Bab tigapuluh delapan


Aku memutuskan untuk kembali ke kantor setelah dua hari absen. Namun, entah kenapa aku merasa seperti ada yang berbeda pagi ini. Seolah ada sesuatu yang salah meski aku tidak tahu itu apa.

Memutuskan untuk abai, aku memilih menyalakan komputer dan memasukkan password untuk log in pada intranet kantor, mengecek e-mail yang dikirim oleh pihak vendor perihal iklan beberapa hari lalu yang sempat aku tinggalkan.

Kemarin, Kara sama sekali tidak mengabariku tentang apa yang dikatakan Pak Rion tentang masalah kantor. Aku menebak itu adalah masalah serius sehingga ia tidak memberi kabar padaku sama sekali. Mas Agas juga yang biasanya bertanya kabarku kali ini tidak terdengar sama sekali.

"Chya? Lo masuk kantor?"

Kegiatanku membaca e-mail dari vendor terhenti saat suara Ami masuk berbarengan dengan derap langkahnya mendekatiku. Wajahnya terlihat kaget, seperti melihatku di kantor pagi ini adalah yang hal tidak mungkin ia lakukan.

"Iya? Gue, kan, Cuma minta izin buat libur dua hari sama Bu Tami. Kayak yang bakal gue enggak akan ngantor lagi aja, sih?" Aku tertawa kecil sebelum menepuk pundaknya.

Aku memang sengaja datang lebih pagi untuk memulai pekerjaan lebih awal. Saat aku masuk tadi, belum ada satu pun orang di ruangan marketing tim satu. Tapi, bukan berarti Ami akan menganggapku hantu yang menunggu kubikel bukan?

"Bukan itu masalahnya ...."

"Chya? Serius ini lo?"

Aku kembali menoleh ke arah pintu dan mendapati Eza berjalan cepat ke arahku, duduk di kursi Runi yang belum ditempati pemiliknya.

"Kalian tuh kenapa, sih?" tanyaku penasaran.

Reaksi yang mereka berikan terlalu berlebihan untuk aku yang hanya izin dua hari karena sakit. Namun, dengan cepat aku menebak sesuatu telah terjadi saat aku tidak datang ke kantor.

"Chya, sorry kalau gue nanya agak pribadi. Tapi beneran lo ada affair sama Pak Kara?"

Pertanyaan Eza lantas membuatku menegapkan posisi duduk. Dari sekian pertanyaan, aku tidak menyangka bahwa itu yang akan ia ajukan. Sekarang, bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Eza?

Jantungku terasa ingin meledak menghadapi kenyataan ini. Tidak pernah terfikirkan olehku bahwa akhirnya aku akan berada di posisi seperti ini.

Jika dilihat dari sisi mana pun, akulah orang baru di kehidupan Kara. Apa mereka akan mengerti jika aku mengatakan kami bertemu empat tahun silam? Apakah mereka akan mengerti jika aku mengatakan bahwa Karalah yang menyeretku masuk ke dalam radius kehidupannya?

Tidak. Mereka tidak akan mengerti meski aku menjelaskannya. Mereka hanya akan menganggapku sebagai perebut kebahagiaan Eliana, bukan?

Seharusnya ada sepatah dua kata yang bisa aku ucapkan pada Eza dan Ami yang menatapku saat ini. Namun, sebelum suara itu berhasil keluar, presensi seseorang kembali membuat perutku semakin terasa dikocok kuat. Eza dan Ami kompak menegapkan tubuh kemudian meringis kembali ke kubikel mereka masing-masing.

"Chysara, kamu ikut ke ruangan saya sebentar."

"B-Baik, Pak."

Aku langsung berdiri dan mengikuti langkah Pak Rion. Di ambang pintu, aku sempat berpapasan dengan Runi, Mas Joni, dan Bu Tami yang tidak menyangka akan kehadiranku saat ini. Terlebih kehadiran Pak Rion membuat Runi menatapku simpati.

Setelah mengetahui segalanya aku jadi sadar apa yang berbeda saat ini. Ternyata, tatapan semua orang tertuju padaku sebelum kemudian mereka berbisik-bisik.

Hatiku terasa seperti diremas kuat. Sesak yang ditimbulkannya membuat air mataku perlahan kembali turun setelah dua hari menenangkan diri.

