bab tigapuluh lima
Takut. Satu kata yang menggambarkan perasaanku saat berpapasan dengan Pak Rion. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sorot matanya aku tahu ia mencurigai sesuatu telah terjadi.
Pendingin sentral ruangan marketing tim satu jelas semakin membuat pergerakanku kaku. Entah karena bawaan kehamilan, atau memang ada perasaan yang memang tengah berkecamuk di dalam hatiku saat ini. Ditambah, Kara tidak dapat dihubungi belakangan ini.
Setelah proses balik nama atas tiga property yang disewakan sebagai franchise CoffeTalks, Kara mengatakan bahwa ia akan menyelesaikan beberapa urusan. Aku sempat bertanya urusan apa yang dia selesaikan tanpa Mas Agas dan Pak Rion, tetapi seperti biasa, ia hanya memberikan jawaban mengambang yang justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain di kepalaku.
Dan, kini, berita tentang rencana pernikahannya mencuat sampai ke telingaku. Menyadari hal itu kembali membuat dadaku dipenuhi rasa sesak. Meski Mas Agas meyakinkan bahwa Kara tidak akan mempermainkanku, tetapi tidak ada jaminan bahwa ia juga akan meninggalkan Eliana, perempuan cantik dengan kesuksesan terhadap bisnis yang melingkupinya.
Dibanding Eliana, aku bukan siapa-siapa, aku hanya anak seorang supir taksi online yang kini tengah mengandung anak tanpa memiliki suami. Apakah aku bisa cukup tahu diri membandingkan hidupku dengan Eliana?
"Chya."
"Iya?" Aku menoleh setelah menyeka air mata yang lagi-lagi mengarak di pipi.
"Lo akhir-akhir ini sering sakit deh, Chya. Mau gue anter ke dokter?" Runi mendekatkan dirinya padaku.
Ia mengambil satu bungkus Tolak Angin dan memberikannya padaku. "Badan lo dingin banget. Kalau enggak kuat mending pulang."
"Ada apa, Chya? Kamu sakit? Mau ke dokter?" tanya Bu Tami saat melihat interaksiku dengan Runi.
"Enggak apa-apa, Bu. Saya cuma agak demam aja." Aku menolak halus saran Bu Tami.
Aku memilih untuk menyibukan diri karena tidak ingin pikiranku dipenuhi ketakutan-ketakutan akan kepergian Kara. Aku tidak punya alasan untuk mempertahankannya jika ia memilih pergi, tapi aku juga tidak yakin jika aku akan baik-baik saja jika harus menghadapi semuanya tanpa Kara. Aku harus bagaimana sekarang?
Tanpa bisa dicegah aku kembali menangisi hidup yang sekali lagi mempermainkan nasib burukku. Runi dan Bu Tami yang tidak mengerti kenapa aku menangis hanya bisa saling tatap dan mengusap tanganku agar aku tenang.
"Sudah. Lebih baik kamu diantar Eza pulang, ya? Badan kamu panas, tapi tangan kamu dingin banget, Chysara. Saya enggak mau kamu kenapa-kenapa." Bu Tani berdiri. "Eza, kamu antar Chysara pulang, ya?"
Aku mendahului jawaban Eza sebelum laki-laki itu sempat mengeluarkan persetujuan. "Saya pulang sendiri saja, Bu. Saya bisa pesan taksi online di bawah nanti, soalnya saya mau minta tolong Eza untuk cek landing page yang diminta Pak Rion."
"Lagi sakit masih mikirin kerjaan kamu!" Suara Bu Tami meninggi saat aku memberikan alasan.
Aku menunduk saat Bu Tami berekspresi gemas mengarah padaku. Perempuan itu melepas kacamatanya kemudian menatapku. "Ya sudah kalau kamu maunya pulang sendiri. Tapi pastikan kamu betul-betul istirahat dengan baik. Kabari saya kalau besok kamu belum bisa masuk. Take care."
Aku mengangguk dan dibantu Runi untuk membereskan semua barangku sebelum pamit dengan yang lain. Sebetulnya aku merasa sungkan jika harus pulang lebih awal. Aku tahu, setelah launching produk baru yang minggu lalu diadakan, hanya tinggal menunggu hari dimana Pak Rion akan mengulas segala kinerja kami dengan data ROI dan data pencapaian sales.
Saat hendak memesan taksi online di lobby utama, mataku tanpa sengaja menatap ke arah satu cabang CoffeTalks yang berada di samping Lawson tempatku biasa membeli makan. Itu Kara yang tengah membicarakan sesuatu dengan Eliana. Aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam Kafe dan memesan sesuatu di counter bar. Eliana terlihat senang, dengan senyum yang terkembang apik, ia melingkarkan tangannya saat Kara berdiri dan mereka keluar dari Kafe.
Aku sempat memalingkan wajahku dan berdiri di samping pelanggan lain untuk menghindari mereka. Namun, pandanganku masih tertuju pada mereka saat Kara membukakan pintu kaca dan berikutnya pintu mobil untuk Eliana seraya tersenyum.
Perlakuan itu sederhana bagi sebagian orang, tapi sukses memberikan efek sakit luar biasa di dalam hatiku. Apa selama ini Kara memperlakukan Eliana sebaik itu? Apa selama ini Kara mencintai Eliana sebesar itu? Tapi kenapa ia melalukannya padaku? Apa Eliana tidak cukup untuknya sehingga ia mencari perempuan lain?
