Bab tigapuluh dua
Aku tidak tahu kenapa takdir mempertemukanku dengan Kara. Empat tahun yang lalu, aku pikir semua tentangnya benar-benar selesai. Namun, entah bagaimana semuanya menjadi mudah bagi Kara. Mulai dari kebetulan-kebetulan yang kembali mempertemukan kami ditambah masalahku dengan Fairuz seolah jalannya untuk menuju ke arahku terasa sangat mulus.
Bahkan, hingga satu bulan lamanya hubungan kami tidak diketahui siapapun, Kara bersikap seperti seorang yang sudah berpengalaman menyembunyikan segalanya dari semua orang.
Bahkan Mas Agas, yang sebulan ini tidak lagi menggangguku dengan peringatan-peringatan agar aku menjauh dari Kara. Aku sempat bertanya dalam hati, apa yang mempengaruhi perubahan sikap Mas Agas terhadapku? Apakah karena penolakan terhadap larangan dekat dengan Kara yang aku abaikan? Jika begitu, berarti Mas Agas tahu tentang hubungan kami? Tapi kenapa dia diam saja?
Sikap Mas Agas yang seperti itu benar-benar membuatku bingung. Seperti sekarang ini. Setelah menghadiri festival kuliner yang dimana CoffeTalks menjadi salah satu pengisi tenant di Kokas, tanpa sengaja aku melihat sosoknya bersama dengan seorang pria yang tidak aku kenali siapa. Wajah Mas Agas terlihat serius ketika berbicara. Namun, saat menyadari kehadiranku di luar restoran tempatnya mengobrol ia langsung menampilkan ekspresi kaget.
Aku buru-buru membuang muka saat Mas Agas keluar dari restoran dan menghampiriku. Tersenyum canggung, aku mengusap tengkuk ketika Mas Agas tersenyum kikuk di depanku.
"Lo ...."
"Habis liput acara event kuliner, Mas. CoffeTalks, 'kan, sewa salah satu tenant di sini juga. Tadi aku bareng Bu Tami ke sini." Aku menunjuk ke arah belakang dengan jempol untuk memberitahu Bu Tami sedang menungguku.
Sepertinya Mas Agas tidak lantas percaya dengan apa yang aku katakan, bola matanya bergerak ke kanan dan kiri secara bergantian seperti orang yang sedang meneliti sesuatu.
"Kenapa, Mas?" tanyaku yang akhirnya penasaran dengan sikap Mas Agas.
Akan tetapi, belum sempat Mas Agas menjawab, pria yang tadi duduk bersamanya di restroran menghampiri kami. Pria itu punya postur lebih tinggi dari Mas Agas, menggunakan kacamata tanpa bingkai, wajah di sekitar dagunya ditumbhui bulu halus yang dirawat rapi.
"Dia siapa?" tanyanya menunjuk ke arahku. Sesuatu yang kurang sopan ditunjukkan oleh pria dewasa yang penampilannya sangat rapi itu.
"Karyawan CoffeTalks." Mas Agas menjawab ringan.
Pria itu mendengkus kemudian tertawa pelan. "Kayaknya CoffeTalks dan gue enggak bisa dipisahin, ya? Bilang sama atasan lo. Enggak perlu takut, gue enggak akan minta apa-apa dari CoffeTalks. Tapi sekali aja dia sentuh Kara lagi, gue, Amario Sentani enggak akan segan-segan habisin dia sampe enggak bersisa."
"Lo apa-apaan, sih?" Mas Agas mengeluh. Pria itu hanya mengedikkan bahunya tidak acuh kemudian melenggang pergi meninggalkan Mas Agas.
Aku hanya diam mencerna apa yang terjadi. Namun, ingatanku kembali pada bulan lalu. Amario Sentani, Amario, Amar? Dia pria bernama Amar yang pernah disebutkan Kara? Dia pria yang Kara minta untuk satu-satunya bisa aku percaya? Tapi kenapa dia bertemu dengan Mas Agas di sini?
Lalu? Siapa atasan Mas Agas yang dimaksud pria bernama Amario tadi? Bukankah atasan Mas Agas hanya Kara dan ayahnya?
"Mas, dia itu Mas Amar?" Aku yang tidak tahan dengan kebingung akhirnya menyuarakan tanya.