"Duduk, Chysara, titah Pak Rion."

Aku memilin jari di bawah meja Pak Rion hingga kulit ari pada jariku mengelupas dan mengeluarkan titik merah. Namun, tidak ada rasa sakit sama sekali saat ini, karena ketakutanku lebih mendominasi.

Pak Rion menghela napas seraya membuka kacamatanya. Apa benar kamu ada hubungan dengan Kara? Sejauh apa hubungan kalian berdua?

Aku memejamkana mata, berusaha menguatkan seluruh anggota tubuh agar tetap berada pada posisi saat ini. Ruangan Pak Rion tiba-tiba saja berputar hebat membuat perut bagian bawahku terasa keram.

Tolong jangan sekarang, Sayang.

Aku terus mengucapkan kalimat tersebut dalam hati agar si kecil tidak menambah rasa sakitku, meski aku tahu, ia bereaksi karena tubuhku yang memulainya.

"Sa-saya ...."

Ucapanku tidak pernah selesai ketika tiba-tiba pintu ruangan Pak Rion kembali terbuka dan Eliana masuk dengan langkah lebar menghampiriku. Pak Rion langsung bangun dan mencegah Eliana mendekat, tapi Eliana lebih dulu menghampiriku dan mendorong kursi yang aku tempati hingga terbalik ke belakang.

Aku meringis saat berhasil melidungi badanku dengan mengorbankan siku jatuh lebih dahulu, tetapi rasa sakit pada sikuku begitu terasa hingga aku tidak mampu langsung berdiri.

"Eliana, stop!" Pak Rion aku dari jangkauan Eliana.

Aku memejamkan mata, mencoba menghindari tatapan marah Eliana yang kini sudah berada di puncak. Ada apa sebenarnya? Apa yang Kara lakukan padanya sehingga Eliana melampiaskan amarahnya padaku?

Tangisan Eliana semakin kencang saat Pak Rion memeluknya. Jujur saja, hatiku terasa begitu sakit mendengar tangisnya yang begitu putus asa. Bagaimanapun aku seorang perempuan, tidak pantas jika aku harus menyakiti hati sesama perempuan bukan? Jika aku jadi Eliana, mungkin aku juga akan bersikap sama dengannya.

Aku mencoba berdiri saat Eliana berhasil mendorong Pak Rion hingga kepalanya membentur meja. Ia kembali menghampiriku dan mengambil gunting kecil yang ada di meja kerja Pak Rion.

Aku berusaha untuk mundur, menghindari Eliana yang kini mendekat ke arahku.

"Apa sebelum ini kita pernah kenal? Gue enggak pernah buat salah kan sama lo? Kenapa lo harus jahat sama gue? Kenapa!"

Aku menggeleng dan mengeraskan tangisanku, sementara Pak Rion mengambil ancang-ancang untuk mengambil gunting di tangan Eliana dari belakang.

Seluruh tubuhku bergetar hebat akibat ketakutan yang hinggap di dadaku. Aku harus melindungi diri dari Eliana agar kandunganku baik-baik saja.

"Mbak Eliana saya mohon jangan, Mbak."

"Jangan apa? Lo enggak perlu takut. Gue enggak akan sakitin lo kalau memang Kara sesayang itu sama lo. Tapi, gue sudah enggak punya segalanya sekarang. Gue kehilangan anak gue empat tahun lalu karena Kara kecelakaan. Dan setelah nunggu empat tahun, gue harus kehilangan Kara? Lebih baik lo habisin gue aja sekalian!"

Eliana menjatuhkan dirinya dan meringkuk di hadapanku. "Dari sekian banyak orang kenapa harus Kara!"

Tangisan Eliana semakin keras terdengar. Ia lebih baik kehilangan nyawa dibanding kehilangan Kara? Pertanyaan itu menimbulkan pertanyaan dalam benakku, apakah keputusanku mempertahankan Kara adalah suatu yang benar? Apa aku tega berbahagia di atas penderitaan orang lain?

"Lo tahu, Chysara? Gue sama Kara dulu pernah hampir punya anak. Iya! Kalau aja kecelakaan itu enggak terjadi, mungkin gue sama Kara sekarang sudah bahagia sama anak kami."

