bab sembilan

Entah hanya perasaanku saja, atau memang Fai terlihat berbeda dari biasanya. Wajahnya terlihat lelah dengan kantung mata yang terlihat begitu kentara meski rekah senyum tidak berhenti ia tampilkan sejak aku keluar dari pintu studio Luna.

Menjalin hubungan hampir dua tahun lamanya menjalin hubungan membuatku cukup dapat mengenal Fai dengan baik. Jelas sekali ini bukan perkara pekerjaan, karena Fai selalu dapat mengambil porsi istirahat yang cukup disela pekerjaan seberapapun banyaknya.

"Gimana sama kerjaan baru kamu?" tanyanya ketika aku duduk di sampingnya dan memasang seatbelt.

"Lancar. Sedikit agak ribet soalnya tim ternyata lagi ada project buat pengenalan produk baru pas aku masuk. I made some mistakes, but it all worked out." Aku ikut tersenyum ketika melihatnya menarik sudut bibir kala mendengar ceritaku sebelum melajukan mobilnya.

"Gimana sama atasannya? Is he a workaholic? Perusahaan yang baru lima tahun berdiri tapi sudah menyandang gelar unicorn, pasti punya rahasia manusia luar biasa, 'kan?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari depan.

Aku sedikit terhenyak ketika Fai bertanya soal atasan. Bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa yang menjadi atasanku saat ini adalah orang yang pernah aku harapkan dulu? Aku menggelengkan kepala untuk mengusir pertanyaan yang kini mulai bersarang di kepalaku.

"Emisi karbon," jawabku singkat.

"Maksudnya?" Fai menoleh ketika mobil berhenti di lampu merah. Ekspresi wajahnya terlihat bingung dengan kening yang berkerut.

"Pak Rion. Other employees often call him carbon emissions because he's not good for health." Aku memiringkan tubuh, duduk menghadap Fai dan menceritakan perilaku pak Rion selama bekerja. Sesekali Fai tertawa atau melebarkan mata mendengar ceritaku tentang Pak Rion.

"Tapi dia orang yang baik. Dia juga tipikal atasan yang peduli sama bawahannya," ucapku diakhir cerita. Meski menyebalkan, aku tidak menampik bahwa kemungkinan kesuksesan CoffeTalks sebenarnya bergantung pada Pak Rion.

Dibandingkan Dhiwangkara, Pak Rion lebih sering berada di kantor, mengawasi segala aspek pekerjaan mulai dari project yang akan datang hingga evaluasi pekerjaan yang sudah dilakukan. Aku rasa jika Pak Rion yang menjadi CEO ia tidak akan memerlukan asisten maupun wakil CEO untuk menangani pekerjaannya.

Perjalanan dari Fatmawati ke Ciledug tidak pernah sepi. Meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, lalu lintas tetap padat dengan kendaraan. Kami memutuskan untuk mampir membeli makanan sebelum sampai di rumah.

"Kamu kenapa dari tadi diem aja? Ada masalah di kantor?" tanyaku ketika kami kembali ke mobil setelah membeli empat porsi nasi goreng.

"Enggak ada, kok," jawabnya singkat.

"Yakin enggak ada apa-apa? Bukannya aku kepo atau aku enggak percaya sama kamu, Fai. Tapi kamu bisa loh membagi kesulitan kamu sama aku. Mungkin aku enggak bisa bantu, Cuma seenggaknya aku bisa ngeringanin beban kamu dengan dengar ceritanya." Aku meraih tangan Fai yang bertengger di atas kemudi.

"Serius enggak ada apa-apa. Aku habis begadang aja kemarin makanya capek."

"Oke. Anggap aja aku percaya." Aku memutuskan untuk tidak mendesak Fai untuk bercerita. Mungkin, itu yang terbaik dengan menunggunya hingga siap membagi ceritanya padaku.

"By the way kamu kontrak berapa tahun di sana?" tanyanya setelah keterdiaman membungkus kami berdua.

"Cuma satu tahun, 'kok. Tapi kemungkinan akan diperpanjang kalau kinerjaku bagus. Aku, sih, bakal berusaha banget untuk kerja sebaik mungkin," jawabku disertai cengiran. Setelah sekian lama bekerja serabutan, memiliki pekerjaan tetap adalah hal yang aku mimpikan.

"Memang kamu berencana kerja berapa lama di sana?"

"Ehh?"

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba yang dilemparkan oleh Fai. Selama kami berpacaran, ia tidak pernah membahas soal lama aku bekerja. Apa ada yang salah dengan perkataanku?

"Yaa tadi, 'kan, kamu bilang kontrak satu tahun, kemudian akan diperpanjang kalau kerja kamu bagus. Makanya aku tanya, memangnya kamu berniat kerja di sana berapa lama? Sampe tua?" Ada nada keberatan yang aku dengar dari pertanyaan yang diajukan Fai.

"Aku enggak ngerti sama arah pembicaraan kamu." Aku menggeleng dengan kening berkerut menatapnya. "Kamu tahu, 'kan, berapa lama aku nunggu kesempatan untuk keterima kerja? Dan kamu tahu, 'kan, untuk apa aku kerja?"

"Ya aku tahu. Cuma aku juga butuh kejelasan, Chysara. Orang tuaku sudah enggak muda lagi. Kita juga bukan anak kecil lagi. Masa hubungan kita mau gini-gini aja." Dari suaranya, aku tahu Fai sedang berusaha menahan nada suaranya agar tidak terdengar keras olehku.

"Ya aku tahu, Fai. Tapi kamu tahu, 'kan, kondisi ekonomi keluargaku bagaimana? Gimana pun juga aku harus bertahan untuk papa sama mama dulu." Aku mencoba memberi pengertian untuknya.

