Bab tigapuluh satu
Aku memicingkan mata ketika jam di atas nakas berbunyi hingga memekakkan telinga. Di sampingku, Kara masih tertidur pulas. Aku memutuskan untuk mematikan jam weker dan bangun dari tempat tidur. Namun, pergerakkanku terhenti saat Kara menarikku kembali ke pelukannya.
"Mau ke mana?" tanyanya.
"Mandi. Trus buat sarapan sebelum berangkat kerja."
"Kita enggak bisa bolos saja?" Ia memelukku erat hingga aku kesulitan untuk bergerak.
"Karaaa ...." Aku mencoba melepaskan pelukannya. "Kamu bisa bolos, aku enggak, ya. Aku harus kerja."
"Okay, but give me one morning kiss." Dia menunjukkan bibirnya padaku. Bukannya memberikan apa yang dia minta, aku justru mendorongnya hingga menjauh dariku dan berlari menuju kamar mandi.
Setelah menyelesaikan ritual pagiku, aku bergegas menuju dapur Kara, menyiapkan sarapan untukku dan untuknya juga. Aku mengerutkan kening ketika Kara tengah sibuk dengan handphone-nya.
"Kamu enggak mandi, Kar?"
"Wait a minute," jawabnya.
Kara belum juga beranjak dari kasur meski aku sudah selesai mengoleskan Nutella pada roti dan menuangkan susunya. Apa yang sedang dikerjakannya pagi ini sebetulnya?
"Kara?"
"Iya iyaaa aku mandi." Ia langsung mematikan handphone kemudian bergegas mandi setelah aku menghampirinya ke dalam kamar. "Chysara boleh tolong buatin aku telur dadar?"
Aku hanya bisa menggeleng pelan sebelum kembali ke dapur dan membuatkan pesanannya. Luna menelpon saat aku sedang memberikan garam pada telur yang diminta Kara, dia bertanya perihal keberadaanku dan aku terpaksa berbohong padanya.
"Kamu mau pakai nasi?"
Kara menggeleng saat duduk sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Kara memotong telur dadar dan memasukkannya ke dalam mulut. "Ada roti manis, sama telur, perfect!"
"Kamu selalu makan seperti itu? Bukannya jadi nano-nano rasanya?" Aku menenggak susu, mengigit roti dengan selai Nutella.
"Enggak, sih. Cuma belakangan aku suka saja makan makanan ringan kayak telur dadar." Ia memotong telur dan menyodorkannya padaku.
Aku menyipitkan mata ketika telur yang kubuat sendiri masuk ke dalam mulut. Itu bukan rasa telur, melainkan gumpalan garam dengan lemak. "Kara, kamu mau nyindir aku, ya? Asin banget gini, jangan dimakan."
Mungkin saat aku sedang menelpon Luna, tanpa sengaja aku memasukkan garam berlebihan. Tetapi, seharusnya Kara mengatakan hal sebenarnya, bukan malah tetap memakan gumpalan garam bertelur itu!
Aku menarik piring di depan Kara. "Kok diambil, sih?" Kara merebut kembali piring berisi telur dengan rasa kelewat asin itu.
"Kara kepala kamu bisa sakit makan telur asin itu! Sini, biar aku buatin lagi." Aku tetap pada pendirianku merebut kembali piring tersebut darinya.
"Ini enak, Chysara."
"Ini asin, Kar! Asin banget. Lidah kamu mati rasa, ya?"
"Ya sudah kalau gitu aku makan rotinya aja. Kamu enggak perlu bikin telur lagi, pasti repot, 'kan?" Kara menampilkan senyum kemudian mengelus lenganku.
Aku mencebik kesal. Seharusnya dia menertawakan kebodohanku karena salah memberi bumbu, tetapi ia justru melahap makanan itu tanpa protes sama sekali.
Kara mengalah, setelah aku membuatkan telur dadar baru, kami melanjutkan makan minus keributan.
Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu sebelum berangkat ke kantor. Awalnya Kara memaksa untuk mengantarkanku hingga kami berangkat bersama ke kantor, tetapi aku menolak karena takut Mas Agas atau Pak Rion curiga.
