Bab lima puluh

"Semoga Kak Chysara sama bayinya sehat-sehat, ya," ujar Grizelle sembari memelukku saat kami menandakan perpisahan untuk masa cuti yang sudah harus aku ambil.

"Jangan khawatir soal kita, Kak. Aku bakal berusaha semampu aku untuk ngebantu Pak Agas ngerjain semuanya."

Aku tertawa pelan saat Grizelle mengepalkan tangan sebagai tanda kesungguhan ucapannya kemudian menoleh ke arah Bu Tami juga Pak Heri yang berdiri di samping Grizelle. "Saya titip pekerjaan yang belum selesai, ya. Mungkin sesekali nanti Kara akan kembali urus perusahaan."

"Pak Rion ...."

Aku menggeleng seraya tersenyum kecut ke arah Bu Tami yang urung melanjutkan kalimatnya.

Sejak kepulangan dari Bogor, aku sempat berharap Rion akan datang untuk kembali menempati posisinya. Aku meminta Pak Heri dan Bu Tami membantu menyiapkan segala laporan yang belum Rion sentuh selama hampir delapan bulan terakhir, mereka terlihat antusias. Meski ditakuti, aku tahu Rion adalah sosok pemimpin yang berhasil mengambil kepercayaan semua pegawai. Namun, hingga saat ini bahkan tidak ada tanda-tanda pria itu akan datang walau hanya sekadar melihat perkembangan CoffeTalks.

"Berhenti ngomongin cowok judes itu. Aku yakin, kok, kalau Pak Agastya bisa jadi lebih baik dari dia kalau punya pengalaman yang lebih lama lagi. Tunggu aja."

Aku kembali tertawa mendengar ucapan Grizelle. Entah apa yang ada dipikiran gadis berusia 25 tahun itu, sehingga ia terdengar begitu membenci Rion sejak aku bercerita perihal hubungan di antara kami berempat.

Menurut Grizelle, Rion itu bodoh karena rela meninggalkan kedua orang tua sekaligus adik angkatnya hanya untuk bersama Eliana. Bahkan, keluarga Kailas tidak benar-benar melanjutkan apa yang pernah mereka ucapkan pada Rion tentang laporan kepolisian. Aku bahkan hampir kehabisan cara untuk menghibur Mama Kinasih saat mendapati ia diam-diam menangis sembari menatap foto Rion.

Aku pikir Eliana adalah gadis yang beruntung, karena walau pada akhirnya Kara memilihku dan meninggalkan Eliana, perempuan itu tetap tidak kehilangan orang yang sangat tulus mencintainya dan mungkin sebetulnya itulah yang ia butuhkan selama ini. Iya, bukankah Tuhan selalu memberikan apa yang kita butuhkan? Karena Dia selalu tahu apa yang terbaik untuk kita, bukan?

Sebetulnya rasa penasaran ini masih melingkupiku sejak kami pulang dari Bogor beberapa hari lalu.

Pertanyaan tentang bagaimana hubungan keduanya? Apakah Eliana dan Rion benar-benar telah bersama? Dan apa maksud Rion saat mempertanyakan keyakinanku ketika aku mengatakan akan membujuk orang tuanya menerima Eliana sebagai pendamping Rion? Aku menepuk bibirku beberapa kali kala teringat ucapanku saat itu.

Bodoh! Chysara bodoh! Kenapa juga aku berjanji sesuatu hal yang tidak ingin aku lakukan sebetulnya? Bagaimana kalau Rion menganggap ucapanku serius dan benar-benar membawa Eliana kembali ke sisi Kara?

"Jangan menilai orang lain dari katanya. Kalau kamu mau menilai saya, pastikan kamu mengenal saya dengan baik."

Aku, Grizelle, Bu Tami, dan Pak Heri kompak menoleh ke arah pintu yang terbuka setengah. Mas Agas berdiri di sana dengan kekehan pelan dari bibirnya, sementara pria yang di sampingnya justru menatap dengan roman kehilangan minat.

"Pak Rion?"

Pak Heri dan Bu Tami buru-buru berdiri dan menghampiri Rion, kemudian menjabat tangan pria yang pernah menjadi atasan mereka tersebut. Sementara Grizelle merapatkan bibirnya, tahu jika ucapan barusan untuk membalas perkataannya yang mengatai Rion sebagai 'cowok judes'.

