berantakan karena ulah Mas Joni, aku memutuskan untuk turun ke lantai satu dan membeli kopi selagi pekerjaan masih bisa kutinggal.
Satu gelas iced caffelatte doubleshoot mungkin cukup untukku bertahan hingga jam sembilan malam nanti. Namun, itu menjadi kacau setelah seseorang berlari melewatiku dan menyenggol tanganku.
"Heh!"
Umpatan yang hampir saja keluar terpaksa aku telan kembali ketika melihat sosok yang memberikan aba-aba agar aku menunggu adalah Kara. Aku belum sempat memproses, sementara pria itu sudah kembali berlari seolah tumpahnya kopi yang mengenai bajuku bukanlah apa-apa.
Aku memaki dalam hati, menyebut segala sumpah serapah yang kutujukan pada Kara sebelum berjalan dengan menghentakkan kaki menuju lift. Seandainya keadaanku tidak seperti sekarang, aku bersumpah akan memukul kepala atau setidaknya menampar wajahnya agar ia merasakan apa yang aku rasa.
Aku segera memutar bola mata ketika sosoknya kembali muncul di hadapanku. Kara. Pria itu hanya berdiri di depan lift sembari bertolak pinggang. Sebuah sikap yang mungkin ingin ia tunjukkan bahwa dia adalah bos di perusahaan ini. Sombong sekali!
Aku mendengkus ketika berdiri di sampingnya. Sedikit malas rasanya jika harus satu lift dan berbasa-basi dengannya saat ini. Aku berdeham agar ia menyadari kesalahannya dan meminta maaf, tetapi pria itu tetap bergeming.
"Kara!" Tanpa sadar aku berteriak hingga membuatnya terjingkat.
Ia memutar badannya dan menatapku dengan kening berkerut, tangannya terangkat melihat bajuku yang kotor akibat tumpahan kopi. "Baju kamu kenapa?"
"Bapak lupa tadi sudah nabrak saya di sana." Aku menunjuk arah Kafe yang berukuran 4x4 meter yang ada di dalam gedung perkantoran. "Baju saya kotor karena bapak!"
"Ahh, saya minta maaf, ya. Saya enggak sengaja. Tadi itu ...."
Ucapan Kara terhenti begitu saja ketika pintu lift terbuka. Agastya, asisten Kara dengan sigap menghampiri Kara dan membisikan sesuatu yang tidak aku dengar sama sekali.
"Ya sudah kamu ambil mobil duluan. Saya tunggu di lobby," ucap Kara pada Agastya yang langsung disetujui.
Aku yang tidak peduli memilih melangkah menuju lift, meninggalkan Kara dan asistennya di luar sebelum pria itu masuk ke dalam kotak besi yang sama denganku. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara kami selama di lift, aku hanya melipat tangan sembari terus melihat ke arah angka pemberitahuan lantai ke berapa.
Saat pintu besi terbuka di lantai empat, aku buru-buru keluar karena merasa tidak nyaman berada di dekat Kara. Akan tetapi, pria itu justru mengikutiku keluar dan menahanku.
"Tunggu, Mbak."
What? Mbak? Apa aku tidak salah dengar dia memanggilku dengan sebutan 'Mbak'? Apa dia sedang bercanda denganku? Jelas-jelas di tahu betul bahwa aku lebih muda darinya.
"Mbak?" ulangku saat memutar badan menghadapnya membuat Kara mundur satu langkah dengan bola mata yang melebar melihat ke arahku.
"Iya ... saya enggak sengaja tadi nabrak kamu. Jadi ini." Kara menyodorkan uang lembaran merah yang aku tidak tahu berapa jumlahnya. "Buat ganti baju kamu yang kotor."
Aku tersenyum remeh. Jadi, hanya sedangkal itu pemikirannya? Apa dia Kara pikir uangnya bisa menebus segalanya? Meski aku sudah tidak berharap kepadanya, tetapi tetap saja cara yang digunakan sungguh membuatku muak.
"Maaf, Pak Kara yang terhormat. Saya memang karyawan bapak. Tapi bukan berarti saya dengan mudah bapak beli dengan uang. Kalau memang bapak merasa bersalah, seharusnya bapak meminta maaf. Bukan malah menyodorkan uang ke hadapan saya."
