Bab empatpuluh delapan
"Kira-kira keluarganya Kara bakal kejebak macet nggak, ya? Gimana kalau mobil keluarganya nggak bisa parkir nanti di depan? Duh! Harusnya kita pikirin itu dari jauh-jauh hari."
Itu adalah ucapan mama yang kesekian saat melirik jam dinding untuk kesepuluh kalinya dalam setengah jam terakhir.
Papa lebih tenang dan lebih memilih membantuku mengaduk vla untuk pudding.
Satu minggu setelah keluar dari rumah sakit, Kara datang dan menjelaskan segalanya pada kedua orang tuaku. Ia meminta maaf atas perbuatannya, pun mengutarakan niat untuk segera meminangku. Awalnya papa menolak, mengatakan bahwa keluarganya mungkin saja tidak akan pantas bersanding dengan kami, terlebih ketakutan akan kondisi Kara membuat papa tidak yakin bahwa aku akan bahagia bersamanya untuk waktu yang lama.
Aku memakluminya dan menerima segala jawaban yang akan papa berikan pada Kara meski harus berpisah jika itu keputusan finalnya. Namun, setelah diskusi mereka berdua yang aku sendiri tidak tahu apa isinya, papa menerima keluarga Kara untuk datang hari ini.
"Tenang aja, Ma. Kara bilang cuma keluarga inti aja kok. Kara sama kedua orang tuanya aja yang datang." Aku mencoba menenangkan mama yang sibuk bolak balik merapikan barang yang sebetulnya tidak berantakan.
Jika boleh jujur, aku juga sama paniknya dengan mama. Ketakutan akan keluarga Kara yang tiba-tiba berubah pikiran sering melintas di dalam benakku.
"Kak, di depan ada tamu."
Suara adikku menyadarkanku dari lamunan. Aku lantas berdiri, bersiap menyambut Kara dan kedua orang tuanya yang sudah sampai di depan. Akan tetapi, senyumku langsung meluruh begitu saja ketika melihat sosok yang ada di ambang pintu.
Pria dengan kemeja putih dan celana hitam menggenggam sebuah bouquet bunga tulip berwarna merah muda menatapku dengan tatapan sendu.
Aku melangkah ragu mendekat dan sedikit enggan untuk menerima pemberiannya.
"Apa benar-benar nggak ada lagi kesempatan buat aku sedikit aja, Chya? Apa selama satu setengah tahun hubungan kita nggak berarti apa-apa pada kamu?"
Hatiku mencelus mendengar pertanyaan disertai getaran suara yang keluar dari bibirnya. Fairuz, ia tidak seperti pria yang kukenal selama ini. Wajahnya terlihat kacau dengan tatapan putus asa.
"Fairuz?"
Aku serta Fairuz kompak menoleh ke arah sumber suara yang ada di belakang Fairuz. Dalam hati aku menyumpah, kenapa Kara harus tiba pada saat posisi seperti ini.
Aku tidak berani membayangkan apa yang ada di kepalanya saat ini. Terlebih, ketika Pak Dwi Aji mendorong kacamatanya dan menatap Fairuz dari ujung kepala hingga kaki.
"Siapa?"
"Dia pacar Chysara sebelum ini, Pa." Suara Kara terdengar dingin. Tanpa ekspresi berarti, ia melangkah tepat berdiri di depanku yang tiba-tiba saja menangis dan menggeleng ke arahnya.
"Ini nggak seperti yang kamu bayangin, Kar."
Ia mengusap titik air yang ada di ujung mataku. "Memang kamu tahu apa yang aku pikirkan?"
Kenapa? Kenapa Fairuz harus kembali sekarang saat aku sudah benar-benar memantapkan hati untuk Dhiwangkara. Terlebih, kenapa dia harus datang pada saat momen penting yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan untuk hidupku dan merusak segalanya? Apa belum cukup selama ini Fairuz membuatku kecewa akan sikapnya? Apa ia juga ingin merusak apa yang aku rencanakan indah bersama Kara?
"Sepertinya aku benar-benar nggak punya kesempatan lagi, ya, Chya? Aku minta maaf karena sudah ngerusak acara kamu."
Perkataan Fairuz itu tidak langsung aku jawab karena masih sibuk menetralkan napas di depan Dhiwangkara. Aku takut, takut bahwa kejadian ini akan mempengaruhi keputusan final kedua orang tuanya yang memiliki reputasi sebagai keluarga terpandang.