Aku mencoba menelponnya saat Eliana sudah berada di dalam mobil. Tanpa diduga, Kara memilih untuk tidak langsung masuk ke dalam mobil dan mengangkat panggilan dariku.
[ "Hallo, Chysara?" ]
Aku memejamkan mata mendengar lembut suaranya. "Kamu di mana, Kar? Bisa kita ketemu? Ada hal yang mau aku sampaikan sama kamu."
[ "Maaf, Sayang. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan. Hmm ... bagaimana kalau besok sore?" ]
Urusan penting katanya? Apa mengantar Eliana termasuk urusan penting baginya?
"Kalau begitu lebih baik kamu selesaikan saja urusan kamu dulu. Itu lebih penting dibanding hal yang mau aku sampaikan."
[ "Bukan begitu, Chysara. Tapi kalau hari ini benar-benar enggak bisa. Besok, ya? Besok aku akan jemput kamu." ]
"Malam ini di apartemen kamu. Aku tunggu kamu sampai tengah malam sekalipun."
Terdengar hela napas dari seberang telepon. Dari dalam kafe aku memperhatikan Kara tengah memijit kepalanya dan berusaha memberi alasan pada Eliana yang sudah memerotes keterlambatannya masuk ke dalam mobil.
[ "Oke. Sampai bertemu nanti malam, Sayang. Mungkin paling cepat aku akan sampai jam sepuluh, jadi jangan tunggu aku makan malam. Kamu makan lebih dulu, ya? Love you." ]
Sambungan terputus saat aku menyetujui pesannya. Kara segera masuk ke dalam mobil.
Aku memutuskan keluar dari kafe setelah meminta maaf karena batal memesan sesuatu. Meratapi kepergian Kara, aku berjalan tidak tentu arah, membayangkan hal apa yang akan terjadi padaku setelah ini.
Aku tidak akan berkata seandainya. Karena jika itu aku lakukan, sakit yang ada di hatiku akan semakin menganga. Tapi bohong jika aku tidak menyesali segala hal yang terjadi. Jika aku boleh memilih, aku akan tetap membenci Kara seperti sebelumnya.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini, karena sekarang bukan kebencian pada Kara yang melingkupiku, melainkan kebencian pada diriku sendiri karena begitu bodoh menjatuhkan diri pada Kara dan sampai detik ini masih takut membayangkan ia akan memilih wanita lain.
Hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam, aku melangkahkan kaki menaiki bus Transjakarta yang akan mengantarku ke apartemen Kara. Menempelkan kartu akses, aku memutuskan masuk ke kamar tidurnya dan istirahat sejenak.
Aku menyipitkan mata ketika mendengar pintu apartemen Kara terbuka. Senyumku mengembang, meski sudah hampir tengah malam ia tetap menepati janjinya untuk bertemu denganku. Namun, senyumku luntur begitu saja tatkala mendapati Mas Agas membawa sekantong belanjaan.
"Mas Agas?"
"Kara enggak akan datang. Lebih baik gue anter lo pulang," kata Mas Agas saat menempelkan punggung tangannya pada dahiku.
"Ada hal yang mau sampein sama Kara, Mas."
"Badan lo panas banget, Chya. Gue anter pulang, ya? Besok pagi-pagi gue minta Kara temuin lo di rumah."
Aku mengangguk di depan Mas Agas saat pria itu menggandeng tanganku menuju meja makan. "Gue tebak lo pasti belum makan. Jadi lo makan dulu sebelum pulang."
Aku mengulas senyum tipis saat Mas Agas membuka seal ware berisi nasi, capcay dan chicken katsu. Rasa asin langsung menyapa lidah saat suapan pertama. Aku mengernyitkan dahi, Mas Agas dengan sigap memberikan air putih yang baru saja ka tuang ke dalam gelas.
"Asin banget, Chya?" tanyanya.
"Iya."
"Ya sudah jangan dimakan. Nanti Kara kecil kenapa-kenapa gue yang disalahin lagi."
Ucapan Mas Agas kembali mengingatkanku soal nyawa yang ada di dalam kandunganku saat ini. Aku mengelus pelan perutku, seolah mengatakan bahwa ia harus kuat bersamaku.
"Ya sudah balik aja, yuk. Nanti di jalan baru gue beliin lo sesuatu buat dimakan di rumah. Jangan terlalu banyak mikir, kata dokter lo harus terus happy selama masa kandungan, 'kan? Soal Kara, lo percayain semuanya sama dia."
Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab ucapan Mas Agas dengan anggukan pelan. Meski Mas Agas sering kali mengucapkan agar aku percaya pada Kara, nyatanya untuk saat ini kepercayaanku pada pria itu sudah tidak bersisa.
Bab ini sedikit pendek, ya ...
Iyaa sengaja biar makin penasaran wkwkwk
Enggak kok biar bab-nya pas aja sampe ending enggak ganjil kayak 39 atau 49 gitu enggak banget sumpeeeh
Btw ...
Kalian ada yang baca ceritaku yang lain enggak?
Kalau ada, kalian pasti tahu kalau aku selalu nulis barengan sama penulis-penulis lain di komunitas eheheheee ...
Dan, beberapa hari ini konsentrasiku kepecah karena project-nya bakal mulai lagi :)
Tapi aku usahakan, cerita Kara selesai sebelum project itu dimulai lagi nantinya.
Btw jangan lupa kepoin akun IG dan TikTok aku buat liat spoiler cerita-cerita aku yuk di @sedotanakua_ atau @kimnurand_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top