bab tigapuluh
Setelah pembicaraanku dan papa selesai, kami memutuskan untuk kembali ke ruang tamu. Fairuz berdiri menyambutku meski aku menarik tanganku untuk menolak genggaman tangannya. Aku menarik napas panjang setelah duduk dan menatap Fairuz.
Keputusanku berpisah dengan Fairuz sudah bulat. Bukan karena ada Kara di belakangku. Sama sekali bukan. Aku hanya tidak ingin terus menerus berada di dalam tali kekangnya. Belakangan ini, bersama Fairuz aku selalu takut mengambil langkah, takut jika langkah yang aku ambil akan membuat keributan baru di antara kami. Oleh karena itu, beberapa kali aku berbohong untuk menghindari pertengkaran, yang justru berakhir dengan ia kembali menyalahkanku.
"Maaf, Fai. Sepertinya keputusan aku kemarin sudah bulat."
"Maksud kamu?" tanyanya.
"Aku mau kita mengakhiri hubungan kita." Aku menunduk. Mama berusaha menenangkanku, seperti tidak setuju dengan jawaban yang aku berikan pada Fai.
"Chya, kamu enggak serius, 'kan? Hubungan kita sudah terlalu serius untuk berakhir begitu saja." Aku lihat Fairuz mengusap wajahnya kasar.
"Orang tua kamu enggak setuju sama hubungan kita, Fai. Kamu enggak bisa maksain mereka hanya dalam satu hari. Bahkan, setelah semua yang kamu tuntutkan sama aku, aku tetap bertahan, kamu tuduh aku selingkuh, aku diam. Bahkan kamu ngamuk sama bos aku dan hampir buat aku dipecat aku juga diam. Mau sampai kapan? Aku bukan hewan peliharaan yang bisa kamu ikat dengan tali kekang begitu aja, Fai. Aku ...."
"Orang tua yang membanggakan kamu di depan dunia. Kamu yakin mereka tidak akan kecewa ketika melihat kamu direndahkan sebegininya oleh dia?"
Kata-kata Pak Rion malam itu kembali terdengar. Tanpa sadar, selama ini aku sudah membiarkan Fairuz merendahkanku disaat papa sangat berharap aku bisa berdiri di kakiku sendiri.
"Hubungan kita enggak sehat, Fai. Aku enggak bisa terus-terusan mengalah untuk kamu. Aku ... aku ...."
"Apa ini karena Dhiwangkara? Laki-laki pengaruhi kamu, Chya?"
Aku mendongak, menatap Fai yang ternyata sudah meneteskan air mata, sama sepertiku. Papa dan mama memutuskan untuk kembali meninggalkan kamu berdua.
"Kenapa kamu selalu bawa-bawa Dhiwangkara? Ini masalah kita, Fai. Kamu bukan lagi Fai yang aku kenal dua tahun lalu. Kamu terlalu terobsesi dengan keluarga masa depan. Itu bagus, tapi aku enggak bisa jadi objek fantasi kamu. Ada impian yang mau aku capai."
Aku mengeraskan tangisan ketika mengingat semua ucapannya. Sejujurnya hatiku juga terasa sakit melihat Fai menangis seperti itu. Akan tetapi, rasa sakit yang ia torehkan belakangan ini membuatku berpikir ulang. Apa aku akan tetap bisa bertahan jika harus menghabiskan sisa hidup bersamanya? Seumur hidup itu terlalu lama jika harus dilingkupi rasa bersalah terus menerus, bukan?
"Begini aja, Chya. Kasih aku satu kesempatan lagi, bukan. Kasih aku waktu satu hari aja, kita habisin waktu bareng. Tanpa semuanya, tanpa orang tua kamu, tanpa orang tua aku, tanpa Dhiwangkara. Kalau setelah itu keputusan kamu tetap berpisah. Aku terima."
Aku menggeleng lemah. Tidak, hatiku tidak boleh jatuh lagi pada Fairuz. Bahkan, jika bukan Dhiwangkara orangnya, tetap bukan Fairuz yang akan aku pilih untuk menghabiskan waktu seumur hidup. Aku tidak boleh memberikan dia kesempatan untuk kembali berharap. Terlebih, setelah apa yang selama ini dia tuduhkan benar-benar terjadi padaku dan Dhiwangkara. Fairuz sudah tidak boleh mengharapkan aku lagi.
****
Penolakanku terhadap lamaran Fairuz jelas mendapat pertanyaan besar dari mama. Dengan pekerjaan mapan dan kehidupan yang layak, mama berharap aku bisa berakhir dengan Fairuz dan hidup bahagia, tanpa tahu apa yang selama ini aku alami.
Aku meminta waktu untuk dapat menceritakan segalanya pada papa dan mama. Mempersiapkan segalanya bukan hal mudah untukku, terlebih kehadiran Dhiwangkara yang tiba-tiba membuatku bingung bagaimana menceritakan tentangnya. Namun, aku butuh seseorang untuk mengeluarkan emosiku saat ini.
Setelah diberondong pertanyaan oleh mama, aku memilih untuk pergi ke tempat Luna. Meminta sarannya untuk mengambil keputusan untuk segalanya. Namun, Luna tidak berada di studio, ia sedang mengantar pesanan pada reseller baju.
Entah apa yang mendorongku, tapi aku memutuskan untuk mendatangi apartemen Kara. Ia terkejut saat mendengar bahwa aku sudah berada di lobby apartemennya, setelah memintaku menunggu, ia berlari keluar dari lift dan menghampiriku.
"Are you okay, Chysara?" tanyanya dengan raut wajah yang begitu khawatir. Ia mengajakku naik, dan mendudukanku di sofa kemudian memelukku.