"Pak Rion apa kabar? Sudah lama sekali dari terakhir saya melihat Pak Rion di kantor," ujar Pak Heri. Pria berusia 46 tahun yang menjabat sebagai kepala marketing tim tiga dahulu itu kini sudah menjadi manager marketing, membawahi empat kepala marketing yang lain.

"Saya baik, Pak Heri. Selamat atas kenaikan jabatannya."

Aku tersenyum ketika Rion mantap menjabat tangan Pak Heri. Lalu beralih pada Bu Tami. "Selamat juga atas promosinya, Bu Tami."

"Terima kasih, Pak." Wanita itu menyimpul senyum tipis. "Apa kedatangan Pak Rion ke sini untuk menggantikan Ibu Chysara? Kalau benar, itu berita yang sangat menggembirakan."

"Tidak."

Senyumku luntur begitu mendengar jawaban dari Rion.

"Enggak? Ri, bukannya kita sudah sepakat ...."

"Gue akan bantu untuk back up, bukan untuk menggantikan. Lo tahu gue punya tanggung jawab di Bogor. Tempat itu bukan lego, yang setelah gue bangun kemudian gue hancurin gitu aja, itu mimpi gue selama ini, Gas." Rion melepas kacamatanya. "Gue akan bantu sebisa gue. Senin sampai kamis. Jumat sampai minggu gue di Bogor. Bagaimana?"

Mas Agas terpaksa menyetujui persyaratan yang diberikan Rion meski dengan setengah hati.

Meski jarak Jakarta-Bogor tidak begitu jauh, tapi apakah Rion sanggup mengurus dua bisnis sekaligus? Terlebih, akhir pekan adalah waktu dimana restoran dengan konsep alam seperti miliknya akan mengalami lonjakan pengunjung. Lalu, apakah Rion mengambil keputusan itu agar aku beserta Kara tetap memiliki jarak dengan Eliana? Apakah ia ingin menjaga kenyamanan Eliana dengan tidak kembali menjalin hubungan dengan kami lagi?

****

"Kamu ada masalah, Chysara?"

Lamunanku buyar ketika Kara menyentuh tanganku. Rupanya, sejak perjalanan ke rumah aku hanya melamun mempertanyakan perihal keputusan Rion dan segala hal tentang Eliana.

"Aku baik," jawabku pelan sembari berusaha menyimpulkan senyum setulus mungkin pada Kara.

Kara memarkirkan mobil di sebuah minimarket dan menatapku. "Apa ada yang mengganggu pikiran kamu? Apa keputusanku membawa Rion kembali adalah keputusan yang salah untuk kamu?"

Aku menggeleng. Sulit rasanya mengungkapkan ketakutan yang aku rasakan. Di sisi lain, aku ingin Kara kembali seperti dulu dimana dia bisa bertemu dengan Rion tanpa perasaan canggung sama sekali, tapi mengingat bagaimana kerasnya Rion membela Eliana saat itu, perasaan takut muncul jika suatu saat Rion akan melakukan apapun yang Eliana katakan, termasuk memisahkanku dengan Kara.

Aku menundukkan kepala guna menghindari tatapan Kara yang mungkin akan membuatku menangis. Katakanlah aku egois, tetapi aku tidak ingin Eliana kembali ke sisi Kara.

"Chysara, hey .... Dengar aku, Chysara. Aku ada di samping kamu untuk menghadapi segala ketakutan yang kamu rasakan bersama-sama. Mungkin aku belum sepenuhnya mengingat hal tentang kita, bahkan aku terkadang lupa apa yang terjadi dua jam lalu. Tapi di sini." Kara mengarahkan tanganku pada dadanya. "Dia enggak akan pernah salah mengenali kamu."

Aku memajukan badan, menarik lengan Kara dan memeluknya. Satu tangan Kara balas memeluk dan tangan satunya membelai kepalaku dengan lembut.

"Apapun yang terjadi, kamu enggak akan mengalami ketakutan-ketakutan itu sendirian lagi, Chysara. Aku akan selalu ada bersama kamu. Kalau aku kembali melupakan kenangan kita, jangan pernah bosan untuk mengulang kenangan-kenangan itu bersama aku, Chysara."

Apa yang Kara lakukan sehingga aku sejatuh ini mencintai dia? Aku pernah merasa dicintai, tapi tidak pernah setenang dan senyaman saat bersamanya.

Aku mengurai pelukan dan menangkup wajahnya. Ia tersenyum, senyum yang bahkan sampai saat ini membuatku berterima kasih pada Mama Kinasih karena sudah melahirkan Kara untukku.