"Chya!"
Aku menoleh saat mendengar namaku diserukan. Mas Agas berlari kecil dari lobby timur ke arahku.
"Wess gileee ... ide lo diterima Kara sama Rion, ya?" Mas Agas tanpa canggung merangkulku.
Merasa risi dengan perlakuan Mas Agas, aku mencoba melepaskan rangkulannya. Ia menatapku canggung sebelum kami masuk ke dalam lift.
"Chya, boleh enggak gue tanya sesuatu sama lo?" tanyanya sembari menyandarkan bahu pada dinding alumunium lift.
"Tanya apa, Mas?"
"Dari kemarin gue perhatiin sikap lo kok ke gue agak berubah, ya? Kenapa? Lo enggak kepengaruh omongan Eliana, 'kan?"
Aku tetap pada posisi memunggungi Mas Agas, menghindari tatapannya adalah hal paling benar saat ini. Bohong jika ucapan Mbak Eliana tidak mempengaruhiku, sejak pernyataan itu dilayangkan, aku terus membayangkan bagaimana jika itu kenyataan dan Kara akan merasa tersakiti?
"Omongan yang mana maksudnya, Mas?" Aku balik bertanya. Untuk saat ini, aku lebih memilih untuk pura-pura tidak mengerti maksud Mas Agas.
"Omongan yang bilang kalau gue mau manfaatin Kara?"
"Kalau itu, bukannya saya enggak berhak ikut campur, ya, Mas. Maksudnya, itu masalah internal Pak Kara dan Mas Agas. Jadi lebih baik saya pura-pura enggak dengar apa-apa enggak, sih?"
Mas Agas tidak lagi menjawab balasanku hingga denting lift berbunyi dan pintu besi terbuka di lantai empat.
Aku baru saja akan keluar sebelum Mas Agas meraih tanganku dan membuatku berbalik ke arahnya. "Ini untuk kebaikan lo, gue minta satu hal. Tolong, jauhi Kara."
"Maksudnya, Mas?"
"Nanti jam makan siang, gue ajak lo ketemu sama seseorang yang mungkin perlu lo temuin. Ingat, jangan kasih tahu Kara soal ini semua. Kalau lo percaya sama gue, lo aman."
Aku melepaskan pegangan Mas Agas pada lenganku dan buru-buru keluar. Ada banyak teka-teki di CoffeTalks, dan tanpa sadar aku telah terjebak di dalamnya. Lalu, untuk saat ini, siapa yang harus aku percaya untuk dengarkan?
Apakah Kara yang mengatakan bahwa jangan percayakan hubungan kami pada Mas Agas dan Pak Rion? Atau Mas Agas yang mengatakan bahwa jangan terlalu dekat dengan Kara?
Namun, nyatanya hubunganku dan Kara sudah terlanjur dalam untuk saat ini. Apa aku bisa memutuskan untuk mundur jika memang kenyataannya mengecewakan? Tapi, sejak awal aku memang tidak berharap apa-apa pada Kara bukan?
****
Aku menghentikan segala aktivitas saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Meregangkan otot sebentar, aku memilih menelpon Kara untuk memastikan dimana kami akan bertemu.
[ "Aku masih sama Agas, kita ketemu di mall aja gimana?" ]
Ucapan Kara langsung aku sambut dengan persetujuan. Untuk membayar janji yang batal karena kedatangan Fai kemarin, aku mengajak Kara untuk menonton film di bioskop. Ia menyetujuinya, dengan syarat film yang aku pilih bukanlah film horor.
"Chyaaa!"
Aku yang dengan mengantre tiket langsung menoleh saat namaku diserukan begitu kencang. Aku tidak menyangkan akan bertemu dengan Rania di sini. Kami berpelukan, melepas rindu yang selama ini kami rasakan setelah ia menikah dan menetap di Bandung.
"Lo sama siapa ke sini, Chya?" tanyanya.
"Sendiri. Tapi janjian sama temen."
