bab sebelas


Nyala monitor yang menampilkan engagement rate dan indikator KPI lain yang dibawakan oleh Pak Rion sudah mulai redup. Pria itu lekas berterima kasih atas pencapaian ROI dan volume sales yang meningkat.

"Untuk bagian operasional. Jangan lupa untuk terus memantau indikator net sales, gross margin, dan lifetime customer value, ya? Kalau perlu minta tim marketing untuk membuka data customer loyal dari data member aplikasi. Dengan begitu kita bisa memberikan penawaran dengan target yang lebih terukur."

"Baik, Pak." Beberapa tim operasional menjawab lugas.

Pak Rion mengangguk samar sebelum membereskan beberapa lembar kertas yang ada di depannya. Sama dengan karyawan lain, aku juga ikut merapikan laptop serta berkas yang tadi dibuka saat meeting. Mencoba menghindari tatapan yang sejak dimulainya meeting siang ini menghunus ke arahku. Jika saja bukan CEO, sudah dipastikan aku akan mencolok kedua matanya.

"Oiyaa ... Untuk acara festival yang akan kita ikuti bagaimana? Progresnya sudah berapa persen? Tim mana yang akan berpartisipasi?" tanya Pak Rion sebelum kami berdiri.

Beberapa karyawan yang sudah berdiri memutuskan untuk kembali ke kursinya dengan gerakan pelan agar tidak mengganggu pemikiran Pak Rion. Runi yang duduk di sampingku menyodorkan tangannya, menunjukkan bahwa ini sudah jam setengah satu siang sebelum ia mengusap pelan perutnya.

"Tim marketing satu dibantu sama outlet terdekat di sana, Pak." Bu Tami menjawab.

"Apa ada kendala untuk persiapannya? Karena biasanya festival akan menjadi lumbung sales, saya ingin itu dipersiapkan secara matang untuk menutupi hutang sales tahun ini. Kalau perlu saya akan meluangkan waktu untuk turun ...."

"Biar gue aja, Ri."

Ucapan Kara menghentikan perkataan Pak Rion yang akan membantu kami mempersiapkan acara festival. Sesaat Pak Rion diam, menatap Kara dan Mas Agastya secara bergantian. "Enggak. Acara festival itu capek. Lagi pula tempatnya terlalu jauh dari Jakarta. Biar gue aja."

"Kerjaan lo udah banyak, Ri. Lagi pula ada Agas yang bisa bantu gue urus semuanya nanti kalau gue repot. Tim marketing juga ada di sana." Kara berusaha membujuk Pak Rion.

"Enggak."

Aku mengembuskan napas mendengar putusan Pak Rion. Jujur saja, aku mungkin akan merasa tidak nyaman jika bekerja dalam pengawasan Kara. Sejak ia bertanya apakah aku pernah mengenalnya sebelum ini, aku merasa Kara seperti memperhatikanku. Contohnya pada meeting saat ini. Matanya selalu terfokus ke arahku hingga aku merasa seperti diawasi.

"Biarin Pak Kara handle acara festival itu, Pak. Saya akan tanggung jawab kalau ada apa-apa." Mas Agas akhirnya membuka suara.

Mas Agas adalah satu-satunya orang yang membuatku bingung dengan posisinya di kantor. Jabatan Kara lebih tinggi dari Pak Rion, tetapi kenapa laki-laki itu jelas lebih menghormati Pak Rion dibanding Kara? Sudah begitu, Pak Rion menyetujui ucapannya dengan sebuah anggukan langsung disaat ia dua kali menolak permintaan Kara.

"Baik. Kalau begitu Dhiwangkara yang akan membantu kalian menyiapkan acara festival di Tanjung Lesung. Jika ada yang kalian perlukan, kalian bisa minta Agas mengurusnya," ucap Pak Rion yang langsung direspons dengan anggukan oleh Bu Tami.

Aku berdecak karena Pak Rion mengubah keputusannya. Jika begitu, sudah bisa dipastikan aku akan lebih sering melihatnya nanti.

"Kalau begitu kalian bisa keluar." Ucapan Pak Rion langsung disambut dengan gerakan cepat oleh beberapa karyawan. Beberapa hampir bertubrukan keluar dari ruang meeting karena takut Pak Rion akan kembali mengeluarkan suara.

Runi, Ami, dan Eza langsung menarikku keluar dari ruang meeting. Meninggalkan Mas Joni dan Bu Tami bersama Pak Rion dan Kara.

"Gue mau makan nasi goreng bebek cabe ijo, siomay, sama iced lemonade! Sumpah laper banget udah hampir jam satu baru keluar kita." Runi berkacak pinggang setelah sejak tadi ia memegangi perutnya.

"Ish! Lama antrinya. Mending all you can eat aja yuk." Eza mengusulkan.