Mas Agas mengangguk pelan. Dia bertolak pinggang dan menghunuskan tatapan tajam ke arahku. "Kalau lo masih percaya sama omongan Eliana tentang gue yang jadi parasit Kara, mendingan jangan deket-deket gue lo."
"Mas Agas marah sama saya?"
"Iyalah! Pake nanya lagi."
Aku tersentak ketika Mas Agas mengeraskan suaranya. Ia berdecak kemudian mengacak-acak rambutnya.
"Kenapa, Mas?"
"Iya karena loi percaya sama Eliana dibanding sama gue. Selama ini yang baik sama lo, 'kan gue. Kenapa malah percaya sama Eliana? Gue jadi susah gerak kalau lo apa-apa curiga sama gue, Chya. Termasuk lindungin hubungan lo sama Kara."
"Mas Agas tahu?"
"Menurut lo? Lo pikir siapa yang setiap hari beresin apartemen Kara? Alien? Gue! Jadi gue tahu siapa-siapa aja yang keluar masuk di apartemen Kara, Chya."
Aku merapatkan bibir ketika menatap Mas Agas dengan wajah yang memerah. Pantas saja sebulan ini Mas Agas tidak bereaksi berlebihan saat aku tidak merespons peringatannya.
"Terus kenapa Mas Agas larang aku dekat sama Pak Kara? Mas Agas enggak setuju sama hubungan kami, ya?"
Mas Agas meloloskan napas ke udara, mengajakku duduk di restoran yang sempat ia tinggali. "Banyak hal yang belum lo tahu tentang kondisi Kara. Empat tahun lalu, setelah kecelakaan itu ... gue pernah bilang, 'kan, kalau saat itu keadaan kusut banget? Gue sama Amar itu lagi berusaha untuk ngurai benang itu dulu."
Dari gaya bicaranya, aku tahu banyak hal yang ditutupi Mas Agas dariku. "Terus, atasan yang dimaksud Mas Amar tadi siapa, Mas? Bukannya Mas Agas cuma kerja sama Pak Kara dan Pak Dwi Aji?"
"Rion. Entah gimana caranya, hubungan mereka tuh jadi renggang setelah kecelakaan Kara empat tahun lalu. Tapi lo janji enggak boleh ngomong sama siapapun soal ini?" Mas Agas memenuhi dadanya dengan oksigen sebanyak-banyaknya. "Amar menganggap Rion terlibat sama kecelakaan yang dialami Kara dulu."
"Haa?!"
Responsku terlalu cepat untuk hal yang aku dengar begitu pelan dari Mas Agas. Tidak-tidak! Aku pasti salah dengar. Tidak mungkin kecelakaan itu disebabkan oleh Pak Rion yang selama ini begitu protect menjaga Kara. Mas Agas pasti berbohong.
"Lo pasti kaget dengar apa yang gue omongin, 'kan? Gue juga pas tahu kecurigaan Amar. Gue juga hampir enggak percaya sama apa yang dibilang Amar. Karena itu gue rasa perlu untuk cari kebenarannya."
"Gimana caranya?" tanyaku. Detak jantungku mengencang sesaat setelah Mas Agas menceritakan kecurigaan Mas Amar.
"Makan dulu, Chya."
Mas Agas menyodorkan semangkuk I Fu Mie ke depanku. Aku menolaknya, belakangan ini aku tidak suka sekali melihat mie di dalam mangkuk. Bahkan hanya dengan membayangkan tekstur mie yang masuk ke dalam mulutku saja membuat perutku mual.
"Kenapa? Biasanya lo suka banget makan mie? Gue sering lihat lo jajan sama Runi sama Ami beli jajan mie cup sama odeng-odengan, 'kok."
"Lagi enggak enak perutku, Mas."
Mas Agas mengangguk saja kemudian memesan makanan lain untukku.
"Jadi gimana caranya, Mas?" Aku menuntut Mas Agas bercerita lebih lanjut.
"Kita harus berusaha ngembaliin ingatan Kara. Minimal, kita harus tahu kenapa dia bisa ada di lokasi kejadian tabrakan waktu itu. Ada satu orang yang kita curigai waktu itu, Ditto namanya, kita pikir Ditto ketemuan sama Kara untuk bahas masalah mereka. Ditto juga udah kasih kesaksian, tapi dia enggak ngaku kalau dia janji ketemu sama Kara di sana karena kemarinnya mereka berdua udah ngobrol panjang lebar."
