Bab empatpuluh tujuh

Mas Agas mengajakku ke ruangan di mana Kara dirawat. Saat pintu terbuka, seorang wanita berbalut baju putih menoleh, tangannya yang tengah terulur mengatur kecepatan cairan infus. Aku melangkah sembari menatap Kara yang memejamkan mata dengan damai.

"Pak Dhiwangkara baru saja tidur. Dari semalam ngingau terus tidurnya." Aku mengangguk pelan mendengar penjelasan suster yang merawat Kara.

"Saya permisi dulu."

Aku kembali mengangguk saat suster tersebut pamit keluar. Aku memberanikan diri mengulurkan tangan, membelai lembut kening Kara yang menjejak bekas jahitan akibat kecelakaan empat tahun lalu. Tanpa sadar, air mataku kembali keluar mengingat perbuatan yang dilakukan Eliana pada Kara.

Jika saja aku tahu lebih cepat kenyataan ini, aku tidak akan menyakiti Kara dengan perkataan yang aku sendiri tidak akan lakukan sampai kapan pun. Aku mencintainya, aku tidak pernah menyesal mengenalnya, bahkan aku tidak pernah menyesal cintanya tumbuh di dalam rahimku saat ini.

"El ...."

Aku mendekat saat suara Kara terdengar begitu parau. Sepertinya dia kembali mengigau seperti yang dikatakan suster tadi. Aku menyeka air mata di matanya yang masih tertutup. Apa yang dia alami dalam mimpi sampai-sampai mengeluarkan air mata?

"Aku di sini, Kar." Kugenggam tangannya dengan hati-hati. Perlahan, mata Kara terbuka, ia menatapku dengan sayu, tangannya terangkat meraba wajahku.

"Chysara? Ini benar-benar kamu?"

Aku mengangguk. "Iya. Ini aku, Kar."

Ia berusaha untuk duduk, aku lantas berdiri, berjaga agar Kara tidak tumbang tetapi ia justru menarikku ke dalam pelukan.

"Ini benar-benar kamu, Chysara? Aku nggak lagi mimpi, 'kan?"

Di dalam pelukan, aku dapat merasakan dengan jelas tingginya suhu badan Kara. Tangannya bergetar samar saat memelukku.

"Kamu nggak mimpi, Kar. Ini aku. Benar-benar aku."

Ia menempatkan wajahnya pada ceruk leherku dan memelukku dengan erat. "Last time you said you didn't want to see me. It hurts, Chysara."

"Karena itu aku ke sini mau minta maaf. Maaf karena sudah menyakiti kamu."

"No, you don't have to apologize, all your mistakes are always forgiven without your request, Chysara."

Aku semakin mengencangkan tangis saat mendengar kata-katanya. Kenapa setelah aku meragukannya, Kara tetap memaafkan kesalahanku tanpa aku perlu meminta maaf darinya? Terbuat dari apa hatinya hingga dapat dengan mudah memaafkan kesalahan yang aku perbuat?

"I'll explain everything to you so there won't be any more misunderstandings between us. All the attitudes I've taken, just to protect you from people's perception of our relationship. I don't want you to be labeled a bad woman. I met Eliana to end everything that night, and i broke my promise because the sooner i cut my ties with Eliana, the sooner we can be together. Trust me, Chysara."

Kara mengusap air mata di wajahku saat ia mengurai pelukannya. Aku menggeleng lemah kemudian kembali menghambur ke dalam pelukannya. "Kamu nggak perlu jelasin apa pun sama aku sekarang, Kara. Untuk saat ini, aku nggak butuh apa pun selain kamu."

Di dalam pelukannya, aku mendongak kemudian mencium rahangnya. Kara balas mencium pucuk kepalaku, perlahan hangat tubuhnya membuatku nyaman, aku merasa seperti berada di tempat yang seharusnya.

"Kamu sakit apa, Kar? Kenapa bisa sampai seperti ini? Tolong jangan sakit, Kar." Aku memegangi pipinya, rasa hangat masih menjalar jelas di wajahnya ditambah bibir yang memucat.

"Aku baik, Chysara. Dan aku yakin aku akan semakin baik karena kamu ada di sini."

"Please, Kara. Jangan ada lagi yang kamu sembunyikan dari aku. Aku nggak mau kita terus berkutat pada masalah yang sama."

