bab sembilan belas
Perjalanan dari Sudirman ke Fatmawati masih padat kendaraan. Beberapa kali aku melirik jam yang ada di dashboard mobil Mas Agas menunjukkan pukul setengah delapan malam. Aku tidak berani mengeluarkan handphone yang terus saja menampilkan nama Fai sejak aku keluar dari apartemen Kara.
"Mas, aku turun di sini saja, Mas. Beneran deh, udah dekat kok." Aku mencoba membujuk Mas Agas agar tidak mengantarku sampai ke depan studio Luna. Jujur saja, aku takut jika kemungkinannya ada Fai di sana dan mendapati aku pulang bersama Mas Agas.
"Serius? Gue enggak enak kalo nurunin lo di jalan begini."
"Iyaa enggak apa-apa, 'kok." Aku membuka seatbelt setelah Mas Agas menepikan mobil tidak jauh dari deretan ruko tempat studio Luna.
Namun, setelah aku keluar dari mobil Mas Agas. Mobil Fai membunyikan klakson hingga aku terlonjak.
"Chya, kamu baru pulang?" tanya Fai saat menghampiriku yang masih berdiri di depan mobil Mas Agas.
"Iya. Kamu di sini sudah lama? Maaf aku enggak enak angkat telepon kamu di samping Mas Agas. Dia salah satu atasan aku di kantor." Aku berjalan mendekatinya.
"Yaudah. Kamu udah makan? Kita makan bareng?" Aku mengangguk kikuk di depan Fai sambil berharap bahwa Mas Agas tidak akan turun dari mobil dan mengkonfirmasi orang yang sudah membuat Kara terluka.
Akan tetapi, ternyata Mas Agas memilih untuk turun dari mobil dan menyapa Fai.
"Saya Agas. Atasan Chysara di kantor." Mas Agas mengulurkan tangannya di depan Fai yang langsung disambut ceria.
"Fairuz."
"Saya minta maaf karena sudah buat Chysara pulang terlambat. Sebagai tanggung jawab, saya antar dia ke sini, saya harap tidak ada kesalahpahaman." Mas Agas berucap lugas.
Fai mengangguk saat menerima jabat tangan Mas Agas. "Iya. Terima kasih sudah memperhatikan Chysara."
"Kalau begitu saya pamit. Sampai ketemu di kantor, Chysara," ucap Mas Agas sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi dari tempatku berdiri.
"Mau ajak Luna makan bareng enggak? Udah lama kita enggak makan bertiga." Fai mengusulkan ketika kami berjalan kaki menuju studio Luna.
"Boleh. Jam segini biasanya dia juga udah mulai siap-siap balik." Aku mengecek jam.
Meski sudah sekuat tenaga bersikap normal di depan Fai. Tetap saja ada rasa canggung yang membuatku tidak nyaman bergerak di sampingnya. Terlebih, kejadian tadi siang membuatku merasa bersalah pada Fai. Meski itu tidak disengaja, tetap itu sebuah ciuman.
"Chysara kamu dengar aku?"
"Ehh? Iya?" Aku merutuki kebodohan karena melamunkan kejadian siang tadi saat Fai bicara denganku.
"Kamu melamun?" tanyanya.
"Maaf, Fai. Aku lagi banyak kerjaan di kantor. Tadi kamu ngomong apa?"
"Hari minggu kita ketemu sama orang tua aku lagi. Kita bicarakan masalah hubungan kita ke depannya." Fai berdiri di depanku dan menggenggam tanganku. "Atau kamu masih marah sama aku soal kejadian kemarin?"
Jika itu sebuah kemarahan, aku akan dengan tegas mengatakan bahwa aku sudah lelah untuk marah. Setiap kali komunikasi kami memburuk, akulah yang selalu disalahkan oleh Fai. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia juga punya andil dalam masalah yang terjadi di antara kami. Namun, nyatanya aku hanya menelan semua itu sendiri dan menerima agar hubungan kami baik-baik saja.
