Bab empatpuluh
"Lo enggak apa-apa, Chya?"
Mas Agas bertanya ketika mobil yang dikendarainya berhenti di lobby apartemen Kara. Setelah pembicaraan dengan Pak Rion dan Mas Amar tidak mendapatkan titik temu, Mas Agas memberitahu bahwa Kara menungguku di apartemennya sore nanti.
Berita yang mencuat di seluruh CoffeTalks membuat Mas Agas menyarankan aku untuk tidak berada di kantor hingga situasi mereda. Akan tetapi, saat ini aku belum bisa pulang, kedua orang tuaku pasti akan melemparkan banyak pertanyaan perihal kenapa aku kembali padahal jam baru saja menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Lo udah sarapan, Chya? Gue beliin lo makanan, ya?"
"Enggak usah, Mas. Makasih. Lagi enggak enak mulutku buat makan." Aku masuk saat Mas Agas menempelkan kartu akses apartemen Kara ke pintu.
Suasana apartemen itu terasa lebih sepi dibanding biasanya, Mas Agas bilang, beberapa hari ini Kara bolak-balik pulang ke rumahnya yang berada di BSD. Cukup jauh, tetapi seperti ada sesuatu yang harus ia selesaikan di sana.
"Lo istirahat aja dulu, Chya," titah Mas Agas setelah memberikan segelas air putih dingin padaku.
"Mas. Sebetulnya ada hal yang mau aku sampaikan sama Mas Agas. Dengar cerita Pak Rion tadi, aku jadi kepikiran kalau hal itu penting untuk aku sampaikan sama Mas Agas, Mas Amar, dan juga Pak Rion."
"Apa?" tanyanya.
"Aku enggak bisa cerita satu-satu, Mas. Lagi pula aku butuh barang yang selama ini aku simpan untuk buktiin omongan aku sama kalian. Aku akan minta Luna temenku untuk bawain ke sini, Mas Agas minta Pak Rion dan Mas Amar datang ke sini, ya?"
"Gue enggak yakin kalau Rion masih mau dengar omongan gue. Barusan gue dapat pesan dari Pak Dwi Aji, dia tanya kenapa Rion tiba-tiba mengundurkan diri, Rion sudah bulat sama keputusannya."
Aku melirik Mas Agas yang kini menggaruk kepalanya dengan kasar. Terlihat sekali ia frustrasi menghadapi ini semua. Namun, aku tidak bisa melihat Pak Rion terus menerus dituduh sebagai penyebab kecelakaan Kara.
Empat tahun lalu, sebelum Kara menghilang, ia sempat mengirim sebuah pesan ke handphone-nya sendiri yang ditujukan untukku.
Aku sempat berusaha menghubungi nomor itu, tetapi tidak aktif setelah hari dimana kami batal bertemu. Sampai saat ini, benda itu masih tersimpan rapi di dalam lemariku bersama dengan jaket yang pernah Kara titipkan padaku.
"Aku minta maaf, ya, Mas. Gara-gara aku, Pak Rion, Mas Agas, dan Mas Amar jadi terlibat hubungan rumit kayak gini."
"Ini bukan salah lo, 'kok. Sejak awal emang gue yang salah karena terlalu naif. Rion bener, seharusnya gue fokus sama keadaan Kara aja." Mas Agas menunduk, ia menumpu kedua tangan dimasing-masing pahanya dan terkekeh.
"Gue enggak nyangka aja kalau selama ini Rion nyimpen semuanya sendiri. Gue pernah bilang sama lo kalau Rion enggak pernah bilang kalau dia bakal ninggalin Kara seburuk apa pun omongan Kara, tapi dia enggak tahan sama sikap gue. Ternyata gue lebih buruk dari Kara, ya."
"Aku yakin Mas Agas punya alasan untuk itu."
"Dan sekarang gue enggak tahu apa lagi yang bakal Rion hadapi dari orang tua Eliana pas Kara ngebatalin pernikahannya gitu aja."
Aku tertegun saat mendengar ucapan Mas Agas. Kara membatalkan pernikahannya dengan Eliana? Apa itu yang menjadi alasan Eliana datang ke kantor dan membuat keributan seperti tadi?
