Bab empatpuluh satu ( kara's POV )
Seperti yang sudah terjadwalkan sebelumnya, hari ini adalah waktu untukku kembali ke rumah sakit untuk memastikan kondisiku baik-baik saja pada semua orang. Sejak pagi, Eliana sudah mencecar agar dia bisa ikut aku ke rumah sakit, tapi aku tetap menolaknya.
Rafael, dokter spesialis saraf yang kerap aku temui selama empat tahun ini.
"Mau sampai kapan kamu abai sama kondisi kepala kamu, Kara? Hanya tiga tahun, Kar."
Aku tertawa mendengar ucapan Rafael. Rasanya tiga tahun terlalu lama untuk seorang yang tidak tahu kapan akan berakhir hidupnya. Seseorang bisa saja mati esok hari, dan Rafael mengatakan tiga tahun? Itu terlalu lama bukan?
"Tiga tahun itu lama, Dok. Banyak orang yang mati bahkan sepulang mereka dari tempat ini, 'kan?"
"Dhiwangkaraaa."
"Oke. Maaf." Kalau sudah begitu, Rafael tidak akan lagi basa-basi tentang kondisiku. "Jadi, bagaimana?"
"Bagaimana dengan memulai perawatan? Saya pastikan kamu akan ...."
"Apa bisa menjamin saya akan sembuh?" Ucapan Rafael terpotong dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Bagiku, jika hasilnya akan tetap sama akan lebih baik aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Bersama Chysara mungkin?
"Kara, dengar saya."
"Satu tahun, Dok." Aku kembali memutus ucapan Rafael.
"Maksudnya?" tanya Rafael.
"Kamu bilang waktu untuk sampai saya melupakan segalanya hanya tiga tahun, bukan? Kalau begitu bisa kamu lakukan sesuatu untuk bisa menambah waktu saya setahun lebih lama? Saya harus membalas empat tahun waktu seseorang yang sudah terbuang begitu saja." Aku tertawa untuk mengurangi rasa sesak yang timbul di dadaku saat mengingat bagaimana Chysata tersiksa dengan hubungannya bersama Fairuz.
Jika saja empat tahun lalu aku tidak mengalami kecelakaan, aku akan pastikan ia akan selalu merasa bahagia.
"Empat tahun? Tunggu. Maksud kamu ini semua tentang perempuan di Jogja empat tahun silam? Kamu sudah berhasil mengingatnya? Atau bahkan bertemu dengannya?"
Rafael terlihat antusias dengan kisah yang pernah kuceritakan samar-samar. Sejak tiga tahun lalu, pria yang berprofesi sebagai dokter itu menjadi pendengar setia tentang gadis jogja yang aku temui.
Aku tidak mengatakannya pada Agas, pun pada Rion yang selalu mengatakan bahwa aku tidak mengenal siapapun yang tidak ia kenal. Saat pertama kali aku bercerita tentang gadis itu, Rion beranggapan itu hanyalah sosok gadis yang pernah kutonton dalam film.
Namun, malam itu, saat tanpa sengaja aku menyesap rasa manis pada ranum bibirnya dan dia menyebut namaku setelah kami menghabiskan malam panjang, aku tahu gadis di Jogja itu nyata. Dan, kini, dia ada dalam dekapanku.
"Namanya Chysara, dan dia bawahanku di CoffeTalks."
Rafael terpukau. "Wow. Serius?"
Aku mengangguk singkat.
"Dan kamu sudah mengingat segalanya tentang Chysara? Lalu bagaimana ingatan kamu?" Rafael mulai membuka buku catatan dan mulai menuliskan semua yang kuceritakan padanya. "Sejauh ini apa ada kondisi yang kamu rasa memburuk?"
"Ada."
"Apa itu?" tanyanya.
Mataku memejam beberapa detik guna mempersiapkan reaksi yang akan Rafael berikan setelah aku memberikan jawaban.
"Aku mulai melupakan kejadian beberapa jam ke belakang, sulit mengingat kombinasi angka, juga rasa apa saja yang masuk ke dalam mulutku."
Gerakan tangan Rafael yang tengah menulis terhenti seketika, ia mendongak dan menatapku dengan raut wajah yang aku benci.
Aku tertawa pelan, muak sekali rasanya mendapat tatapan iba karena kondisiku yang semakin lama semakin buruk.
"Kita harus cepat mengambil tindakan sebelum penyakit kamu semakin buruk, Kara."
Gelengan kepala aku berikan sebagai jawaban atas saran Rafael. Pria itu menyandarkan bahu, kemudian memijit pangkal hidung.
"Kalau memang waktuku hanya tiga tahun. Aku ingin menebus segalanya pada Chysara sebelum aku benar-benar tidak mampu. Chysara sudah terlalu banyak menderita, Raf."