"Enggak 'kok. Cuma aku harap lain kali kamu bisa menyikapi segalanya dengan kepala dingin, Fai."
"Iya. Aku janji aku akan bersikap lebih dewasa lagi ke depannya." Fai membawa tanganku hingga bibirnya dan menciumnya. "Ngomong-ngomong Dhiwangkara yang kemarin benar Dhiwangkara yang dulu pernah kamu ceritain?"
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha memasok udara penuh ke dalam paru-paru sebelum menjawab pertanyaan Fai. "Iya. Dia orangnya."
Tidak ada ucapan yang keluar dari Fai. Seolah ia menuntut aku menjelaskan lebih lanjut perihal keberadaan Kara.
"Dengar aku, Fai. Meski dia Dhiwangkara yang sama, nyatanya diantara aku dan dia memang nggak pernah terjadi apa-apa. Aku memang pernah mengharapkan dia, tapi itu dulu, sebelum aku ketemu sama kamu. Dan Dhiwangkara, dia menganggap semuanya enggak pernah ada."
Aku menjeda penjelasanku pada Fai. "Sama kayak kamu ketemu sama cinta monyet, sekarang juga mungkin akan asing. Ya itu hubunganku sama Dhiwangkara. Enggak lebih."
Fai menganggukkan kepala, berusaha mengerti apa yang aku jelaskan.
"Aku harap aku bisa pegang omongan kamu, Chya. Jujur, aku takut kehilangan kamu." Fai menarik lenganku hingga tubuhku membentur dadanya dan memerangkap tubuhku dengan erat. "Aku jadi semakin ingin cepat-cepat kita menikah, setidaknya dia enggak akan bisa rebut kamu kalau kita sudah menikah."
Aku membalas pelukannya dengan usapan pelan pada punggungnya. Mengucap rasa syukur dalam hati, setidaknya Fai tidak meledak-ledak seperti kemarin.
****
Minggu pagi, aku memoles make up tipis setelah menerima pesan Fai bahwa ia sudah akan berangkat untuk menjemputku. Sesuai permintaannya, kami akan pergi menemui orang tua Fai yang sedang mengadakan arisan keluarga besar di rumahnya.
Namun, ada sedikit rasa ketakutan bahwa nanti aku akan kembali mendengar hal buruk tentang orang tuaku.
"Kita langsung ke rumah aja, ya?" Fai mengusulkan ketika aku menemuinya di depan rumah. Ia memilih untuk tidak turun dari mobil karena akses jalan yang sempit jika harus memarkir.
"Iya. Aku pamit sama Papa-Mama dulu." Aku berlari kecil untuk kembali masuk ke dalam rumah, mengambil satu kotak berisikan tiga puluh cup panacotta yang subuh tadi kubuat untuk acara orang tua Fai.
"Kamu bawa apa?" tanya Fai saat melihatku memangku kotak berisikan panacotta.
"Panacotta. Aku bangun pagi-pagi banget buat bikin ini tadi." Senyumku terkembang apik saat menunjukkan beberapa cup kecil.
"Harusnya enggak perlu repot-repot. Kamu tahu, 'kan, ibuku enggak suka makanan manis. Dia lebih suka makan makanan asin."
Senyumku hilang begitu saja ketika Fai mengingatkanku perihal makanan favoritnya yang sebetulnya tidak aku lupakan, hanya saja aku berpikir panacotta buatanku bisa dinikmati keluarganya yang lain sebagai camilan penutup. Namun, mungkin Fai lebih mengharapkan aku mengutamakan makanan kesukaan ibunya.
"Yaudah. Besok-besok aku bikinin masakan kesukaan ibu kamu. Tapi nanti kamu cobain deh panacotta-nya. Kata Mama enak banget loh." Aku mengambil satu cup pannacotta, menyendoknya dan menyodorkan pada mulut Fai.
"Aku tahu kok kamu kalau masak selalu enak, tapi aku lagi nyetir, Chya," jawabnya tanpa menoleh dan menerima suapanku.
"Oke. Aku minta maaf."