Tangisku kembali pecah di dalam pelukannya. Untuk beberapa saat, aku mulai nyaman dengan perlakuannya. Kara jelas tahu apa yang harus ia lakukan untuk menenangkanku.
Setelah aku tenang, Kara mengambil satu kotak minuman Sari Asam Jawa untuk diberikan padaku. Salah satu minuman favorit yang aku sebutkan saat ia bertanya tentang kesukaanku. Ia tidak mengatakan apa-apa, menunggu agar aku siap membuka suara.
"Bagaimana? Sudah merasa lebih baik?"
Aku mengangguk pelan, ada perasaan hangat yang menjalar ke relung hatiku saat ia membelai rambutku.
"Kamu mau pulang atau menginap di sini? Aku enggak punya baju ganti untuk kamu, tapi kalau kamu mau kamu bisa pakai bajuku yang mungkin lebih nyaman dibanding pakaian kamu saat ini."
"Mas Agas?"
"Jangan khawatir. Agas akan aku info supaya enggak datang besok pagi."
Aku mengangguk pelan. Banyak hal yang mau aku luapkan. Tentang segala masalahku dengan Fai, kemudian kebimbangan tentang segala yang terjadi belakangan ini. Kara hanya diam mendengarkan semua ceritaku. Mulai dari tuduhan-tuduhan yang Fai layangkan padaku, hingga perkataannya yang mengatakan bahwa aku berubah setelah mendapat pekerjaan.
Sesekali ekspresi wajahnya menegang, kemudian kaget atau bahkan tidak percaya saat aku menceritakan kejadian saat Fai meninggalkanku di kolong fly over Lebak Bulus dan di jalan Pantai Carita kemarin.
Ketakutan kembali melingkupiku saat Kara menolak untuk menoleh ke arahku. Tangannya terkepal keras kemudian berjalan menjauh hingga meja makan.
"Kara? Kamu marah, Kar?" Aku mencoba mendekatinya.
Sempat terhenyak karena ia menepis peganganku pada lengannya, ia kembali menjauh dan menghindari tatapanku.
"I'm sorrry, Chysa. But this is all too hard for me to accept. How can endure someone like him and ignore your own happiness? Kamu terlalu berharga untuk mendapat perlakuan seperti itu, Chysara. Dan, bodohnya lagi aku enggak bisa berbuat apa-apa setelah apa yang dia perbuat sama kamu? You're stupid, Kara!"
"Maaf, ya, Kar."
Kara langsung mendekat dan memerangkapku kembali ke pelukannya. "Bukan kamu yang harusnya minta maaf. Tapi semua orang yang sudah membiarkan kamu dekat dengan dia yang harus meminta maaf. Aku mewakili semua orang yang bahkan aku tidak kenal. Aku minta maaf atas semua yang sudah terjadi sama kamu, ya."
Aku meremat baju Kara, berusaha mengambil semua rasa kasih yang ia tumpahkan padaku saat ini. Ia mengurai pelukannya dan mengangkatku hingga duduk di atas meja makannya. Tangannya berada di samping kiri dan kananku, matanya menatap lurus ke arahku.
"Setelah ini, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan untuk menyakiti kamu. Aku akan melindungi kamu apa pun yang terjadi."
Aku memberanikan diri untuk memegang wajah Kara dan mendekatkannya padaku. Aku mencium kedua matanya secara bergantian sebelum menyesap bibirnya. Kara tidak menunjukkan reaksi berarti, ia hanya menerima apa yang aku perbuat padanya.
"Jangan pancing aku, Chysara. Kamu tahu aku bukan orang yang pandai menahan sesuatu, 'kan?" ucapnya setelah aku melepaskan pagutan.
"Fairuz bilang aku selingkuh sama kamu," jawabku atas peringatan Kara. "Jadi aku mau merealisasikan ucapannya."
"Kalau begitu jangan." Ia menyelipkan rambutku ke telinga. "Aku tidak mau menjadi bahan pembuktian siapapun kemudian kamu menyesal sudah melakukannya denganku."
Aku mengangguk samar mendengar ucapannya.
"Jangan anggap aku sebagai pelampiasan kamu terhadap Fairuz, Chysara. Karena aku tidak rela ada namanya di dalam hubungan kita."
Suara Kara terdengar lebih berat dari biasanya. Aku pernah mendengarnya bersuara seperti ini hanya saat kami melakukannya malam itu. Jadi, aku menebak kini ia sedang merasakan sesuatu di dalam dirinya. Dengan tatapan mata yang menggelap, Kara mendekatkan dirinya padaku.
Mataku terpejam saat ia memainkan lidahnya di dalam mulutku. Kepalaku terasa kosong, sementara hatiku saat ini hanya ada namanya seorang. Entah apa yang Kara lakukan padaku hingga aku tidak lagi mempedulikan akibat dari yang kami lakukan saat ini.
"Aku bisa gila kalau kamu terus seperti ini, Chysara," ucapnya dengar nada yang sangat rendah.
Aku mengalungkan tangan padanya dan melingkarkan kaki, ia mengangkatku dan membawaku ke dalam kamarnya.
Ini benar-benar gila! Aku sampai berbuat sejauh ini dengan Dhiwangkara. Dhiwangkara, sebetulnya apa yang sudah kamu lakukan padaku?
Aku tuh sebetulnya enggak bisa banget lihat mereka berdua baik-baik aja, jiwa-jiwa kejomloan aku meronta ingin memisahkan mereka berdua dan menyiksa mereka berdua, jadi bagaimana bab selanjutnya kita siksa mereka dengan konflik yang enggak ada habisnya 😩😩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top