Aku kembali tertawa meski rasanya begitu sesak untuk diterima. Terkadang, aku bertanya, dosa apa yang telah aku perbuat hingga aku harus mengalami pesakitan seperti ini?
****
"Ada acara apa sampai kamu menyiapkan makan malam spesial bareng keluarga kita?" tanya Eliana ketika masuk ke dalam kamarku dan mengelayut manja seperti biasa.
Pergerakanku yang sedang melepas baju untuk menggati kemeja dengan pakaian lebih santai terhenti saat ia memelukku dan mencium bahuku.
"Eliana, stop it."
Aku mencoba menjauh, tetapi ia justru menarik dan mendorongku hingga jatuh terduduk di atas kasur sebelum ia mendekat dan duduk di atasku.
"Rasanya aku sudah enggak sabar nunggu tiga minggu lagi, Kar. Bulan depan terlalu lama untuk aku."
Aku memalingkan wajah saat Eliana berusaha menciumku.
"Kamu nolak aku, Kar?" tanya Eliana yang bukannya berhenti saat penolakanku, justru malah mengecup cupingku.
"El, kita enggak seharusnya seperti ini. Kita belum terikat, remember?" Aku mencoba memperingatkan.
"Kamu lupa kita pernah punya anak? Itu artinya kita pernah melakukannya, dan enggak ada yang bisa melarang."
Aku mendorong Eliana ke samping dan berdiri. Bagaimanapun, aku adalah seorang laki-laki yang mungkin saja akan terpancing jika ia terus berlaku seperti itu padaku. Namun, untuk saat ini aku masih bisa menahannya dengan mengingat Chysara akan marah jika aku mengkhianatinya.
"Kamu kenapa, sih, Kar?"
"Kita belum suami-istri, El! Dan ini rumah orang tuaku." Aku mencoba memberinya pengertian.
"Orang tua kamu juga tahu tentang hubungan kita."
"Tapi bukan berarti kita bisa seenaknya. Kamu tetap harus tahu batasan, El."
"Bullshit!" Eliana terlihat marah. Mungkin, harga dirinya terasa aku injak setelah penolakan tersebut. Ia melangkah lebar keluar dari kamar dan menggebrak pintu.
Namun, aku tetap tidak bisa melakukannya dengan Eliana. Eliana bukan Chysara yang dapat membuatku lupa diri hanya dengan senyumannya. Aku kembali tersenyum saat mengingat wajah Chysara yang memerah saat aku goda.
Siang tadi, Chysara sempat menelponku dan mengatakan bahwa ingin bertemu. Tidak ada yang tahu bagaimana rasa senang itu membuncah dalam dadaku mendengar bahwa ia merindukanku. Akan tetapi, dengan terpaksa aku menolak permintaannya karena janjiku pada Eliana malam ini.
Setelah pertengkaran kami di pulau kecil dua hari lalu aku memang belum bertemu lagi dengan Chysara. Aku merindukannya, sangat, tetapi banyak hal yang aku urus termasuk kepindahan seluruh aset atas namanya, Agas, dan juga Rion.
Karena jika benar demensia akan merampas seluruh memoriku hingga tidak bersisa, aku harap Chysara akan baik-baik saja dengan segala yang aku tinggalkan untuknya.
Dan, malam ini, aku memilih Eliana dibanding Chysara adalah untuk terakhir kalinya. Aku tidak peduli jika setelah ini orang tuanya akan membalas perbuatanku yang menyakiti Eliana, karena bagiku empat tahun adalah waktu yang cukup untuk menebus segalanya pada Eliana.
"Dhiwa."
Aku menoleh saat mama mengetuk kamar dan menyebut namaku. Setelah memakai pakaian rumah aku membuka pintu dan mempersilahkan mama masuk. Sesuatu yang selalu aku lakukan karena mama selalu menolak untuk membuka pintu kamarku terlebih dahulu.
"Ada apa, Ma?" tanyaku saat mama duduk di pinggir kasur dan menatap wajahku.
"Eliana marah kenapa?"
Aku mendecak pelan. "Aku enggak suka Eliana masuk ke kamarku sembarangan."
"Mama tahu."
"Aku enggak suka Eliana maksa aku ngelakuin hal yang enggak aku suka."
"Mama juga tahu. Mama tahu segala hal tentang kamu. Yang mama enggak tahu, apa yang sebenarnya ada di dalam sini, Wa." Mama meletakkan telapak tangannya di dadaku.
"Maksud mama?" tanyaku heran.
"Enggak apa-apa. Tapi yang harus kamu tahu, apa pun keputusan yang kamu ambil, mama akan selalu dukung asalkan itu membuat kamu bahagia, ya? Jadi jangan pernah ragu untuk melangkah."
Sejujurnya aku tidak tahu maksud dari perkataan mama saat ini. Akan tetapi, mendengar peringatan mama membuatku semakin yakin dengan keputusan yang akan aku ambil malam ini.