Fai hanya menggumam, mengiyakan permintaan maafku dengan mata yang tetap fokus pada jalan.
Entah hanya aku, atau Fai juga merasa hubungan kami terasa hambar sejak pertengkaran-pertengkaran yang terjadi selama beberapa bulan ini. Namun, aku tetap berusaha mengimbanginya sambil meyakinkan diri jika Fai mungkin akan berubah seiring berjalannya waktu.
Mobil Fai berhenti di pelataran yang cukup luas. Dua mobil hitam yang aku tebak mungkin mobil saudaranya terparkir rapi.
"Keluarga kamu kayaknya udah pada sampe, ya."
"Mungkin. Ayo masuk." Fai menggandeng tanganku agar kami jalan bersama.
Setelah mengucap salam, Fai mengenalkanku pada dua sepupunya. Satu seorang laki-laki yang bekerja di rumah sakit ternama sebagai dokter spesialis gigi, satu lagi ibu rumah tangga yang suaminya seorang komisaris bank.
Tante Tyas, ibu Fai masuk saat mendengar kedatangan Fai. Aku menyalami Tante Tyas kemudian memberikan panacotta buatanku padanya.
"Repot-repot kamu. Makasih, ya," ucap Tante Tyas menerima panacotta buatanku dan membawanya ke dapur.
"Kamu sekarang sudah kerja, ya, Chysara? Kerja di bagian apa? Perusahaannya bagaimana?"
Salah satu tante Fai bertanya padaku dengan antusias. "Sekarang puas-puasin aja dulu sebelum nikah. Nanti kalau sudah nikah sama Fai, lebih baik jadi ibu rumah tangga. Biar bisa fokus urus anak kalian nanti."
"Aku sih rencananya mau kerja aja meski sudah nikah sama Fai. Fai juga dulu setuju kalau aku nanti pilih kerja, Tan."
"Setuju apanya? Perempuan itu biasanya jadi sombong kalau sudah bisa punya banyak uang, menganggap dirinya enggak butuh lelaki. Kayak kamu, baru sebentar kerja di tempat enak, langsung ribut sama Fai. Kamu mungkin merasa sudah lebih hebat dari Fai. Sudah, lebih baik kamu berhenti kerja kalau kalian mau nikah."
Suara Tante Tyas menginterupsi dari belakang. Di tangannya ada sebuah piring berisikan pudding cokelat lengkap dengan fla putih. "Jadi perempuan itu sudah paling betul jadi ibu rumah tangga. Urus suami, urus anak. Bukan malah mikirin dirinya sendiri."
"Tapi sekarang, 'kan, jaman sudah berubah, Tan. Perempuan juga banyak yang bisa berkarir, bukan berarti mikirin dirinya sendiri. Tapi buat jaga-jaga, karena kita enggak tahu ke depannya akan seperti apa, kan?" Aku mencoba membela apa yang menjadi pilihanku.
"Jaga-jaga apa? Kalau kamu ngomong gitu namanya kamu doa yang jelek-jelek. Nggak baik loh."
Tante Tyas menekan pundakku saat ia duduk tepat di samping. Aku memilih diam saat di sisi satunya Fai memberikan kode agar aku tidak melawan ibunya.
"Chya bakal berhenti dari kantor setelah kami menikah, Ma. Jangan khawatir. Chya bakal bantu Mama urus rumah nantinya." Fai menoleh ke arahku. "Iya, 'kan, Chya?"
Aku tidak tahu jelasnya apa yang saat ini sedang aku rasakan. Yang pasti, ada perasaan sesak ketika mendengar ucapan Fai. Terlebih, ucapan Tante Tyas yang mengatakan bahwa kami ribut setelah aku mendapat pekerjaan. Apa itu berarti Fai menceritakan segalanya pada ibunya?
Chyaaaa mau sampe kapan sih kamu diem aja, ngalah terus sama Fai? Mending juga sama Agas ehh Kara :(
Tapi beruntung Fai ketemunya sama Agas, coba kalau ketemunya sama Rion. Keknya seru deh 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top