Namun, ucapan Kara menghentikan langkah Fairuz yang hendak berbalik dan pergi dari rumah.
"Kar ...."
"Ada hal yang mau kamu sampaikan sama Chysara? Tolong luruskan saat ini juga. Tapi izinkan saya untuk mendengar segalanya."
"Kara ...."
Kara tidak menoleh, atau pun menjawab panggilanku saat menatap Fairuz dengan rahang yang mengeras. Aku memberanikan diri mengulurkan tangan membelai rahangnya agar ia tenang.
"Hubungan saya dan Chysara bermula dari emosinya yang meledak-ledak di kepala tanpa bisa ia luapkan pada kamu. Beberapa kali saya berpikir bahwa mungkin saja saya hanya sebuah pelampiasan untuk Chysara. Oleh karena itu, saya ingin kalian meluruskan segalanya saat ini juga."
"Dhiwa, kamu apa-apaan?" Pak Dwi Aji menolak.
"Kara, aku ...."
"Aku berikan kamu ruang dan waktu untuk meluruskan segala kesalahpahaman di antara kalian, Chysara. Dimana tidak ada aku di dalamnya. Jika pada akhirnya kamu memutuskan untuk kembali pada dia yang sudah akan menerima kamu apa adanya, aku terima. Tapi ... jika kamu menetapkan hati kamu untuk aku, aku harap tidak ada lagi rasa sakit yang ada di hati kamu ketika mengingat dia karena aku ingin di dalam hubungan kita, dia tidak ada."
Ada rasa sakit yang tidak bisa aku jelaskan ketika Kara menggiring kami semua ke dalam ruang tamu beralaskan karpet tebal karena papa bilang sofa tidak akan muat untuk acara sore ini.
Pak Dwi Aji serta Ibu Kinasih duduk bersebelahan, berhadapan dengan papa dan mama, sementara Luna duduk disampingku berhadapan dengan Mas Agas yang bersebelahan dengan Fairuz, sementara Kara berada di posisi paling ujung di antara aku dan Fairuz.
Mas Agas diwanti-wanti Kara untuk tidak bersuara, sementara kedua orang tuanya sesekali menatapku dan menatap karpet bergantian.
"Kamu bisa mulai menjelaskan segalanya sekarang, Fairuz." Kara yang memulai pembicaraan. "Saya janji tidak akan ikut campur ke dalam masalah kalian."
Butuh waktu untuk Fairuz bersuara. Hingga ia mulai berani mendongakkan kepala dan menatapku yang sejak tadi menghunuskan tatapan tajam padanya.
"Aku tahu kamu marah malam itu, Chya. Aku bodoh, gila, dan kekanakan. Tapi kamu tahu saat itu emosi kita benar-benar berada di puncak, Chya. Aku takut kalau aku tetap ada di samping kamu saat itu, aku akan berbuat hal yang menyakiti kamu. Karena itu aku pilih menepi sebentar, tapi saat aku kembali kamu sudah nggak ada di sana."
Ingatanku kembali pada bulan kemarin saat Fairuz dengan sengaja meninggalkanku seorang diri di tepi pantai. Saat itu, aku menunggunya sebelum tiba-tiba Kara menelpon untuk menanyakan keberadaan Mas Agas. Butuh waktu setengah jam aku menunggu Kara hingga sampai pada tempat yang aku maksud, kemudian Fairuz mengatakan ia kembali? Bukankah itu sudah terlampau terlambat untuknya kembali?
"Kamu selalu seperti itu, Fai. Akan selalu ada alasan untuk kamu menyalahkan aku. Dan sekarang kamu juga bernarasi seolah aku yang salah karena nggak nunggu kamu malam itu? Kamu selalu bikin aku di dalam posisi serba salah, Fai. Aku capek."
Tanpa sadar air mataku kembali meluruh. Jika saja Luna tidak mengusap punggungku, mungkin aku tidak akan bisa lagi menatap mata Fairuz untuk saat ini. Sementara Kara, ia menundukkan kepala sembari memejamkan mata tanpa aku tahu apa yang dipikirkannya saat ini.
"Kamu lebih dari tahu masalah kita bukan cuma soal itu, Fai." Aku mencoba mengingatkannya perihal Tante Tyas. "Soal ibu kamu, keluarga kamu, keluargaku. Apa kita pernah sejalan? Nggak kan? Dan, lagi-lagi harus aku yang mengalah sama keputusan kamu atas hidup aku."
