bab lima belas
"Kalau kamu diminta Agas untuk bujuk saya lebih baik kamu pergi."
Itu yang diucapkan Kara sesaat setelah aku memasuki ruangannya. Dengan izin Mas Agas, aku bisa masuk tanpa mengetuk pintu dan mendapati Kara tengah duduk dengan kaki berselonjor di atas sofa tempatnya menerima tamu.
"Katanya bapak mau ke bagian marketing tim tiga? Saya sudah siap, bapak mau begitu saja?"
"Kamu enggak dengar tadi Agas larang saya pergi?" Ucapan Kara sarat akan rasa marah yang begitu kentara.
"Kok Mas Agas ngelarang? Orang tadi Mas Agas bilang dia mau izin pulang, kayaknya dia mau ada janji sama cewek deh, Pak."
Kara menatapku dengan mata yang memicing. "Ngaco kamu! Agas mana punya pacar!"
"Punya. Tapi selama ini sungkan sama bapak, karena Pak Kara, 'kan, takut Mas Agas enggak profesional lagi nanti. Makanya ayo, Pak. Bapak mau saya lembur memangnya? Lemburan saya double kalau bapak yang suruh, ya."
"Perhitungan banget kamu."
Aku dengar Kara menggerutu tetapi tetap bergerak merapikan kemejanya yang kusut karena berbaring di sofa. Ia sempat menyugar rambut hingga sebuah garis melintang terlihat jelas di bagian pelipis paling atas. Sesaat aku tertegun melihat bekas luka sebesar itu, membayangkan rasa sakit yang ia rasakan pada saat kecelakaan.
"Kamu kenapa bengong, Chysa?"
"Ehh? Enggak, Pak." Aku menggeleng dengan memasang senyum senatural mungkin. "Tapi, yang lain panggil saya dengan sebutan Chya loh, Pak. Bapak enggak mau samaan aja gitu sama yang lain?"
Aku mencoba mencairkan suasana agar mood Kara kembali bagus. Di tengah perjalanan, kami sempat berpapasan dengan Pak Rion yang mengerutkan kening melihatku jalan bersama Kara dan Mas Agas yang menatapku dengan mata memicing seolah memberikan ancaman jika terjadi sesuatu pada Kara, dia akan memberiku perhitungan.
"Saya enggak suka nama kamu diubah-ubah. Kamu tahu, nama kamu itu bagus. Cocok untuk kamu."
Dulu, Kara juga pernah mengatakan hal itu padaku saat kami makan di warung mangut lele. Aku bahkan datang ditahun berikutnya, berharap kembali bertemu dengannya secara tidak sengaja. Namun, itu hanya menjadi harapan yang tidak akan pernah terjadi.
Karena disinilah kami sekarang. Menjalin hubungan berdasarkan kontrak kerja, dengan aku yang selalu berusaha untuk melupakan cerita empat tahun lalu dan Kara yang menganggap segalanya tidak pernah ada.
"Chysa? Are you okay?"
Aku mengangguk kaku sembari tersenyum ke arahnya. Kara menggelengkan kepala, satu tangannya melihat tablet sementara yang lainnya dimasukkan ke dalam saku celana. "Sepertinya melamun itu hobi kamu, ya?"
"Melamun itu enak loh, Pak."
"Buang-buang waktu saja," cetusnya sesaat sebelum kami memasuki lift dan kembali ke lantai empat.
Bicara masalah pekerjaan dengan Kara sangat jauh berbeda dengan Pak Rion. Jika biasanya kami hanya diam sampai Pak Rion menyelesaikan ucapannya dan menjawab segala pertanyaan dengan kalimat seefektif mungkin, dengan Kara tim tiga marketing terlihat lebih santai. Sesekali mereka berdecak karena candaan salah satu dari mereka kemudian menggoda Kara dengan kalimat pujian.
"Chysa, selain event bulan depan, tim satu sekarang sedang sibuk apa?" tanya Kara saat menyeruput es kopi yang dibeli salah satu karyawan tim tiga.
"Lagi selesaiin laporan ROI untuk menentukan budget bulan depan, sama buat e-mail blasting, Pak. Saya juga lagi pelajari bentuk-bentuk iklan yang sebelumnya digunakan CoffeTalks terdahulu, Pak."
"Lalu menurut kamu kesimpulan apa yang bisa kamu tarik dari semua iklan dan promosi yang sudah kita buat?" Kara mengalihkan perhatiannya padaku, ia duduk menyilangkan kaki dengan tangan yang menumpu pipi, menghadapku.
