Bab tigapuluh tiga
Hal yang pertama yang aku lihat saat mendapat kesadaran kembali adalah Mas Agas dan Mas Amar sedang berdiskusi dengan seorang dokter perempuan. Aku tidak bicara apa-apa, tetapi Mas Agas menoleh ketika merasakan pergerakanku di atas brankar rumah sakit.
"Chya, badan lo gimana? Udah enakan?" Mas Agas mendekat dan duduk di sampingku.
Air mataku kembali menetes akibat rasa malu yang membungkus saat Mas Agas memperlakukanku dengan begitu baik.
"Gimana hasilnya, Mas?"
"Positif. Lo harus secepatnya ngomong sama Kara soal ini."
"Please, Mas. Jangan kasih tahu Kara soal ini."
"Maksud lo?" Mas Agas menatapku tidak percaya.
"Aku pikir Kara belum tentu mau tanggung jawab soal ini, 'kan? Lagi pula kami melakukannya bukan karena keterpaksaan, jadi dia enggak perlu bertanggung jawab soal apa pun yang terjadi sama aku." Aku dibantu Mas Agas bangun dan duduk di atas kasur.
Mas Amar menatapku tidak percaya. "Lo pikir Kara sepicik itu? Kara bukan orang yang akan nolak tanggung jawab atas apa yang pernah dia perbuat. Lo tahu? Bahkan saat dia enggak inget semuanya dia tetap ...."
"Mar!" Mas Agas memperingatkan Mas Amar untuk berhenti. "Bukan waktunya kita omongin soal itu sekarang. Yang terpenting sekarang gimana caranya kita sembunyiin ini semua dari Rion atau yang lainnya. Karena gue enggak yakin situasinya akan baik-baik aja setelah si kecil lahir nanti tapi keadaan Kara masih kayak sekarang."
"Ya masalahnya kita aja enggak tahu apa yang harus kita lakuin untuk ngembaliin semua ingatan Kara! Empat tahun, Gas. Empat tahun!"
"Memang ada apa, sih, Mas, empat tahu lalu?"
Kenapa peristiwa empat tahun lalu begitu penting bagi Mas Amar? Seolah peristiwa empat tahun lalu sudah menjungkirbalikkan kehidupannya.
"Kalau bener anak yang lo kandung itu memang anaknya Kara, gue yakin lo enggak mau tahu apa yang terjadi empat tahun lalu. Tapi gue minta, lo percaya aja sama gue dan Kara." Mas Amar mengembuskan napas pelan dan memijit pangkal hidungnya.
"Kara juga pernah peringatin aku, Mas. Soal kami, aku hanya boleh percayakan sama Kara dan Mas Amar."
"Gue?" Mas Agas menunjuk dirinya sendiri.
Aku menggeleng pelan yang dihadiahi decakan pelan dari Mas Agas dan tawa mengejek dari Mas Amar. "Muka lo emang enggak bisa dipercaya, Gas."
"Sialan!"
Mas Amar mengubah ekspresinya yang tegang menjadi lebih santai. Ia mengelus perutku yang rata kemudian berucap. "Kara kecil, lo bertahan, ya. Jaga mama dengan baik, temani mama selama Om Amar berusaha bikin bokap lo yang pikun itu inget semua yang terjadi, ya?"
"Terima kasih, ya, Mas."
Mas Amar mengangguk. "Sekarang lo bukan cuma tanggung jawab Kara, tapi juga tanggung jawab gue sama Agas. Dan, kalau tadi lo bilang Kara minta lo percaya sama gue, gue juga minta satu hal, lo percayain semuanya sama Agas, minta bantuan apa pun yang lo butuhkan sama dia tanpa merasa enggak enak. Bayaran dia udah cukup gede, dan tanpa sadar, di perut lo sekarang ada bosnya dia."
"Sialan!"
Aku mengulum senyum mendengar apa yang disampaikan Mas Amar padaku hari ini. Meski tidak menampik rasa ketakutan masih timbul di dalam benakku perihal kondisiku saat ini, tapi apa yang dibilang Mas Amar ada benarnya, aku harus kuat menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
****
Aku kembali ke kantor bersama Mas Agas. Di ruang marketing tim satu, sudah ada Pak Rion yang memegang satu berkas perihal materi campaign yang belum lama ini aku kerjakan.