Aku mengecup singkat bibirnya. "Jangan pernah bosan mengulang semua kebiasaan kita, ya? Jangan diingat, tapi jadikan kebiasaan. Jadi jika suatu hari nanti kepala kamu melupakan semuanya, anggota tubuh kamu yang lain mengingat semuanya dengan kebiasaan-kebiasaan itu."

Kara mengangguk untuk menjawab permintaanku padanya. Aku kembali tersenyum dan memutuskan untuk kembali meneruskan perjalanan ke rumah keluarga besar Kailas.

Kara memberi kabar pada kedua orang tuanya bahwa Rion akan kembali memimpin CoffeTalks. Mereka berdua terdengar antusias dan meminta Kara membujuk Rion pulang ke rumah untuk makan bersama.

Kemungkinan Rion akan membawa Eliana sangat besar, Kara bahkan memperingatkan kedua orang tuanya agar menerima Eliana jika Rion membawa wanita itu. Namun, kegugupan kami semua hilang ketika Rion datang seorang diri ke rumah.

Mama Kinasih menjadi orang pertama yang menghambur ke pelukan Rion. Isak tangis keduanya terdengar saat mereka saling mengucapkan kata maaf. Setelahnya Rion menghampiri Papa Aji, berlutut di hadapannya yang segera ditahan sebelum mendapat pelukan erat.

"Jangan ungkit masa lalu. Kamu sudah pulang, itu yang terpenting saat ini."

Aku dan Kara ikut tersenyum mendengar ucapan Papa pada Rion.

Saat makan malam, Rion bahkan mengeluh ketika Mama dan Papa tidak berhenti untuk mengambilkan lauk untuknya. Aku tertawa, atasan yang pernah aku takuti setengah mati itu ternyata punya sisi lemah di hadapan orang lain juga.

"Ohh ya? Bagaimana Eliana? Apa hubungan kalian sudah jelas sekarang?" tanya Mama yang mulai penasaran akan hubungan keduanya.

Rion seketika menghentikan makannya saat nama Eliana disebut. Ia meletakkan sendok dan mengambil gelas untuk melegakan tenggorokan.

"Aku sudah kenyang."

"Arion, maaf, Mama cuma ...."

"Arion enggak apa-apa, Ma."

Rion lantas berdiri dan berjalan ke arah dapur. Ia menyapa dua asisten rumah tangga yang sudah sepuh dan memeluk mereka untuk melepas rasa rindu.

Melihat raut wajah Mama aku jadi tidak tega. Ia terlalu merindukan Rion sehingga antusias bertanya perihal yang mungkin saja Rion sukai. Namun, di antara kami memang tidak ada yang dapat mengerti apa yang dipikirkannya sehingga ia terlalu menjadi misteri bagi kami.

Aku menghela napas, sebelum memberanikan diri memutuskan untuk mengajak Mama Kinasih berbicara berdua dengan Rion.

"Pak," panggilku pada Rion yang tengah berbicara dengan penjaga yang sedang makan di belakang.

Ia menoleh.

"Aku mau bicara sama bapak boleh?"

Ia mengangguk dan mengikutiku sampai di gazebo kayu di samping kolam. Di sana, sudah ada Mama yang menunggu Rion dengan takut-takut. Mungkin Mama takut kembali menyinggung Rion?

"Ada apa, Ma?" tanya Rion yang melihat kegelisahan di wajah Mama Kinasih.

"Mama salah bicara ya, Nak?"

"Soal?"

"Eliana?" Mama terdengar ragu.

Ternyata, sikap intimidasi Rion bukan hanya dirasakan para karyawan, tetapi semua orang yang ada di sampingnya. Aku jadi membayangkan bagaimana kehidupan Rion bersama Eliana jika mereka menikah. Apakah Eliana akan mendapat setidaknya satu kali sikap intimidasi itu?

"Kenapa Mama tanya soal Eliana?" tanya Rion. Dan, aku hampir saja mengutuk mulutnya yang berani mempertanyakan kembali pertanyaan orang tuanya.

"Mama cuma ...."

"Mama cuma mau mastiin aku sama Eliana bersama atau tidak? Apa Mama pikir, aku akan bisa bahagia bersama perempuan yang sudah menyakiti Kara? Apa Mama pikir, aku akan hidup tenang bersama perempuan yang sudah menyakiti Mama dan Papa?"