Aku mendongak agar air mata yang turun tidak semakin banyak. Saat ini, ingin rasanya aku menarik telapak tangan Kara agar dapat menyalurkan kekuatan yang selama ini ia berikan agar aku bertahan.
"Aku tahu aku salah, Chya. Semua itu berawal ketika kamu mendapatkan pekerjaan di CoffeTalks. Yang aku nggak ceritakan sama kamu saat itu adalah aku hampir aja kehilangan pekerjaan karena kasus yang dilakuin sama salah seorang temanku. Aku kalut. Aku takut kalau aku kehilangan pekerjaan saat kamu mendapatkan pekerjaan yang baik kamu akan berpaling dari aku, Chya."
Fakta itu tidak pernah Fairuz sampaikan selama ini padaku. Setelah aku mendapat pekerjaan, sikapnya memang kerap berubah dingin seolah aku melakukan kesalahan padanya.
"Aku iri sama pencapaian kamu, Chya. Aku pikir aku akan sulit mengendalikan kamu jika posisi kamu lebih tinggi. Karena itu aku berusaha agar kamu kehilangan pekerjaan, ditambah di sana ada Dhiwangkara."
"Kamu tahu kamu menyakiti Chysara dengan sikap kamu yang seperti itu? Kamu iri dengan kebahagiaan yang dia dapat, sementara selama ini Chysara selalu memikirkan bagaimana cara agar kamu bahagia."
Kara yang sejak tadi diam akhirnya bersuara.
"Saya minta maaf karena kehadiran saya mungkin membuat kamu kacau saat itu. Tapi, jika satu hal yang harus kamu garis bawahi adalah seharusnya pencapaiannya bukanlah sebuah hal yang harus kamu irikan. Itu aneh. Saya mulai mempertanyakan satu hal pada kamu, apa jika pencapaian Chysara membuat egomu tersinggung, apa mungkin kamu mencintainya karena menganggapnya lebih rendah dari kamu?"
Diam-diam rasa penasaranku muncul saat Fairuz memikirkan jawaban akan pertanyaan Kara. Jantungku berdegup kencang, seolah tidak siap mendengar apa yang akan ia utarakan.
Anggukan pelan Fairuz serasa seperti sebuah bilah pedang yang menusuk jantungku. Ternyata, selama ini ia menganggapku lebih rendah darinya karena kondisi keluargaku. Seketika perkataan Pak Rion di pantai terngiang kembali.
Orang tua yang membanggakan kamu di depan dunia. Apa kamu yakin mereka tidak tersakiti jika putrinya direndahkan oleh pria seperti dia?
"Maaf, Pak Dwi Aji, Ibu Kinasih. Sepertinya pertemuan ini kita cukupkan sampai di sini saja. Jangan sampai keluarga kalian menjadi lebih rendah karena Dhiwangkara bersanding dengan putri orang kecil seperti kami."
Papa mencoba menghindari tatapan semua orang yang ada di sana. Suaranya bergetar hebat dengan tangan yang terkepal kuat. Aku tahu, ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri.
"Maaf, Pak. Tapi ini bukan saatnya kita semua menentukan. Dhiwangkara benar, saat ini waktunya Chysara menentukan jalan mana yang mau ia pilih. Chysara berhak menentukan hidup yang mau ia pilih." Pak Dwi Aji menahan papa yang hendak beranjak dari sini kemudian menatapku. "Chysara, suarakan apa yang mau kamu piilih. Apa pun itu, kami semua akan menerimanya."
Kara menoleh dan menatapku, tangannya menggenggam erat tanganku dan mengisi sela jariku dengan jari-jarinya. "Aku nggak bisa berjanji banyak hal sama kamu, tapi yang harus kamu tahu, bersama aku kamu cukup menjadi seorang Chysara, kamu akan berhak melakukan apa pun yang kamu mau."
Kara tidak perlu menjelaskan, Kara tidak perlu memberi janji, pun Kara tidak perlu membuktikan apa pun padaku. Karena, hanya saat aku bersamanya, aku merasa segala yang aku inginkan terpenuhi.
Haloooo udah lama yaa sejak terakhir update
Padahal tinggal 3 bab terakhir aja 😩😩
Udah pada lupakah sama Kara sama Chya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top