"Kalian dari mana?" tanya Pak Rion.
"Event di Kokas." Mas Agas menjawab singkat. "Kara mana?"
"Kok lo tanya gue? Emang dia enggak di kantor?" Mas Agas justru balik bertanya. Dengan gerakan tangan Mas Agas memintaku kembali ke kubikel tanpa menghiraukan kehadiran Pak Rion.
Karena menutupi sesuatu, aku jadi takut melangkah, seolah Pak Rion sedang mencurigai seorang pencuri yang masuk ke dalam rumahnya. Pria itu tidak mengatakan apa pun, ia membenarkan posisi kacamatanya kemudian bertolak pinggang.
"Harus banget gue jawab?" Pertanyaan bernada sindiran itu tidak dijawab oleh Mas Agas karena Pak Rion langsung melenggang pergi.
"Ada apa, sih?" tanya Runi ketika aku duduk di kubikel.
"Chya, kayaknya Pak Rion cemburu lo deket-deket sama Mas Agas." Eza melongok ke kubikelku.
"Ngaco!" Aku melemparnya dengan tutup pulpen. Setelah mendengar cerita Mas Agas, agaknya aku jadi lebih takut dengan Pak Rion. Namun, sesuai dengan pesan yang Mas Agas berikan, aku harus tetap bersikap tidak ada apa-apa di depan Pak Rion sampai ia tahu kebenarannya.
Aku kembali mengembuskan napas sebelum menekuri e-mail laporan yang harus aku tulis untuk laporan ROI yang akan ditujukan pada Pak Rion.
Sesekali aku mengelus pelan perutku yang masih rata. Saat ini, ada kehidupan lain yang menanti untuk bergabung. Perasaan hangat sekaligus takut menyergap secara bersamaan. Tentang bagaimana tanggapan orang lain terhadapku, atau tentang rasa kecewa mama papa jika mengetahui apa yang sudah aku sembunyikan.
Kemudian soal Dhiwangkara, sepanjang siang ini aku terus memikirkan reaksi yang diberikan Kara jika ia tahu kondisiku saat ini. Apakah ia akan senang? Atau justru ia akan merasa aku membebaninya? Tidak ada sama sekali bayangan tentang bagaimana ia akan bereaksi nantinya. Jujur saja, meski aku sering mengatakan bahwa aku tidak akan meminta pertanggung jawabannya terhadap apa pun yang terjadi, aku tetap takut jika membayangkan Kara akan pergi meninggalkanku suatu saat nanti.
"Chya? Lo nangis?"
Suara Runi membuatku buru-buru menyeka air mata yang tidak sadar menetes sejak aku memikirkan Kara yang akan meninggalkanku. Entah karena kondisiku saat ini, atau memang aku sangat merindukannya.
"Enggak, 'kok. Ini mata perih banget dari tadi siang kena panas," bohongku sembari mengulas senyum setipis mungkin ke hadapan Runi.
"Ohh kirain lo sakit. Soalnya muka lo pucet banget, Chya. Kalau sakit mendingan izin aja." Runi menggeser roda kursinya agar mendekat ke arahku.
"Tuhkan! Badan lo panas gini. Udah, nanti kerjaannya biar gue yang handle. Mending lo istirahat aja di rumah." Runi berdecak di akhir kalimatnya.
"Mau gue anter pulang, Chya? Ayoo nanti biar gue izinin lo sama Bu Tam. Dia juga enggak bakal setuju kalo lo tetap kerja dengan kondisi gitu, 'kan?" Mas Joni ikut mengompori.
"Iya, Chya. Mending dianter Mas Jon." Eza juga ikutan bersuara.
"Kalau gitu gue pulang sendiri aja deh. Kalau dianter Mas Joni nanti yang lain kerepotan enggak ada lo, Mas." Aku membereskan barang sesegera mungkin. Mungkin istirahat beberapa jam dapat memulihkan tenagaku.
Pergerakanku terhenti begitu notifikasi pesan dari Kara masuk ke dalam handphone. Dalam pesannya, Kara meminta untuk bertemu sepulang bekerja.