Dia menyeka wajahku yang basah oleh air mata. Berusaha menampilkan senyum sebaik mungkin, Kara merapikan rambutku yang berantakan dan membenarkan posisi dudukku di atas ranjang menghadap padanya.

"Kita tunggu Rafael. Aku akan ceritakan segalanya sama kamu, orang tuaku, juga Rion."

Aku terhenyak ketika Kara menyebut nama Pak Rion. Mas Agas bilang, Pak Rion adalah separuh hidup Kara, aku tidak bisa membayangkan jika Kara tahu bahwa Pak Rion memilih untuk membela Eliana yang sudah membuat hidupnya hancur.

Akan tetapi, Kara pasti akan terus bertanya perihal kemana perginya Pak Rion jika pria itu tidak muncul di hadapannya segera.

"Kara, soal Pak Rion ...."

Ucapanku terhenti saat pintu ruangan Kara terbuka. Di sana ada Pak Dwi Aji, Ibu Kinasih, Mas Amar serta Mas Agas yang langsung mendekat ke arah Kara.

Aku berniat untuk turun dari ranjang, tetapi tangan Kara menahan agar aku tetap di sampingnya.

"Chysara nggak nyaman, Nak," tegur Ibu Kinasih. Kara menurut dan membiarkanku turun dari ranjang.

Ibu Kinasih menarik lenganku pelan dan mengelus kepalaku, meski diawal aku merasa begitu canggung, tetapi wanita paruh baya itu terlihat begitu menerima kehadiranku.

"Rion di mana?" tanya Kara ketika menyadari ketidakhadiran seseorang di ruangannya.

"Kamu istirahat dulu. Rion sedang ada urusan."

Kara menggeleng. "Nggak ada urusan yang lebih penting dari aku untuk Rion." Kara menoleh ke arah Mas Agas. "Gas, tolong telepon Rion, bilang gue bakal marah banget kalau dia sepuluh menit lagi nggak sampai di sini."

"Kar, Rion nggak bakal balik lagi ke sini. Rion udah ninggalin lo, dia lebih pilih Eliana." Mas Amar seperti hilang kesabaran saat membahas Pak Rion.

"Maksudnya?"

Dari ekspresi wajahnya, aku tahu Kara tidak mengerti dengan apa yang disampaikan Mas Amar. Keningnya berkerut samar dengan tubuh yang menegap.

"Kamu tenang, Sayang. Arion pasti pulang. Dia nggak mungkin ninggalin kamu." Ibu Kinasih mencoba menenangkan Kara.

"Aku nggak ngerti. Kenapa Rion harus pergi? Memang apa yang terjadi selama aku sakit?"

Raut wajah Kara tidak setenang sebelum Mas Amar mengatakan bahwa Pak Rion pergi. Dengan wajah sarat akan emosi, ia membebat infus dan menyibak selimut.

"Dhiwangakara kamu mau ke mana?"

"Kara, kamu mau ke mana, Kar?" Aku mencoba mencegahnya turun dari ranjang, bagaimanapun wajah Kara masih terlihat pucat.

"Aku mau dengar sendiri dari mulut Rion kalau dia mau pergi. Aku nggak percaya sama kalian semua."

Kara tidak mengidahkan larangan orang tuanya pun dengan menyentak keras tangan Mas Agas yang mencoba menahannya tetap di ruangan. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat seseorang datang. Ia tersenyum kemudian memberi jalan pada Kara untuk pergi dari ruangan tersebut.

"Biarkan dia pergi. Ada banyak hal yang mau saya jelaskan tentang kondisi Dhiwangkara."

"Tapi, Rafael." Pak Dwi Aji memprotes.

"Tenang saja. Rumah sakit juga punya keamanan."

Pria berbalut kemeja serta snelli putih tersebut membawa sebuah rekam medis. Ia membuka lembaran tersebut dan menatap Pak Dwi Aji serta Ibu Kinasih secara bergantian.

"Tolong jangan buat Dhiwangkara merasa tertekan. Bagaimanapun, tenang adalah satu-satunya cara agar demensianya tidak tambah parah."

"Demensia?" ulang Pak Dwi Aji.

Rafael mengangguk. "Selama ini hanya saya dan Rion yang sadar akan gejala yang dialami Dhiwangkara. Oleh sebab itu, Rion selalu melarang kalian untuk memaksakan ingatan pada Dhiwangakara. Tujuan Rion adalah untuk melindungi ingatan Kara bertumpuk satu dengan yang lainnya."

