bab tigapuluh enam

Aku menggeliat di atas kasur ketika mama mengetuk pintu kamar. Memicingkan mata sejenak, perlahan bergerak bangun dari tempat tidur.

"Sudah siang, Chya. Kamu enggak kerja?" tanya mama ketika masuk ke dalam kamarku. Aku mendongak saat mama menempelkan punggung tangan ke dahiku. "Tapi masih panas nih badannya."

"Chya enggak kerja, Ma. Udah diizinin sama Bu Tami semalam."

"Ya sudah kamu istirahat. Jangan lupa minum obat, jaga kesehatan, Chya. Jangan sampe nyusahin temen kamu yang ganteng itu lagi. Lagian kamu bukannya kabarin mama sama papa kalau sakit."

Semalam, Mas Agas memang mengantarku hingga ke rumah. Dia bahkan membantuku berjalan saat aku terhuyung memasuki rumah. Untung saja, papa langsung membuka pintu begitu kami sampai di depan rumah. Samar-samar aku mendengar Mas Agas menjelaskan pada papa bahwa demam dan dibawa ke rumah sakitlah yang menjadi alasanku pulang hingga tengah malam.

Aku menangguk lemah atas pesan yang mama berikan kemudian mengambil handphone yang sempat aku charge semalam. Tidak ada satupun pesan yang dikirim Kara, pun dengan panggilan telepon. Apa Kara benar-benar menghabiskan waktunya bersama Eliana hingga melupakanku begitu saja?

Di tengah kekalutanku akan hubungan kami, aku memberanikan diri untuk menghubunginya lebih dahulu. Setidaknya, aku harus mendapat kejelasan akan ke mana hubungan kami setelah ini. Biarlah jika Eliana nantinya akan melihatku sebagai perebut kekasihnya, aku tidak peduli.

[ "Hallo, Chysara. Kamu pagi-pagi telepon, ada apa?" ]

Suara Kara masuk pada panggilan kedua yang aku lakukan. Dan, apa tadi katanya? Ada apa? Apa dia lupa kalau semalam aku menunggunya di apartemen?

"Kamu di mana? Aku tunggu kamu di apartemen kamu enggak datang. Kamu ingkar janji sama aku, Kar. Semalam aku sakit." Aku berusaha meredam suaraku agar tidak terdengar sumbang di telinganya.

[ "Kita ada janji temu? Chysara aku minta maaf. Aku benar-benar lupa akan hal itu. Sekarang kamu bagaimana? Kamu di mana? Kita ketemu sekarang, ya? Mau." ]

Suara Kara terdengar panik saat aku mengatakan tentang kondisiku. Namun, apa benar ia merasa khawatir padaku disaat seharian kemarin ia sibuk dengan Eliana? Atau rasa khawatirnya hanya sebuah sandiwara agar aku tidak lagi marah padanya? He's good actor!

"Aku di rumah. Kamu ajak aku ketemu memangnya kamu enggak sibuk? Mungkin nanti kamu juga akan lupa lagi dengan janji kita."

[ "Kamu enggak percaya sama aku? Jangan memperumit masalah, Chysara. Aku benar-benar lupa semalam. Kamu shareloc alamat rumah kamu, ya. Aku siap-siap ke sana." ]

Kara langsung menutup teleponnya begitu aku setuju memberikan alamatku padanya. Entah hanya perasaanku saja atau memang dari nada bicaranya, Kara terdengar marah, sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan padaku selama kami saling mengenal. Dia berubah, atau memang baru saat ini ia menunjukkan sifat aslinya padaku?

Aku memutuskan untuk menelpon Mas Agas, menanyakan kabar Kara semalam. Namun, sebelum aku menelponnya, pria itu lebih dulu menghubungiku. Buru-buru aku mengangkat panggilan dari Mas Agas.

"Hallo, Mas."

[ "Lo udah baikan, Chya? Lo hari ini enggak masuk kerja, 'kan?" ]

"Udah lebih enak, Mas. Ada apa Mas Agas telpon?"

Terdengar deham panjang dari Mas Agas kala mendengar pertanyaanku. "Ada apa, sih, Mas?"

[ "Enggak ada apa-apa. Cuma lo izin sakitnya lamaan aja, ya? Kalau bisa sebulan." ]

"Dih, enak banget! Itu mah sama aja aku minta dipecat Pak Rion, Mas!" Aku menanggapi candaan dari Mas Agas dengan gerutuan. Dasar Mas Agas! Jadi dia pagi-pagi menelponku hanya untuk bercanda? Aku dengar Mas Agas tertawa di seberang telepon. Menyebalkan!

[ "Ya sudah. Mood lo udah balik bagus lagi kayaknya. Gue tutup teleponnya dulu, ya?" ]

"Mas, tunggu!" Aku buru-buru mencegah Mas Agas mematikan sambungan telepon.

[ "Ada apa, Chya?" ]

"Soal Karaaa ...."

Mas Agas menghela napasnya berat. [ "Sorry, Chya. Semalam gue enggak dapat kabar apa-apa dari Kara. Pagi ini gue di telepon Pak Dwi Aji, gue kira dia bakal ngomongin soal Kara, nanti kalau ada kabar, gue kabarin ke lo, ya?" ]

Aku mengangguk meski tahu Mas Agas tidak akan dapat melihatnya. "Iya, Mas. Aku tunggu, ya."

[ "Gue harap lo dapat hasil yang terbaik untuk hubungan lo sama Kara, ya? Gue tahu, gimana Kara sayang banget sama lo." ]

"Memang kalau sama Eliana, Kara enggak sayang, Mas? Kata Mas Amar, Kara sayang banget, 'kan, sama Eliana."