"Emang waktunya cukup? Cuma tinggal lima belas menit lagi mendingan beli jajan di Lawson terus makan di atas." Ami ikut memberikan usul.

Aku, Eza, dan Runi kompak mengeluh lalu mengangguk sebelum mengikuti arah Ami menuju minimarket yang ada di dalam kawasan kantor.

"Chya, tadi waktu meeting lo perhatiin enggak kalau Pak Kara fokus banget ngeliatin lo? Jangan-jangan dia naksir balik ke elo." Ami menoleh saat kami memasuki minimarket dan menyusuri lorong rak chiki.

"Naksir balik?" Aku membeo.

"Elo bukannya naksir sama Pak Kara?" tanyanya kemudian.

"Lo naksir Pak Kara, Chya?" tanya Eza yang berdiri paling depan. Ia sampai berbalik untuk menatapku yang ada di belakangnya.

"Enggak!" Aku mengelak.

"Waktu itu lo ngeliatin dia sampe kayak orang oon. Sekarang dia balik ngeliatin lo tuh." Runi ikut menyahut seraya menahan tawanya.

"Eeh udah dibilangin bukan itu maksud gue. Trus kayaknya dia tadi ngeliatin karena masih dendam deh. Semalam gue enggak sengaja numpahin kopi yang dia bawa pas kita tabrakan di depan lift." Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi agar teman satu timku tidak salah paham.

"Yeuuu ... kirain bakal ada kisah romance antara bos sama karyawan di tim kita. Kali aja kita kecipratan untung bonus gitu." Tawa Eza meledak diakhir kalimatnya. Aku hanya bisa menggeleng melihat Ami juga Runi ikut tertawa karena ucapan Eza.

"Tapi ada yang gue penasaran deh. Soal Pak Agastya, dia tuh posisinya di kantor gimana deh. Katanya dia asisten Pak Kara, tapi kenapa gue ngerasa dia tuh sikapnya agak aneh, ya?" Aku sulit mendefinisikan tentang sikap Mas Agas pada Kara. Dibanding asisten, laki-laki itu lebih sering bersikap seperti seorang kakak bagi Kara.

"Mas Agas? Jangan panggil dia Pak, dia enggak suka. Dia tuh, orang kepercayaan Pak Dwi Aji, ayahnya Pak Kara. Yang kita pernah dengar dari Mas Agas, sih. Sebelum kerja sama Pak Dwi Aji, Mas Agas itu pernah nyelametin Pak Kara gitu dari kecelakaan. Makanya keluarga Pak Dwi Aji itu kayak punya hutang budi sama Mas Agas." Runi menjelaskan.

"Pak Kara pernah kecelakaan?" tanya Ami.

Pertanyaan itu juga hampir terlontar dari bibirku, tetapi lidahku terasa begitu kelu mendengar berita kecelakaan itu sehingga tidak mampu mengucapkan apa pun.

"Pernah. Kalian pasti sering, 'kan, ngerasa kalau Pak Kara itu terlalu di-protect sama Pak Rion? Pak Kara enggak boleh tahu ini, Pak Kara enggak boleh bantu project ini. Itu yaa karena kondisinya belum stabil seratus persen. Makanya Mas Agas selalu ada di samping Pak Kara." Eza ikut menjelaskan.

"Sampe segitunya. Memang kecelakaannya parah? Kapan emang kejadiannya?" Ami menjadi lebih penasaran lagi.

"Kalau tepatnya kapan, sih, gue enggak tahu. Yang jelas katanya, Pak Kara sempat setahun dirawat di rumah sakit," tutur Eza.

"Setahun?" Suaraku refleks mengeras. Aku menundukkan kepala saat sadar beberapa orang menatap ke arah kami.

"Iya. Katanya, Pak Dwi Aji kacau banget waktu itu. Makanya dia selalu menganggap Mas Agas itu kayak penyelamat hidupnya lantaran sudah menyelamatkan Pak Kara. Karena itu, sebetulnya Mas Agas itu bukan asisten Pak Kara, tapi asisten Pak Dwi Aji. Makanya Pak Rion selalu nurut sama ucapan Mas Agas, karena dia yang akan tanggung jawab perihal segala hal tentang Pak Kara." Runi menjeda ucapannya dan menenggak teh kotak. "Dan Pak Rion juga salah satu orang yang dipercaya untuk ngejagain Pak Kara dari hal apapun, makanya dia selalu bisa ngelarang Pak Kara ngelakuin hal apa pun yang sekiranya ngebahayain kesehatannya Pak Kara."

Aku tercenung mendengar penuturan yang disampaikan Eza juga Runi. Apa itu sebabnya Kara melupakan bahwa kami pernah kenal? Karena terlalu sibuk dengan urusan penyembuhan yang selama ini dia jalani? Kalau seperti itu, bukankah memang sebaiknya aku tidak lagi membebaninya? Iya. Mungkin menganggap apa yang pernah terjadi tidak pernah betul-betul terjadi adalah hal yang paling benar untuk Kara saat ini.