Aku mengepalkan tangan. Bersiap memukul wajahnya jika saja dia bukan pimpinan perusahaanku bekerja. Dia melupakan apa yang terjadi empat tahun lalu. Oke! aku juga akan melupakan semuanya. Atau ia menganggap dengan statusku sekarang aku tidak pantas untuk dikenal olehnya? Memang siapa yang ingin akrab dengannya?
"Tadi di bawah saya sudah meminta maaf, bukan? Kamu yang belum menerima permintaan maaf saya." Aku lihat Kara menggaruk tengkuknya.
Aku menelan ludah susah payah setelah mendengar balasannya. "T-tapi enggak terdengar tulus."
"Lalu saya harus meminta maaf bagaimana?"
Aku kembali mendengkus mendengar pertanyaannya. Aku hampir saja percaya jika Kara yang sekarang ada di depanku benar-benar kebingungan. Sayangnya, empat tahun lalu aku mengenal sosok Kara yang cerdas dan selalu dapat membuat lawan bicaranya kalah. Mungkin ini adalah salah satu strateginya.
"Bagaimanapun bapak meminta maaf enggak akan mengubah segalanya, Pak. Baju saya tetap kotor." Aku berbalik, melangkah menuju ruang marketing dan meninggalkan Kara seorang diri di depan lift.
"Dasar laki-laki kurang ajar, brengsek, tukang PHP," ucapku lirih hingga hampir tidak terdengar oleh siapapun.
Emosi yang ada di dalam dadaku kembali meletup. Aku mengepalkan tangan, meninju udara untuk melampiaskan kekesalanku pada Kara sebelum sebuah tangan mencekal pergerakanku. Aku menoleh dan mendapati Kara menatapku dengan raut wajah yang sukar aku jabarkan.
Apa dia mendengar apa yang aku katakan barusan?
Selama beberapa detik kami berada di posisi yang begitu dekat karena Kara mencondongkan badannya saat mencekal tanganku. Aroma aqua marine yang tercium dari tubuhnya tidak berubah sejak empat tahun lalu.
"Apa sebesar itu kesalahan saya sampai kamu enggak bisa maafin saya?" tanya Kara sembari menatapku tajam.
Aku bergeming mendengar suara berat yang keluar dari bibirnya. Apa maksudnya? Apa dia tidak terima dengan ucapanku barusan? Memang sepeduli itu ia dengan maaf yang diberikan karyawan padanya?
"Saya ingin memastikan sesuatu. Apa sebelum ini saya pernah berbuat sesuatu yang membuat kamu tersinggung atau marah?"
Jantungku seperti terhenyak begitu Kara melontarkan pertanyaan itu padaku. Meski sekuat tenaga aku menyangkal, tetap saja apa yang dia perbuat empat tahun lalu tidak bisa aku lupakan begitu saja, meski itu sudah tidak berarti baginya.
"Enggak ada."
"Kamu yakin?"
"Yakin."
"Seberapa yakin?"
"Segunung." Aku menjawab asal.
Kara tertawa mendengar jawabanku yang kelewat absurd. Ia menggeleng pelan kemudian melepaskan cekalannya pada tanganku.
"Oke. Anggap saya percaya. Itu berarti, kamu sudah maafin saya? Kalau sudah berarti tidak ada apa-apa lagi di antara kita bukan?"
"Iya. Memang tidak perlu ada apa-apa di antara kita selain hubungan pekerjaan bukan?" Aku menaikkan sudut bibir, mencoba tersenyum di depannya.
"Kalau begitu saya pergi dulu. Selamat sore."
Aku mengembuskan napas panjang setelah obrolan singkat itu. Kara benar. Sudah tidak ada apa-apa di antara kita selain hubungan pekerjaan. Jadi, sebaiknya aku fokus dengan apa yang aku coba perbaiki yaitu; kondisi ekonomi keluargaku.
Chya itu udah enggak ngarepin Kara lagi. Tapi dia masih dendam sama Kara karena dia nggak tepatin janjinya ketemuan empat tahun lalu.
Kalian lebih suka panggil Chysara dengan sebutan apa? Kalo Kara dulu nggak mau panggil 'Chya' karena sama aja itu ngerusak namanya yang udah bagus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top