Ketika mengingat cerita Mas Amar tentang hubungan mereka berempat dulu, ada rasa ketakutan bahwa mungkin saja Kara akan meninggalkanku seperti ia meninggalkan Mas Amar demi Eliana. Mas Amar tidak bercerita banyak, tapi cukup untuk aku menilai bahwa Kara sanggup berbuat apa saja demi Eliana.

[ "Banyak hal yang terjadi empat tahun lalu. Gue pikir, lo harus tahu dari mulut Kara sendiri karena gue enggak tahu apa yang gue dan orang lain tahu itu adalah versi benarnya atau bukan. Yang jelas, Kara empat tahun lalu mungkin aja enggak ada hubungannya dengan Kara yang ada sekarang." ]

"Mas Agas kalau ngomong bisa yang jelas enggak, sih, Mas? Aku enggak paham sama omongan Mas Agas. Kara empat tahun lalu? Memang mereka orang yang berbeda, Mas?"

[ "Banyak yang bilang begitu. Kara yang sekarang jauh berbeda dengan Kara yang dulu. Jadi, lo lebih sayang Kara yang mana?" ]

"Yang sekarang."

[ "Kalau gitu percaya saja sama gue." ]

"Iya, Mas."

[ "By the way, lo hari ini mau gue pesenin makan? Gue order dari sini, ya? Lo mau apa? Biasanya ibu hamil permintaannya aneh-aneh." ]

"Enggak ada, 'kok, Mas. Aku cuma mau ketemu Kara."

Aku tidak mengatakan pada Mas Agas bahwa sebelum ini aku sudah berhasil menghubungi Kara. Dari cerita Mas Agas, aku menebak ia belum sama sekali berhasil menghubungi Kara dan kini harus mencari tahu keberadaannya di rumah utama keluarga Kailas.

Setelah percakapanku dengan Mas Agas selesai Kara mengirim pesan bahwa ia sudah akan sampai. Aku bergegas untuk bersiap, mengenakan baju paling santai dan memoles wajahku dengan make up setipis mungkin.

Aku meminta Kara untuk menunggu di seberang gang depan rumah karena tidak ingin ia bertemu kedua orang tuaku. Papa sempat bertanya aku hendak ke mana, tetapi kujawab ada pekerjaan penting yang tidak dapat aku tinggal saat ini.

Sejujurnya, aku belum siap untuk menceritakan soal Kara pada kedua orang tuaku saat ini. Aku masuk ke dalam mobil Kara ketika ia tengah sibuk dengan handphone-nya.

"Tunggu sebentar, Chysara."

Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan dengan handphone itu? Apakah ia sedang berkomunikasi dengan Eliana? Tiba-tiba ada perasaan sakit yang menjalar di relung hatiku saat memikirkan itu semua.

Kara menatapku sembari menyandarkan kepalanya pada sandaranya kursi kemudi. Tangannya terulur, mengelus lembut pipiku kemudian menarikku hingga ke pelukannya.

"I miss you," katanya sembari mengelus pelan pucuk kepalaku.

"I miss you too," balasku.

"Aku mau kita habiskan waktu hari ini berdua. Bagaimana?" tanyanya saat aku mengurai pelukan.

"Mau ke mana?"

"Anywhere you want." Kara kemudian menghidupkan mesin mobil saat aku memintanya untuk menikmati liburan di salah satu pulau kecil di Jakarta pulau seribu.

Perjalanan dari Ciledug hingga Muara Angke kami tempuh selama satu jam, melewati Jakarta Outer Ring Road, mobil Kara melaju cepat hingga kami sampai di sana pukul sembilan pagi.

Kami melanjutkan perjalanan dengan Kapal Bahari Express untuk sampai ke Pulau Tidung. Sepanjang perjalanan, Kara tidak melepaskan tanganku dari genggamannya. Sesekali ia mencium bahkan mengelus pelan tanganku hingga aku merasa begitu dicintainya.

"Kar?"

"Iya?"

"Let me ask you something?" Jantungku berdegup kencang ketika Kara melepas kacamata hitam yang ia gunakan sebagai pelindung dari matahari di Pulau Tidung.

"Apa?"

"Kamu pernah memikirkan hubungan kita ke depannya akan seperti apa? What if your family disagrees about us?"

Kara diam untuk waktu yang lama. Mungkin, ia tengah memikirkan jawaban atas pertanyaanku saat barusan. Mungkin ia semua terlalu cepat untuknya, tetapi aku tidak punya waktu untuk menunggu bukan?

"Which is more important to you? Me or my family?"

"Maksudnya?" Aku tidak mengerti dengan pertanyaan yang ia lemparkan. Sudah aku bilang bukan, terkadang Kara sering kali membuatku bingung dengan ucapannya.

"Kalau menurut kamu keluargaku lebih penting. Ya, mungkin akan sulit meyakinkan mereka bahwa pilihanku saat ini adalah kamu. Tapi, kalau buat kamu aku lebih penting, kamu enggak perlu khawatir tentang mereka."

"Tapi aku takut."

"Apa yang kamu takutkan?" Kara berdiri di hadapanku kemudian menggenggam kedua tanganku dan membawanya pada pundaknya. "Listen, Chysara. Dasar hubungan kita hanyalah sebuah kepercayaan, jika kamu percaya aku, kita akan tetap seperti ini."

Kara menarik pelan pinggangku dan menampatkan wajahnya pada ceruk leherku. Hangat, itulah yang selama ini aku rasakan ketika menerima perlakuannya. Apakah segalanya akan bisa terus seperti ini? Aku selalu berharap bahwa waktu berhenti disaat-saat seperti ini.

Haaaaai ... kangen aku?
Kangen kek! Aku maksa nih wkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top