"Sampai kapan? Sampai kapan kamu harus mementingkan kebutuhan keluarga kamu di atas masa depan kita? Bagaimanapun, nanti kamu juga akan berpisah dengan mereka dan ikut sama aku."

Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar dari mulut seorang Fairuz. Apa benar pria di depanku adalah pria yang selama satu setengah tahun ini aku cintai? Pria yang mengatakan bahwa ia akan menerimaku apa adanya dengan segala kesulitanku? Aku menggeleng pelan. Perlahan, mataku memanas dengan pandangan mengabur.

"Aku enggak pernah minta kamu nunggu aku, Fai. Aku enggak pernah bilang kalau aku akan meninggalkan orang tua aku demi hidup sama kamu." Tetesan air mata jatuh ke tanganku yang sudah mengepal sejak Fai menyelesaikan kalimatnya.

"Bukan begitu maksudku, Chya. Maksudku."

"Kamu jangan pura-pura bodoh, Fai. Kamu jelas paham kalau orang tuamu enggak setuju dengan hubungan kita karena kondisi keluargaku, kan? Karena itu kamu bicara seperti itu? Kamu yakinin orang tua kamu kalau aku akan meninggalkan orang tuaku ketika aku menikah sama kamu?" Aku terkekeh meski aku yakin itu akan terdengar sumbang.

"Chya, aku minta maaf. Aku enggak bermaksud bicara kayak gitu sama kamu."

"Jadi? Apa maksud kamu bicara begitu?" Aku menantang. Menatap tajam mata Fai dengan penuh emosi.

"A-aku ...."

Aku kembali terkekeh ketika melihat Fai tidak dapat menjawab pertanyaanku. Ia melepaskan seatbelt yang dikenakannya kemudian meraih kedua tanganku yang langsung aku tepis. Ia sempat terkejut untuk beberapa detik, sebelum mengembuskan napas pelan.

"Aku cuma enggak mau fokus kamu terbagi ke banyak hal, Chya. Orang tua, pekerjaan belum hal lainnya. Aku cuma mau kamu fokus sama masa depan kita. Itu juga, 'kan, yang jadi impian kamu?"

Aku menundukkan kepala ketika Fai berucap begitu pelan. Ia mengulurkan tangannya kemudian menyentuh pipiku dengan lembut sebelum menariknya perlahan hingga napas kami bertemu. Namun, kecupan yang mungkin akan dilayangkan Fai pada bibirku terhenti ketika aku menoleh ke samping, memberi sebuah penolakan atas apa yang akan dia lakukan.

"Maaf, Fai. Sepertinya aku harus memikirkan ulang tentang masa depan yang kamu maksud itu." Perlahan aku mendorong tubuhnya menjauh sebelum kembali menunduk.

"Maksud kamu?"

"Seperti yang tadi kamu bilang. Masa depan yang sempat kita bahas sama-sama, sepertinya sudah punya arah yang berbeda. Kamu dengan segala arahan orang tua kamu, dan aku dengan segala kesulitan keluargaku. Sepertinya itu enggak bisa disatuin."

"Bisa, Chya. Bisa. Kita pasti bisa. Aku harus minta maaf seperti apa, sih, sama kamu? Aku cuma salah ngomong satu kali, yang sebenarnya itu bukan satu kesalahan dan kamu hakimi aku kayak gini? Egois kamu, Chya." Fai memukul stir mobilnya dan mengerang keras.

"Menikah itu bukan perkara dua orang, Fai! Aku juga akan menjadi bagian dari keluarga kamu, begitu juga kamu akan menjadi bagian dari keluarga aku. Kalau mereka enggak bisa disatuin, gimana ke depannya?"

"Bisa enggak, sih, kamu enggak sebut keluarga-keluarga terus? Kita bahas dulu tentang kita. Kita, Chysara. Bukan keluargaku atau juga keluarga kamu!"

"Lalu kamu maunya bagaimana, Fai? Aku berhenti dari pekerjaan aku begitu? Aku enggak bisa. Aku butuh pekerjaan itu dengan atau tanpa keluargaku. Karena aku enggak mau bergantung sama kamu meski kita sudah menikah nantinya."

"Aku enggak pernah mempermasalahkan jika kamu bergantung sama aku, Chya. Jika kita menikah nanti, kamu memang akan menjadi tanggung jawabku. Sudah sewajarnya kamu bergantung sama aku. Bukan sama bos kamu!"

"Ya aku juga enggak akan bergantung sama bosku. Aku hanya akan bergantung pada diriku sendiri."

"Lalu? Kamu mau buktikan sama aku kalau kamu hebat? Kamu enggak butuh aku lagi begitu?" Fai mendecih kemudian menyugar rambutnya.

Aku hanya bisa menggeleng mendengar ucapan yang keluar dari bibirnya. Dari sekian masalah yang kami hadapi sebelumnya, baru kali ini Fai terlihat berbeda dari Fai yang aku kenal. Ke mana Fai yang dulu?

Aku memilih membuka pintu mobil dan keluar dari mobil Fai dan berjalan menjauh. Awalnya aku pikir Fai akan keluar dan mengejarku, tetapi pria itu justru meninggalkan aku begitu saja di jalan pada pukul setengah sepuluh malam di bawah jalan layang MRT Lebak Bulus.

Aku hanya bisa meremat baju di bagian dada untuk menahan rasa sesak yang bercokol sejak pertengkaranku dengan Fai sebelum memesan ojek online untuk meneruskan perjalanan pulang.

Tenang-tenang Fai sama Chya enggak putus kok. Mereka cuma berantem aja :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top