Bab tiga puluh sembilan
"Eliana keterlaluan banget."
Mas Agas menggerutu sembari membebat lengan Pak Rion menggunakan kain kassa setelah membersihkannya dengan cairan Rivanol dan Alkohol. Pak Rion tidak bereaksi sama sekali, sejak tadi ia hanya menyandarkan bahu sambil memejam mata.
"Lukanya dalem banget, Ri. Lo yakin enggak mau ke dokter aja?" tanya Mas Agas setelah mengganti kain kassa sebanyak tiga kali tapi darah tetap merembes keluar dari tangan Pak Rion yang jarinya sedikit membiru.
"Enggak perlu."
"Lo sama Kara tuh sama-sama batu tahu enggak?" Mas Agas berkomentar kemudian mengikat kencang kain kassa sehingga Pak Rion berteriak.
"Sakit, kan? Makanya ayo ke dokter."
"Please, Gas. Gue capek. Lo bisa diem dulu enggak?"
Mas Agas hanya menghela napasnya kasar kemudian beralih menatapku. "Lo gue anter pulang aja ya, Chya? Gue enggak yakin lo bakal nyaman kerja setelah situasinya kayak gini."
"Ada hal yang harus gue selesaiin sama dia." Pak Rion kembali bersuara mendahului perkataan Mas Agas.
"Ri, menurut gue ...."
"Apa? Menurut lo gue enggak perlu tahu tentang apa yang terjadi setelah mereka bikin ribut di dalam kantor gue gitu? Menurut lo gue harus diam aja lihat temen gue menderita satu sama lain?"
Mas Agas bungkam mendengar pertanyaan yang dilayangkan Pak Rion, sementara aku masih belum berani menegakkan kepala meski hanya untuk menatap Pak Rion.
Malu.
Mungkin itu yang aku rasakan saat melihat Pak Rion mendengkus. Mengabaikan rasa sakit yang ia rasakan, Pak Rion berjalan menuju meja kerjanya, mengambil sesuatu dan memberikannya padaku.
"Itu undangan pernikahan Eliana dengan Kara. Kamu lihat, kapan tanggalnya."
Aku membaca tulisan bertinta emas di bagian atas undangan.
"Dua minggu lagi, Chysara. Menurut kamu apa salah saya tidak setuju dengan hubungan kalian? Pernikahan bukan tentang dua orang, ada banyak orang yang akan terlibat, kamu tahu itu, kan?"
"Rion ...."
"Tunggu, Gas."
"Kamu baik, Chysara. Baik. Saya yakin kamu akan dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari Dhiwangkara. Jadi saya minta tolong sama kamu untuk jangan rusak kebahagiaan Eliana."
Aku tidak dapat menjawab perkataan Pak Rion saat ini. Logika di kepalaku membenarkan apa yang diucapka Pak Rion. Meski sakit, aku mengakui segala kesalahan yang telah aku perbuat pada Eliana. Tidak seharusnya aku masuk ke dalam kehidupan Kara, sekarang atau empat tahun lalu.
"Rion, gue tahu lo sayang sama Eliana. Tapi percuma, kan, kalau Eliana nikah sama Kara tapi hatinya tetap untuk Chysara? Lo tahu sendiri gimana keras kepalanya Kara, Ri. Dan gue juga tahu gimana sakit hatinya lo mendam rasa cinta lo sama Eliana selama ini, kan?"
"Cinta gue sama Eliana enggak ada hubungannya sama semua ini, Gas."
Kenyataan bahwa selama ini Pak Rion mencintai Eliana membuatku semakin merasa bersalah. Bahkan, tanpa menuntut balasan dari Eliana Pak Rion tetap menjaga Eliana meski perempuan itu telah menyakitinya berkali-kali. Sekarang aku sadar apa maksud dari tatapan Pak Rion untuk Eliana tadi.