"Seperti yang tadi bapak bilang di ruang marketing tim satu. CoffeTalks hadir untuk menjadi teman bicara bagi siapapun, saya pikir itu karena harga yang relatif murah, jadi bisa menjangkau masyarakat lebih luas lagi. CoffeTalks juga punya banyak gerai, jadi lebih mudah untuk dijangkau."
Aku lihat Kara tersenyum tipis, kepalanya mengangguk samar kemudian memberikan tepukan tangan ringan padaku. "Saya ingin Chick'nTime tumbuh seperti itu dibenak konsumen. Bagaimana dengan kamu?"
"Saya juga, Pak," jawabku.
Masih mempertahankan senyumnya, Kara mengulurkan tangan, dan butuh beberapa detik untukku menerima jabatannya. Ada perasaan hangat yang menjalar ketika telapak tanganku bersentuhan dengan Kara. Seperti sebuah dorongan agar membalas senyumnya.
Sama seperti empat tahun yang lalu, senyumnya selalu membuat hatiku menghangat.
****
[ Mas Agas : Jam empat gue back up Kara ketemu pihak supplier sama Rion. Mobil jemputannya udah di lobi, nanti tolong ingetin dia buat langsung balik. ]
Aku memberikan stiker berbentuk jempol sebagai tanda persetujuan melalu pesan singkat yang dikirim Mas Agas ke ponselku.
Percakapan dengan tim tiga menjadi lebih lama karena obrolan berlanjut hingga tanya jawab ringan perihal konsep franchise yang selama ini diusung oleh CoffeTalks. Begitu pula denganku, yang banyak mendapat masukan dari para senior di tim tiga juga Kara tentang trend IT juga aplikasi yang sedang berkembang.
Kara mengangguk saat aku mengingatkannya perihal jam pulang. Dia menurut tanpa mendebat ucapanku kemudian mengajakku untuk turun bersama ke lobi.
"Pak Kara enggak ambil tas dulu ke atas?" tanyaku saat ia justru masuk ke ruangan tim satu, mengikutiku yang mengambil tas dan membereskan barang.
"Buat apa? Besok juga saya bawa lagi." Kara mengedikkan bahunya tak acuh. "Kamu sudah bilang sama Agas kalau saya pulang sekarang?"
"Ehh?"
"Saya tahu Agas pasti kirim pesan ke kamu supaya memastikan saya pulang tepat waktu, 'kan?"
Aku menyengir dengan menampilkan deretan gigi di depan Kara. Ia ikut tertawa, kemudian mengajakku ke turun ke lobi agar dapat memastikan dia benar-benar masuk ke dalam mobil.
Setibanya di lobi utama, langkahku tiba-tiba terhenti saat Kara menghalangi jalanku dengan merentangkan tangan tepat di depanku. Aku sempat mendengar decakan sebal dari bibirnya sebelum memutar badan dan menarik tanganku menuju pintu lobi sebelah timur.
"Kamu bisa telepon Agas untuk pindahin mobilnya ke belakang enggak? Handphone saya lowbat."
Aku harus sedikit berlari untuk menyeimbangkan kecepatannya ketika Kara menyeretku menjauh dari lobi utama.
"I-iyaa tapi kenapa, Pak?" Aku berusaha melepaskan cekalannya.
"Aduuuh diem dulu, Chysa." Bukannya menjelaskan, Kara justru mempercepat langkahnya. Tidak peduli dengan tatapan karyawan yang dilewatinya.
Aku berhasil melepaskan pegangan Kara dari pergelangan tanganku saat kami melewati pintu kaca lobi timur. Aku menumpu tangan pada lutut sambil terengah-engah.
"Bapak apa-apaan, sih, Pak?" Aku mengeraskan suara.
Sejujurnya aku curiga jika sebenarnya Kara tidak lupa padaku, ia hanya berpura-pura tidak mengenalku dan ingin mengerjaiku seperti sekarang ini.
"Maaf, Chysara. Saya enggak sengaja seret kamu ke sini. Sekarang, bisa kamu minta Agas suruh supir saya ke sini?"
Aku dengar Kara terbatuk beberapa kali sembari berusaha bicara. Aku mencebik pelan, berbalik kemudian mengambil handphone di dalam tas untuk menuruti permintaan Kara sebelum aku merasakan dorongan yang begitu kuat dari belakang.
"Fai!"
Aku berseru saat melihat Fai tengah mengepalkan tangan dan berusaha memukul Kara yang sudah jatuh karena pukulan pertamanya.