Aku menegapkan punggung. Haruskah aku mengatakan bahwa Kara berada di sana karena ingin menemuiku? Tapi bagaimana jika Mas Agas dan Mas Amar berpikir kalau aku salah satu orang dari Pak Rion? Apa Mas Agas akan mencurigaiku? Apa sebaiknya aku mengatakannya lebih dulu pada Kara sebelum pada Mas Agas? Sepertinya itu pilihan yang lebih baik untuk sekarang.
"Memang Ditto siapa, Mas?"
"Mantan pacar Eliana."
"Ohh mereka udah putus? Padahal Mbak Eliana cantik gitu, Mas. Mereka putus kenapa, Mas?"
Mas Agas membuang muka ke arah lain saat aku melontarkan pertanyaan. Sepertinya aku salah mencari topik pertanyaan. "Liana memang cantik. Cantik banget bahkan. Dulu Amar bilang saking cantiknya, Kara sampe kasih panggilan Princess Ana dari film Disney untuk dia. Kara sayang banget sama Liana yang sudah dia anggap kayak adiknya sendiri."
"Berarti Pak Kara sayang banget sama Mbak Liana?"
Mas Agas mengangguk. "Rion juga. Rion bahkan rela ngelakuin apa pun untuk Liana, supaya Liana bahagia, termasuk ngejadiin dirinya sendiri budak perusahaan. Seandainya kecelakaan empat tahun lalu enggak ada, mungkin Liana punya tiga orang kakak laki-laki yang sayang sama dia. Orang yang terakhir adalah Amar."
"Memang sekarang Mas Amar enggak lagi sayang sama Mbak Eliana, Mas?"
"Enggak sudi gue sayang sama perempuan yang udah ngerusak pertemanan kita gitu aja."
Aku menoleh ketika Mas Amar tiba-tiba kembali. "Kartu parkir gue. Lo lihat enggak, Gas? Kalo enggak ada gue didenda lima puluh ribu nih."
"Lima puluh ribu buat lo kecil kali." Mas Agas berdecak pelan saat Mas Amar mengangkat mangkok I Fu Mie di depan Mas Agas.
Aku hampir saja memuntahkan seluruh isi perut ketika bau I Fu Mie itu masuk ke indera penciuman. Aku buru-buru berlari ke watafel dan mengeluarkan isi perut yang sebetulnya belum ada apa-apa. Mas Agas menghampiriku, menatapku dengan wajah curiga.
"Sejak kapan lo begini?"
"Seminggu ini, Mas. Kayaknya emang perutku lagi enggak enak." Aku mengusap perut yang terasa tidak enak sejak pagi.
"Lo udah periksa ke dokter?" tanya Mas Agas yang masih setia menelitiku dari atas hingga bawah.
"Belum, Mas. Lagian enggak demam."
"Lo nggak tolol, 'kan, Chya? Lo ngelakuin itu sama Kara berapa kali coba? Pake pengaman? Kalau ternyata lo hamil gimana?" Ucapan Mas Agas dibuat sepelan mungkin, tetapi cukup untuk menarik perhatian Mas Amar untuk mendekat.
"Dia hamil anak siapa?" tanya Mas Amar seraya berbisik. "Kalau belum pasti, mendingan kita ke dokter dulu buat mastiin. Dia hamil anak lo, Gas?"
"Anjing!" Mas Agas mengumpat. "Mana berani gue hamilin cewek bos gue sendiri? Anak Kara."
Aku menunduk mendengar Mas Agas dan Mas Amar berdebat. Tanpa sadar air mataku menetes membayangkan kemungkinan terburuk. Bagaimana jika Kara menolak hal-hal seperti ini? Ketakutan langsung menyergapku saat ini juga, dunia di sekelilingku menjadi berputar membayangkan apa yang terjadi sebelum segalanya menjadi gelap dan aku kehilangan kesadaran.
Nyatanya pisah dari Fairuz bukan sesuatu yang bikin Chysara lepas dari masalah, kan? 😩😩
Jangan tiru umpatan Agastya, itu cuma untuk Agas dan mulutnya yang harus dicabein :(
Ternyata setelah bab ini aku baru sadar kalau sebentar lagi menuju akhir perjalanan mereka :(
Ya ampun, setelah aku pikir aku udah enggak bisa nulis, ternyata aku masih bisa sampe ke cerita bagian ending 🤧🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top