"Temen apa temeeen, Chya? Inget Fairuz, kapan mau halal?"
"Gue udah enggak sama Fai, Ran."
Wajah Rania seketika berubah. Ekspresi semringah yang sejak tadi ia tampilkan berubah menjadi ekspresi terkejut. "Serius?"
"Panjang ceritanya, Ran."
"Chya, lo tahu, 'kan, lo bisa cerita apa saja sama gue? Jangan karena gue udah nikah dan tinggal jauh, gue jadi enggak tahu kabar lo dong." Rania menggenggam tanganku.
Aku menyimpulkan senyum, membalas perhatiannya padaku. "Kalau putusnya baru-baru ini, sih. Gue belum sempat cerita aja sama kalian. Kapan-kapan kita meet up gue pasti ceritain semuanya." Aku meyakinkan Rania.
"Ya sudah kalau gitu. Tapi pesan gue cuma satu, ya, Chya. Lo enggak boleh galau-galau kayak waktu lo galauin Si Kara Kampret itu! Duh! Kalau inget tuh pengen banget gue pukul kepalanya mencret dia." Rania gemes sendiri.
Sementara aku hanya dapat tertawa ringan mendengar ocehannya. Seandainya saja Rania tahu bahwa teman yang janjian denganku saat ini adalah pria yang ingin ia pukul kepalanya, mungkin saja Rania akan menunggu hingga ia sampai.
Namun, hingga Rania pergi dan aku menunggu dua jama lamanya, Kara belum juga datang. Bahkan percobaan ke dua belas tetap tidak menyambungkan panggilan teleponku padanya.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, entah kenapa aku teringat kejadian empat tahun lalu. Di mana Kara berjanji akan menemuiku, tetapi ia mengalami kecelakaan. Tiba-tiba saja rasa sesak menghampiriku.
Mungkin, empat tahun lalu tidak dapat aku ulang. Tapi yang pasti, saat ini aku harus memastikan Dhiwangkara baik-baik saja. Setelah berpikir cukup lama, aku memutuskan untuk menghampiri Kara, mencari ia di apartemennya.
"Chysara?" Kara terlihat kaget ketika membuka pintu apartemen.
"Kamu ke mana aja? Aku nunggu kamu di mall hampir tiga jam, Kar." Aku beringsut memeluk Kara yang masih diam tidak bereaksi apa pun.
Setelah beberapa saat, ia mengelus pundakku kemudian mengurai pelukan. "Aku minta maaf karena nggak datang, ya. Kerjaanku tadi benar-benar enggak bisa ditinggal."
"Ya seenggaknya kamu kabarin aku, Kar. Handphone kamu juga enggak diangkat-angkat aku telepon. Aku khawatir." Tanpa sadar suaraku mengeras di depannya.
Rasa takut kehilangan Dhiwangkara sudah mengubahku menjadi lebih posesif hanya dalam beberapa hari. Bukan karena aku tidak mempercayainya, melainkan aku takut sesuatu yang buruk terjadi padanya saat ia tidak berada di depanku.
Aku bahkan mengabaikan peringatan Mas Agas yang mengatakan aku harus menjauh dari Kara. Entah apa alasan Mas Agas berbuat seperti itu, tetapi saat ini aku hanya ingin bisa bersama Kara selama mungkin.
"Chysara, jika nanti kita bertemu lagi. Boleh aku minta kamu marah dan bicara panjang lebar seperti tadi?"
"Maksudnya?" Aku memastikan apa yang Kara ucapkan.
Kara menggeleng kemudian meraih tanganku dan mengisi sela-sela jari dengan jarinya. "Aku suka kamu bicara panjang lebar seperti tadi."
Aku memukul keras pundaknya hingga ia tertawa. Sejak dulu, aku tahu ia suka sekali membuatku bingung dengan kata-katanya.
Heei ... hello ...
Aku izin untuk beberapa hari ke depan mungkin slow update yaa, untuk lihat handphone atau laptop rasanya enggak nyaman banget :(
Tapi aku usahain akan mereka tetap update kok. Happy reading yaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top