Ketika akan kembali memasuki area kantor, aku menghentikan langkah saat mendengar bunyi ponselku. Nama Fai tertera di depan layar.

"Kalian duluan aja, ya. Gue angkat telepon dulu."

Yang lain kompak mengangguk sebelum berjalan melewati pintu kaca dan meninggalkanku. Aku menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih ke telinga.

"Aku di depan kantor kamu. Ada yang mau aku bicarain."

Aku menoleh ke beberapa arah, mencari keberadaan mobil Fai dan berhenti di satu titik dimana terdapat sebuah mobil Fortuner hitam terparkir di dekat lobby.

"Aku telepon kamu dari tadi, Chya. Ada hal yang perlu aku bicarain sama kamu." Fai meraih tanganku yang langsung kutolak pelan.

"Kita bicara nanti aja. Jam makan siang aku hari ini mepet banget. Maaf, ya." Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul satu kurang sepuluh menit. Aku tidak ingin masalahku dengan Fai merambat hingga mendapat teguran dari Pak Rion.

"Kamu sengaja mau menghindar dari aku? Cuma karena masalah semalam? Aku pikir kita sudah sama-sama dewasa, Chya."

"Bukan itu maksudku, Fai. Cuma aku sudah dapat teguran semalam dari Pak Rion. Aku enggak mau dapat teguran lagi karena terlambat masuk setelah makan siang. Kita bicara sore aja, ya. Sekarang lebih baik kamu balik ke kantor kamu." Aku mencoba membujuk Fai.

"Itu alasan kamu aja, 'kan? Jujur aja deh, Chya. Aku telepon kamu dari jam sebelas kamu enggak angkat. Pas kamu angkat sekarang kamu buru-buru? Itu alasan kamu aja, 'kan, biar aku ngerasa bersalah terus menerus."

"Tadi aku meeting sampai hampir jam satu, Fai. Pleaseee ... percaya sama aku."

"Aku capek, Chya. Harus ngalah terus sama kamu! Aku harus selalu ngertiin kamu, tapi kamu apa? Enggak pernah kamu berusaha ngertiin aku?"

"Fai, kita bicara kalau kamu udah enggak emosi, ya? Sekarang lebih baik kamu dinginin kepala kamu."

Aku berusaha meraih tangan Fai. Namun, pria itu justru menyentaknya keras hingga aku mundur beberapa langkah dari posisi hingga membentur seseorang yang lewat di belakangku.

"Ada apa ini? Siapa kamu?" tanya Mas Agas yang berada tepat di samping Kara yang menahanku agar tidak jatuh.

Fai tidak menjawab. Kara membantuku menyeimbangkan diri kemudian tersenyum. Aku sedikit was-was dengan keberadaan Kara di sini karena Fai tahu tentangnya empat tahun lalu.

"Harusnya gue yang tanya. Siapa lo?" balas Fai pada Mas Agas.

Mas Agas seperti orang yang tersulut emosi, dia maju beberapa langkah guna menghampiri Fai dengan wajah yang mengeras sebelum ditahan oleh Kara.

Aku berusaha mencegah Kara bersitatap dengan Fai, tetapi pria itu justru tersenyum ke arah Fai dan mengulurkan tangan. "Saya Dhiwangkara, CEO perusahaan ini. Dan perempuan itu, adalah karyawan yang harus saya jaga."

Aku memejamkan mata erat ketika Kara menyebutkan namanya. Fai tertawa remeh, kemudian menggeleng pelan.

"Jadi ini alasan kamu cari-cari kesalahan aku? Karena Dhiwangkara sudah kembali ke hidup kamu. Gitu, Chya?"

Aku menggeleng, mencoba mendekati Fai untuk menjelaskan lebih lanjut. Namun, Fai menepis keras tanganku hingga aku kembali hampir terjatuh jika saja Mas Agas tidak menahan tubuhku.

"Enggak usah kasar sama perempuan!"

Fai berlalu begitu saja tanpa menjawab ucapan Mas Agas, sementara Kara hanya mematung setelah mendengar ucapan Fai tadi.

"Maaf, Mas. Aku benar-benar minta maaf sama Mas Agas dan Pak Kara." Aku menunduk beberapa kali sebelum secepat kilat memutar badan dan berlari menjauh dari Kara juga Mas Agas.

Semoga saja Kara tidak sadar dengan apa yang diucapkan oleh Fai tentangnya.

Dhiwangkara tuh, kenalin dirinya nggak lihat situasi banget sumpeeeh ...
Tapi di bab ini Chya belum tahu kalau Kara kecelakaan waktu mau nemuin dia di Jogja dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top