Ketukan pintu ruang kerja Pak Rion kembali menginterupsi sebelum pintu tersebut terbuka dan seseorang masuk tanpa mendapat persetujuan Pak Rion.
"Tempat ini enggak pernah berubah," ucapnya sebelum duduk di samping Mas Agas yang baru saja selesai membersihkan luka Pak Rion.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Pak Rion dengan nada ketus.
"Gue? Gue diminta Kara untuk jemput Chya pulang. Kalo bukan Kara mana gue tahu kalau kalian habis ribut gede gini."
Mas Amar menggeleng setelah melihat ruangan Pak Rion berantakan dengan beberapa kertas jatuh di lantai, kursi tempatku duduk tadii terbalik dan bercak darah Pak Rion di mana-mana.
"Kara?"
"Kenapa? Kaget, ya? Kaget kalau ternyata Kara sudah inget gue dan enggak bilang apa-apa sama lo? Long time no see, Bro."
"Mau lo apa, sih, Mar?"
"Mau gue lo jujur, Ri! Apa sebenarnya tujuan lo selama ini jadi bayangan Kara? Lo bilang Kara yang ngehamilin Eliana waktu di rumah sakit, lo yang bilang kalau Kara murni kecelakaan di Jogja. Bullshit! Kenapa handphone lo enggak tiba-tiba enggak aktif malam waktu Kara hilang?"
"Wait. You're accusing me of being involved in Kara's accident?"
Mas Amar tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan Pak Rion sementara Mas Agas sudah menunduk dengan tangan yang mengepal kencang.
"Lo duduk di sebelah Agas seolah lo udah kenal lama sama Agas, setelah itu lo ngelemparin pertanyaan bernada tuduhan itu ke gue seolah lo sudah mikirin mateng-mateng apa yang akan lo omongin ini. Lo beneran berpikir gue yang nyebabin Kara kecelakaan? Are you kidding me?"
Aku masih menunduk. Tetapi kekehan Pak Rion terdengar begitu pilu di telingaku.
"Lo juga berpikir gue begitu, Gas? Empat tahun lo kenal gue, kerja bareng gue, setelahnya lo langsung percaya begitu aja sama Amar yang gue sendiri enggak tahu lo kenal dia dari kapan."
"Rion. Gue Cuma ...."
"Lo cuma berpikir kalau Kara sembuh seperti semula gue yang akan dirugikan? Apa sepicik itu gue di mata lo?"
Pak Rion kembali tertawa, kali ini lebih keras sebelum berdiri dan kembali melangkah ke meja kerjanya, mengambil sebuah map cokelat dan memberikannya pada Mas Agas.
"Tolong sampaikan surat pengunduran diri gue ke Kara. Dan, karena gue resign mendadak, perusahaan enggak perlu bayar uang tanda terima kasih atau semacamnya untuk gue."
"Rion. Bukan gitu maksud gue, Ri."
"Terus apa maksud lo, Gas? Apa? Kalau lo berpikir selama ini gue ada di samping Kara Cuma untuk harta Pak Dwi Aji, silahkan. Gue enggak peduli soal itu, gue enggak akan menjelaskan diri gue ke siapapun, karena kalau lo percaya sama gue, lo enggak akan butuh penjelasan itu, Gas."
Mas Agas berdiri menghampiri Pak Rion yang membereskan barang-barangnya. Ia mencegah Pak Rion mengosongkan laci dan menyeretnya kembali duduk.
"Empat tahun lalu pilihannya ada dua, gue ikut Amar cari penyebab kecelakaan, atau gue stay barangkali Kara butuh gue kalau dia sadar. Apa pilihan gue salah?"
Aku tahu, aku tidak berhak menjawab ucapan Pak Rion karena itu bagian dari masalalu mereka, tetapi kalau boleh jujur, aku akan menjawab dengan persetujuan pada pilihan yang dibuat Pak Rion.