Aku mencoba menulikan pendengaran dari apa yang Eliana ucapkan? Empat tahun lalu? Di mana aku yakin aku punya sedikit pembelaan karena pertemuan kami adalah empat tahun lalu, ternyata aku sudah merusak hubungan mereka sejak empat tahun lalu? Lalu apa lagi yang membenarkan posisiku saat ini?

Aku bersandar pada lemari buku karena tidak kuat menahan apa yang seharusnya aku dengar sebelum hubunganku lebih jauh dengan Kara. Ternyata, begitu banyak hal yang Kara sembunyikan sejak empat tahun lalu.

Aku kembali memeluk perutku saat melihat Eliana memberontak ketika Pak Rion mencoba merebut gunting dari tangannya. Pergerakan mereka terhenti saat gunting di genggaman Eliana menancap dalam di tangan Pak Rion hingga membuat kemeja lengan panjangnya memerah dengan cepat.

"Ri-Rion?"

Eliana buru-buru melepaskan gunting tersebut dari tangannya.

"Sekali lagi, Eliana? Sekali lagi lo nyakitin gue dengan cara yang paling sakit."

Di sela tangisku, aku tertegun melihat air mata keluar dari mata yang memerah Pak Rion. Tanpa ekspresi ia mencabut gunting tersebut dan melemparkannya ke pojok ruangan.

"Lo bilang enggak punya siapa-siapa selain Kara? Ya! Lo memang enggak punya siapa-siapa selain Kara. Lo tahu kenapa? Karena lo enggak pernah menghargai siapa pun yang sudah berusaha ngelindungi lo."

"Rion maksud gue ...."

"Cukup!" Pak Rion menyentak tangan Eliana yang berusaha menggapai tangannya.

"Lo kasar sama gue, Ri? tanya Eliana yang seketika tertawa di hadapan Pak Rion. Serius? Cuma karena perempuan itu?"

"Ini bukan soal Chysara."

"Terus soal apa, Ri? Soal apa? Karena dia Kara ninggalin gue? Karena dia juga lo bersikap kasar sama gue? Karena dia semua orang yang gue sayang pergi ninggalin gue! Semua pergi, kalau begitu buat apa gue hidup lagi, Ri?"

Pak Rion bergerak memeluk Eliana yang kembali menangis. Dari tatapan Pak Rion, aku mengamini perkataan Mas Agas dan Mas Amar yang mengatakan bahwa ia begitu menyayangi Eliana.

Pintu ruangan Pak Rion kembali terbuka. Kara masuk disusul Mas Agas yang langsung menghampiriku. "Chya, lo enggak apa-apa?"

Alih-alih menghampiriku, Kara justru menghampiri Eliana, bertanya dengan nada panik tentang apa yang terjadi padanya hingga memeriksa seluruh wajah Eliana yang kotor akibat darah Pak Rion.

Eliana mendorong dan melepaskan pelukan Pak Rion begitu saja dan menghambur ke arah Kara sembari menangis kencang.

"Maaf, Eliana."

Aku memejamkan mata mendengar permintaan maaf bernada lembut yang keluar dari bibir Kara. Ia mengusap rambut Eliana dan membawanya berdiri.

Mas Agas memalingkan wajahku ke arah lain, berusaha agar aku tidak melihat pandanga tersebut sampai Kara dan Eliana keluar dari ruangan tanpa Kara menoleh ke arahku sama sekali.

Hari ini, aku melihat sendiri bagaimana rasa sayang Eliana pada Kara juga sebaliknya.

Nyatanya meski Kara enggak menjelaskan apa-apa ke Chysara, Kara tetap bertindak sesuai apa yang Chysara mau. Dia selama ini enggak diem-diem amat juga kok :(

Dan dari sini mulai jelas kenapa Rion enggak suka Chysara dekat-dekat sama Kara, karena dia pasti kena imbasnya wkwkwkwk

Btw kemarin-kemarin aku enggak update karena draft-ku enam bab 38-43 tuh hilang gitu aja, mau nulis ulang kok kayaknya rasanya males udah capek-capek malah hilang 😭😭

Mudah-mudahan setelah ini draft-ku enggak akan hilang lagi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top