Aku dan mama keluar saat Bi Ida memberitahu bahwa kedua orang tua Eliana sudah datang. Dari anak tangga teratas, aku melihat kedua orang tuanya berjabat tangan dengan papa yang menyambut mereka dengan hangat.
Mama mengamit lenganku dan kami turun bersama. Meja makan penuh dengan hidangan lezat, ada lobster besar yang kulitnya mengkilap, potongan-potongan salmon dengan wangi teriyaki serta beberapa olahan daging dan sayur yang mungkin bisa dikonsumsi untuk lebih dari lima belas orang.
Aku duduk di samping Eliana, berhadapan dengan mama yang menatapku dengan senyuman teduh. Agas datang setelah kami berkumpul, ia memberikan laporan pada papa dan membisikkan sesuatu mengenai Chysara padaku.
"Chysara di apartemen. Lo mau gue jemput dia di sana trus antar pulang atau lo sendiri yang bakal ke sana?" tanya Agas.
"Lo aja yang ke sana. Ada hal penting yang enggak bisa gue tinggal di sini."
"I know."
"No. Lo enggak tahu apa-apa soal malam ini." Aku mencoba membalas sifat sok tahu Agas.
"Agastya, kamu ikut makan dulu bersama kami."
Pembicaraanku dengan Agas terputus saat papa meminta Agas untuk tetap tinggal.
"Tapi, Pak ...."
"Duduk, Agastya." titah papa tidak terbantahkan.
"Kenapa pelayan itu makan di meja ini? Dia akan lupa dari mana dia berasal kalau terlalu sering makan makanan seperti ini."
Agas terlihat tidak enak mendengar ucapan Tante Ryn, Ibu Eliana.
"Maaf, Pak Dwi. Sebaiknya bapak lanjutkan acara makan malam keluarga ini. Saya pamit lebih dulu." Agas menunduk sekilas untuk pamit.
"Gas, Apaan, sih?" Aku mencegahnya pergi, tetapi dia mengode bahwa ia akan ada di sini sampai makan malam selesai.
Hingga selesai makan malam, papa bertanya maksud aku mengundang kedua orang tua Eliana ke rumah. Aku mengembuskan napas panjang sebelum menatap papa dengan yakin.
"Pa, aku mau batalin semua rencana pernikahanku sama Eliana."
Perkataanku sontak membuat Eliana menegapkan tubuh. Ia mencengkeram lenganku agar aku tidak bicara lebih jauh lagi.
"Kamu itu kenapa, sih, Kar?" tanya Eliana. Ia tertawa pelan lalu mengeraskan pegangannya pada lenganku. "Kamu bercanda, 'kan?"
"Enggak," jawabku cepat.
"Apa-apaan ini?" Pak Rudiansyah, ayah Eliana langsung bangkit dan melempar sendok ke atas piring kosong.
"Aku rasa hubunganku dengan Eliana sudah tidak bisa dilanjutkan. Maaf, tapi semua rasa yang aku rasakan sama Eliana sudah mati empat tahun lalu. Aku berusaha membangkitkan itu semua selama empat tahun, tapi gagal. Aku tidak bisa bohong pada diriku sendiri."
"Kara, kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?" Papa lebih tenang. Dia menekankan pertanyaan dengan menatapku amat serius.
"Aku sepenuhnya sadar. Aku tahu amnesia membuatku lupa segalanya, tapi cinta bukan sesuatu yang aku ingat, dia ada di sini." Aku menepuk dada. "Ada disini dan aku bisa merasakannya."
"Kalau begitu kamu sadar akan konsekuensi yang akan kamu hadapi." Om Rudi menantang.
Aku mengangguk pelan.
Sesuatu hal gila pernah papa tawarkan pada keluarga Eliana saat aku kondisiku belum pulih. Karena menanggap hal itu terlalu besar untuk dikorbankan, aku memilih menyetujui permintaan Eliana untuk menikah sampai dapat mengganti semua yang akan papa korbankan karena perbuatanku.
"Pa!" Eliana membentak.
"Maaf, Eliana. Tapi aku akan semakin menyakiti kamu jika ini kita teruskan." Aku mencoba memberi Eliana pengertian.
"Enggak, Kar! Kamu enggak pernah sakitin aku, tolong jangan gini, Kar!"
Sejujurnya hatiku sakit mendengar tangisan Eliana. Namun, aku tetap tidak bisa memilihnya karena hatiku jatuh pada Chysara.
Jangan bilang ini pendek karena ini hampir dua bab aku gabung jadi satu, 😩😩
BTW udah lama enggak ada POV-nya Dhiwangkara. Jadi kita selesaikan pov Dhiwangkara dalam dua bab oke!
Kalau rame besok aku update lagi, ya!
Yuk ramein sama komen dan votenya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top