[ Kalau sekarang kamu masih sibuk? Aku diminta pulang cepat karena kondisiku lagi enggak fit. Mau ketemu sekarang saja? ]
Begitu balasanku yang langsung ditanggapi rentetan pesan sebagai bentuk kekhawatirannya. Aku menahan tawa, kemudian menyimpan handphone setelah memintanya menunggu di lobby utama.
Saat aku sampai di depan, mobil Kara sudah terparkir rapi, aku masuk saat ia menurunkan kaca mobil. Di perjalanan, ia tidak mengatakan apa pun, hanya sesekali melirik dan membuatku bertanya, ada apa dengannya?
"Kamu kenapa, sih, Kar?" tanyaku.
"Harusnya aku yang tanya. Kamu baik-baik saja? Kita ke dokter sebentar, ya?"
Ucapan Kara itu sontak saja membuatku panik. Bagaimana tidak? Jika aku pergi ke dokter, sudah bisa dipastikan Kara akan tahu tentang kondisiku saat ini. Mungkin orang lain berpikir aku bodoh karena memutuskan untuk menunda memberitahunya, tapi ketakutan yang melingkupi membuatku memilih mengulur waktu. Setidaknya aku harus menyiapkan hati untuk menerima apa pun reaksinya.
"Tadinya aku mau sampaikan sesuatu sama kamu sambil kita makan malam, tapi karena kamy sakit. Lebih baik kita ngobrol di apartemen aku saja, ya? Nanti sore aku antar kamu pulang."
Aku mengangguk saja mendengar usulan Kara. Hingga sampai di depan pintu apartemennya, aku mengerutkan kening saat melihat perubahannya.
"Kunci smartlock-nya diganti?" tanyaku saat Kara menempelkan kartu akses pada handle pintu.
"Yang kemarin rusak, jadi aku ganti dengan model ini. Satu akses aku kasih ke Agas, satu lagi nanti kamu pegang, ya. Biar kamu bisa datang ke sini kapan saja." Kara merogoh saku dan mengeluarkan handphone. "Coba kamu lihat ini deh."
Kara mengotak-atik handphone dan memperlihatkan aku sebuah bangunan kosong. "Gimana menurut kamu?"
"Gimana apanya?" tanyaku yang tidak mengerti arah pertanyaannya.
"Bangunannya masih oke, enggak? Rencananya aku mau bikin salah satu franchise CoffeTalks dan Chick'nTime di sana." Ia menggeser gallery dan memperlihatkan denah lokasi.
"Tempat itu bangunan kosong yang udah lama banget kosong, tapi di depannya ada swalayan, sekitar 200 meter ada apartemen. Kalau aku jadikan franchise pasti ramai. Menurut kamu?"
"Aku enggak ngerti masalah ginian, Kar. Tapi kalau buat kemajuan CoffeTalks aku dukung aja."
Bukannya setuju akan pendapatku, Kara justru mengacak-acak rambutku hingga aku berteriak dan memukul tangannya.
"Nyebelin banget, sih!"
"Aku mau franchise CoffeTalks satu itu jadi milik kamu. Lahan itu sudah aku beli, dan secepatnya aku akan urus persiapan GO-nya."
"Kamu gila, Kara? Enggak! Aku enggak bisa terima itu gitu aja." Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Yang benar saja! Apa kata orang kalau aku tiba-tiba menerima pemberianny sebesar itu? Apa Kara lupa franchise CoffeTalks bernilai 500 juta? Tidak! Aku tidak akan bisa menerimanya.
"Dengar aku dulu, Chysaraaa ...." Ia mengeratkan genggaman.
"Aku memang menjadikan itu atas nama kamu, tapi aku mau minta tolong. Aku titip CoffeTalks itu dan beberapa asset yang aku miliki. Karena mungkin aku akan segera keluar dari CoffeTalks. Bukan hanya kamu, tapi aku juga akan titip aset yang aku miliki pada Agas juga Rion. Aku ingin memecah semua aset yang aku miliki, Chysara."
Aku sama sekali tidak memiliki ide tentang apa yang dipikirkan Kara dengan rencananya menyebar aset yang ia miliki. Kemudian, apa maksudnya Kara mengatakan bahwa ia akan keluar dari CoffeTalks?
Ada yang bisa nebak kenapa Kara mau mecah asset-assetnya??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top