"Tunggu. Rion tahu tentang ini semua?" Mas Amar memastikan.

"Tentu tahu. Dia bahkan yang beri tahu saya gejala awalnya." Rafael tertawa. "Ketika ingatan masa lalunya kembali, Kara akan lupa dengan ingatan sekarang. Dia akan kebingungan dan sulit membedakan mana ingatan lama dan mana ingatan yang baru. Karena itu, Rion mencegah Kara berusaha mengingat apa pun yang membuatnya bingung. Percaya sama saya, hidup dalam kebingungan itu tidak enak rasanya."

Ibu Kinasih mengelus pundak Pak Dwi Aji yang terlihat begitu kalut mendengar ucapan dokter bernama Rafael tersebut.

"Apa ada kemungkinan Dhiwangkara bisa sembuh, Rafa?"

"Sampai saat ini belum ada kesembuhan pasti untuk demensia, tetapi guna mencegah itu semakin parah perlu penanganan khusus. Seperti memberikan tempat yang nyaman, menghindarkan dari tekanan atau yang membuatnya tidak nyaman."

Penjelasan dokter tersebut mengingatkanku akan sikap Pak Rion selama ini. Dimana Pak Rion selalu memprioritaskan Kara di atas dirinya, juga tentang permintaan Pak Rion saat aku bekerja dengan Kara untuk melaporkan segala hal padanya. Ternyata, semua sikap itu untuk melindungi Kara dari tekanan jika ia lupa dengan apa yang ia kerjakan dan Pak Rion akan mengakui pekerjaan itu agar Kara tidak merasa bingung.

Jika seperti itu, apa berarti hadirnya aku dan usaha Mas Amar serta Mas Agas mengembalikan ingatan Kara sudah merusak usaha Pak Rion untuk melindungi Kara?

"Hei, Gadis Jogja."

Aku menoleh saat Dokter Rafael memanggilku dengan sebutan aneh.

"Saya?" Aku menunjuk diriku sendiri.

"Iya. Kamu Gadis Jogja yang pernah Kara ceritakan sama saya, bukan? Kara sudah ingat segalanya tentang kamu. Tapi ... bolehkah kamu jangan terlalu memaksanya mencari kamu dalam kotak memorinya? Buat saja kenangan-kenangan baru, karena semakin kamu berusaha membukanya, mungkin saja kotak memori itu semakin rusak."

"Maksudnya bagaimana, Dok?" tanyaku.

"Kondisi Kara semakin parah, saat ia berusaha mengingat kamu. Sepertinya, kamu dianggap sebagai bagian penting dalam hidupnya."

Aku menunduk. Rasa bersalah merayap ke hati saat mengetahui segala usaha Pak Rion sia-sia karena kehadiranku. "Maaf."

"Bukan waktunya minta maaf. Tapi untuk saat ini, tolong buat Dhiwangkara selalu merasa nyaman." Dokter Rafael menghela napasnya berat. "Mungkin kamu bisa menggantikan posisi yang sudah ditinggalkan Rion. Jadi saya minta sama kamu, tolong selalu ada untuk Dhiwangkara."

Alih-alih menjawab permintaan Dokter Rafael, aku memilih untuk pamit untuk mengejar ke mana Kara pergi. Aku berlari menuju lobi utama dan mendapati Kara duduk di salah satu kursi tunggu dengan kepala tertunduk.

"Kara?"

Aku memberanikan diri untuk duduk di sampingnya dan menyentuh bahunya. Perlahan, isakkan terdengar samar disertai bahunya yang bergetar.

"Ada apa, Kar?"

"Dia pergi. Dia bilang dia akan pergi ke tempat yang jauh. Dia bilang dia butuh waktu untuk sendiri, Chysara."

Aku memerangkap tubuh Kara dan tangisnya pecah saat ia balas memelukku.

Mungkin, aku tidak akan dapat menggantikan posisi Pak Rion di hidup Kara, tetapi aku akan berusaha untuk menjaga Kara dengan membuatnya nyaman selama berada di sisiku.

Pada akhirnya, meski bisa dekat sama Chysara, Kara tetap kehilangan seseorang yang selalu ada untuk dia :(
Yaah terkadang emang harus ada kenangan yang kita lupain untuk bangun kenangan-kenangan baru kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top