"Setelah sadar Kara enggak kenal sama gue, kemudian ditambah masalah Eliana yang ketahuan kalau dia lagi hamil. Lo ada saat gue butuh lo, Mar? Enggak ada. Bahkan saat orang tuanya Eliana berniat jeblosin gue sama Kara ke penjara lo tetap enggak datang." Pak Rion mengusap wajahnya kasar.
Cerita Pak Rion membawaku pada ingatan cerita Mas Agas saat ia baru sampai ke Jakarta untuk menengok Kara, saat itu Mas Agas bercerita keadaan sedang kacau dengan kehadiran pengaraca. Aku rasa, cerita Pak Rion melengkapi puzzle dari teka-teki selama ini. Ternyata, sejak dulu Kara sudah menyimpan begitu banyak teka-teki.
"Gue sama Pak Dwi Aji datang ke Jogja untuk temuin Ditto, tapi Ditto bilang semua itu tanggung jawab Kara. Lo tahu perasaan gue saat itu kayak apa, Mar? Enggak, kan? Karena lo emang enggak mau tahu."
Pak Rion kembali terkekeh di sela ceritanya. Lengannya kembali mengeluarkan bercak merah akibat remasan yang dilakukan tangan satunya seperti sebuah usaha mengalihkan rasa sakit yang dia rasakan.
"Perjanjian yang dibuat orang tua Eliana dengan orang tua Kara melibatkan gue, orang tua Kara minta gue untuk jaga Eliana, nahasnya Kara menolak bertanggung jawab sampe akhirnya Eliana berusaha nyakitin dirinya sendiri. Lo tahu? Sekali lagi, enggak, kan?"
"Lo enggak pernah cerita sama gue, Rion."
"Gimana caranya gue cerita sama lo ketika lo malah sibuk bikin Kara ingat semua yang terjadi. Lo tahu itu semua enggak gampang, Mar. Lo nuntut Kara untuk ingat semua kejadian sementara dia aja bahkan ragu kalau dia itu benar Dhiwangkara atau bukan!"
"Apa pentingnya masa lalu? Buat gue, Kara ya Kara, dia inget atau enggak sama masa lalunya sama gue, dia tetap teman kecil gue, Mar. Sama kayak Eliana. Bahkan saat Eliana nyakitin dirinya berulang kali sampai kehilangan bayinya. Siapa yang disalahin kalau bukan gue?"
"Dan point-nya saat gue enggak bisa dihubungin waktu Kara hilang, lo tahu kalau Kara cuma hapal nomer gue, kan? Dia pinjam handphone gue buat ngambil handphone-nya ditempat janjian, karena dia kecelakaan handphone gue ikut hilang sama Kara saat itu."
Setelah semua cerita yang diungkap Pak Rion, apa pantas selama ini dia mendapat kecurigaan? Bukan hanya Kara, tetapi kecelakaan itu membuat hidup Pak Rion juga ikut menderita.
"Saat itu lo enggak ada buat gue, Mar. Gue sendiri ngejalanin semuanya. Dan sekarang lo bilang gue penyebab kecelakaan Kara. It was an accident, Mar."
"Ri ... Gue ...."
"Gue enggak masalah kalau lo jauhin gue, gue enggak masalah kalau lo semua anggap gue berpihak sama Eliana, gue enggak masalah kalau Eliana bersikap kasar sama gue. Tapi pembunuh? Itu gila, Mar."
Aku tidak tahu apa yang selama ini Pak Rion rasakan. Tetapi mendengar ceritanya, aku rasa aku terlalu malu untuk merasa menjadi orang yang paling menderita. Pengorbanan Pak Rion terlalu besar untuk teman-temannya.
Siapa yang suka menyiksa batin tokohnya sampai habis tidak bersisa? Aku! Aku!
Dari awal, aku udah bilang kalau aku nggak pernah buat tokoh jahat. Rion contohnya, dia itu baik sebenernya, cuma ketutup diam aja ehehehee ....
Yaudah itu aja, ntar kalau rame aku update lagi
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top