Apa maksudnya? Apa dari pertanyaan itu aku bisa menyimpulkan bahwa Rion tidak bersama dengan Eliana? Keterdiaman Rion diam-diam membuatku penasaran.

Rion mengembuskan napas panjang sebelum mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya dan memberikannya pada Mama.

"Mama ingat ini? Ini adalah foto aku, Kara, dan Eliana saat acara di panti dulu. Sejak acara amal yang kalian adakan, kami bertiga jadi sahabat baik. Saat itu, aku berjanji sama Eliana juga Kara untuk menjaga mereka karena aku lebih tua. Aku tahu bagaimana kerasnya Om Rudi terhadap Eliana, seandainya aja laporan itu kalian teruskan, Eliana mungkin juga akan kehilangan orang tuanya, Mah. Itu yang enggak aku mau."

Ternyata, ada sejarah panjang tentang bagaimana sikap Rion selama ini pada Eliana. Rion yang membela Eliana selama ini, memiliki ikatan yang memang sudah terjalin sejak lama.

"Waktu Kara dirawat, aku kembali ketemu sama Arditto. Dia yang jelasin segalanya tentang Om Rudi yang nggak setuju hubungannya dengan Eliana. Arditto cerita, Eliana kacau saat itu, aku cuma nggak mau dia terus-terusan ditekan sama kedua orang tuanya, Mah. Kalau Eliana yang bertanggung jawab semuanya, dia akan kehilangan segalanya, Mah. Beda sama aku, sejak awal aku memang nggak punya apa-apa sebagai anak panti."

Rion terkekeh sebelum akhirnya dipeluk erat oleh Mama Kinasih yang menangis sesenggukan. Selama ini, kami berpikir Rion pergi dan bahagia bersama Eliana, tetapi kenyataannya dia melewati semuanya sendirian selama ini? Aku bahkan tidak dapat membayangkan bagaimana sepi hidupnya selama ini.

"Sekarang janjiku sama Eliana sudah selesai, aku nggak punya hutang janji apa-apa lagi sama dia. Dan, untuk menebus hutangku sama Kara, aku akan menggantikan dia selama dia butuh aku di CoffeTalks. Sampai Chysara melahirkan dan bisa kembali ke kantor, 'kan?"

"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kamu nggak punya hutang sama siapapun. Apalagi sama Kara. Hidup kamu, milik kamu sendiri."

Kami menoleh saat Papa berjalan menghampiri Rion dan memeluknya juga bersama Mama. Kara berjalan di belakang, ia memilih memelukku untuk memberi waktu pada Rion menumpahkan segalanya.

"Gue nggak pernah mikir apa yang lo ucap itu sebagai hutang, Ri. Itu bentuk tanggung jawab, tanggung jawab lo sebagai kakak ke gue, adek lo." Kara ikut bersuara.

"Kar ...."

"Gue mau lo balik kayak dulu, Ri. Tanpa ada rasa tanggung jawab hutang tentunya. Pleaseee ... kita semua cuma berharap lo ada di sisi kita. Dibutuhkan atau nggak dibutuhkan, lo tetap Rion. Kakak gue."

Rion berdiri dan memeluk Kara dengan erat. Ada tawa di sela tangis yang mereka suarakan yang mau tidak mau membuatku juga ikut tersenyum melihat mereka kembali bersama.

Ada rasa hangat malam ini melihat kembalinya Rion ke dalam rumah. Ternyata, Kara sama sekali tidak kehilangan sosok Rion. Pria itu pergi justru untuk memastikan bahwa Eliana tidak pernah kembali ke hadapan Kara.

Rion, punya caranya sendiri dalam melindungi Kara.

Dan, yang terpenting saat ini adalah segala ketakutanku akan kembalinya Rion jelas tidak akan terealisasikan karena pria itu memutuskan untuk tidak bersama Eliana.

Mungkin ini terlalu terlambat untuk aku publish part terakhir. Tapi, percayalah kalau cerita yang baik itu katanya cerita yang selesai. Jadi aku tetap selesaikan ini meski terlambat 😫😫

Sebetulnya aku sedikit nggak rela akhirnya Rion harus kehilangan Eliana, tapi Rion bilang dia lebih pilih Kara dibanding Eliana, jadi dia rela jomlo sampai tamat :)

Diakhir aku mau ucapin terima kasih buat kalian yang pernah sengaja atau nggak sengaja mampir dan meluangkan waktu untuk kisah Chysara dan Dhiwangkara semoga terhibur 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top