"Kamu apa-apaan, sih, Fai!" Aku berusaha menjauhkan Fai dari Kara yang tersungkur. Akan tetapi, Fai tidak mempedulikanku dan menghampiri Kara kemudian memukul wajahnya hingga ia membentur pilar.
Dua orang security sigap mendekat, mengamankan Fai serta membantu Kara berdiri setelah jatuh dua kali. Aku mencoba menenangkan Fai dari amarahnya.
"Chysara, lebih baik kamu bawa dia menjauh dari sini."
Aku meringis ketika melihat Kara kembali tumbang setelah dibantu satu orang security untuk berdiri.
"Biar kami bawa dia ke kepolisian, Pak." Salah satu security yang mengunci tangan Fai berucap mantap.
"Enggak perlu, Pak. Ini cuma salah paham. Lebih baik kalian bantu saya pulang." Kara sempat meringis pelan saat menyeka cairan merah di sudut bibirnya.
"Tapi, Pak ...."
"Lebih baik kamu bawa dia pulang, Chysa. Jangan katakan apapun pada Agas soal kejadian ini." Ringisan belum juga hilang dari wajah Kara.
Aku melirik pada pelipis Kara yang sempat terbentur pilar. Ada bekas kemerahan yang cukup besar disana. Entah dari mana datangnya, rasa khawatir serta takut menjalar ke relung hatiku ketika melihat bekas luka itu.
Aku belum sempat bicara apa-apa saat Kara dibantu security yang tadi mencekal Fai kembali masuk. Tetapi sekarang, aku punya banyak hal yang perlu aku luruskan dengan lelaki yang kini masih mengepalkan tangan melihat kepergian Kara.
"Kamu itu kenapa, sih, Fai? Kesurupan?" tanyaku saat kami berada di dalam mobil Fai. "Dia itu atasan aku. Kamu aku dipecat?"
"Enggak usah ngalihin pembicaraan, Chya. Jawab aku, dia yang bikin kamu menjauh dari aku belakangan ini?"
Rahang Fai masih mengeras. Guratan hijau tercetak jelas di tangannya yang memegang setir dengan kuat.
"Fai, ini bukan soal Pak Kara, tapi soal kita. Pak Kara enggak ada hubungannya sama sekali soal ini." Aku menghela napas panjang. Lelah dibadanku rasanya dua kali lebih terasa ketika berbicara dengan Fai.
Belakangan, komunikasi dengan Fairuz memang sulit untuk menemukan titik damai. Fai yang terus memaksakan hubungan kami membuat aku berada pada posisi serba salah di hadapan orang tuanya. Terlebih, aku dan Fairuz sama-sama berada di posisi menjadi tulang punggung bagi keluarga. Oleh karena itu, kami harus mencari jalan paling solutif bagi hubungan ini. Namun, masalah yang terjadi membuat komunikasi yang terjadi di antara kami menjadi terasa getir.
Mobil Fai terpaksa berhenti di bundaran Patung Pemuda karena lampu merah.
"Aku susah-susah bujuk orang tua aku supaya mereka mau terima kamu dan keluarga kamu, Chya. Tapi apa? Kamu malah selingkuh sama dia! Apa dia lebih kaya? Ohh ... tentu aja, dia bos di perusahaan itu. Mungkin aku enggak cukup kaya untuk kamu penuhin ambisi supaya bisa balik hidup kaya raya kayak dulu. Gitu, 'kan maksud kamu?"
Hatiku mencelus mendengar makian yang keluar dari bibir Fai. Apa sebegitu rendahnya aku di matanya, sehingga ia menganggap aku berselingkuh dengan Kara?
Aku mengalihkan tatapanku pada Fai ke jalan, berusaha menutupi tetesan air mata yang jatuh saat mendengar perkataannya.
"Aku udah benar-benar enggak kenal sama kamu, Fai," ucapku saat memutuskan keluar dari mobil Fai dan berjalan cepat sebelum lampu lalu lintas berubah hijau.
Sempat terjadi kebisingan dari klakson mobil lain karena mobil Fai tidak kunjung bergerak saat lampu sudah hijau, akhirnya Fai mengalah dan kembali meninggalkanku sendiri di jalan. Tidak peduli dengan pejalan kaki yang berlalu lalang, aku berjongkok, melipat tangan dan mengeraskan tangisanku.
Setelah ini, aku tidak tahu harus bagaimana menyikapi hubunganku dengan Fairuz.
Chya ini hobinya turun dari mobil kalo lagi marah :(
Fai hobinya ninggalin ceweknya di jalan kalo lagi marah :(
Emang Kara doang yang hobinya ilang empat tahun 😅😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top