"Kara batalin pernikahannya, Mas?"
Mas Agas menatapku aneh. "Lah? Lo dari tadi di kantor Rion sampe acak-acakan begitu enggak tahu alasannya?"
Aku menggeleng.
"Astaga, Chya! Lo inget waktu gue bilang mendingan lo izin aja sebulan? Itu pagi gue baru tahu kalau Kara habis batalin rencana pernikahannya sama Eliana! Malam waktu lo gue jemput di sini dan gue anter pulang, Kara itu ketemu Eliana dan ngebatalin semuanya. Kara enggak cerita apa-apa sama lo?"
Aku kembali menggeleng. Jadi, saat Kara mengatakan ada urusan penting yang harus ia selesaikan saat itu adalah membatalkan pernikahannya dengan Eliana? Tapi kenapa? Bukankah Kara sangat menyayangi Eliana?
Keterdiaman Kara memang terkadang menjadi teka-teki tersendiri. Terlalu banyak langkah tidak terduga yang ia lakukan di belakangku yang membuat pertanyaan di dalam kepala, apa ia akan selamanya seperti itu? Atau apakah aku akan selamanya hidup berdampingan dengan kecurigaanku terhadapnya? Entahlah, untuk saat ini aku hanya ingin semuanya menjadi jelas.
Terlebih dengan kondisiku saat ini. Ingatanku kembali memutar saat Eliana mengatakan bahwa ia sempat kehilangan anaknya. Apakah itu anaknya dengan Kara? Kalau begitu Kara mencampakan Eliana begitu saja setelah perempuan itu menunggunya selama empat tahun dengan segala kesakitannya?
Apa jaminannya jika Kara tidak akan memperlakukanku seperti itu juga?
****
"Chya, lo baik-baik saja? Kok lo pucet banget?" tanya Luna saat mengusap lembut tanganku.
Sesuai permintaanku pada Mas Agas pagi tadi, Luna kini sudah berada di apartemen Kara dengan membawa papper bag berisikan barang yang aku minta.
Keadaan Pak Rion jauh lebih baik, ia duduk di soffa single meski menolak bertatapan dengan Mas Agas maupun Mas Amar yang berakhir izin dari kantornya.
"Gue shock banget dengar cerita lo barusan. Gue enggak nyangka lo bakal berurusan sama sampah kayak Kara lagi, Chya."
"Jaga mulut lo kalau ngomong!" sentak Mas Agas.
"Emang benar, 'kan? Kalau temen gue enggak ketemu sama Bos lo yang sampah itu, temen gue pasti sekarang masih baik-baik aja."
"Lun, udah. Please. Gue enggak mau ribut-ribut lagi." Aku mencoba membujuk Luna.
"Lo tahu enggak, sih, Chya. Lo enggak perlu minta pertanggung jawaban manusia sampah kayak Kara. Gue bakal bantu lo urus anak itu, kita bisa, Chya. Lupain Kara. Dia enggak pantes bikin lo sesakit ini." Luna mengusap wajahnya yang basah karena air mata.
"Gue minta maaf, ya, Lun."
Aku memeluk Luna untuk kesekian kalinya sejak aku menceritakan semua yang terjadi selama ini. Dari semua hal yang aku sesali, aku merasa bersyukur karena Luna masih ada di sampingku saat ini.
Aku melepaskan pelukan Luna sebelum mengambil papperbag bawaannya dan memberikannya pada Pak Rion yang hanya diam mematung seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari Luna.
"Ini, Pak."
"Apa ini?" tanyanya sembari mengambil jaket di dalam papperbag. "Ini?"
"Pak Rion ingat hoddie itu?"
"Ini punya Kara, 'kan?"
Aku mengangguk pelan. Mas Agas mengubah posisi duduknya, memfokuskan pandangan pada jaket yang dipegang Pak Rion.
"Dan ini. Pak Rion bisa lihat pesan ini. Bapak bisa cek nomer handphone pengirim chat-nya."
[ Kamu akan datang, 'kan. El? Aku akan tunggu kamu sampai tengah malam. Aku percaya kamu enggak akan curi handphone baru aku, El. ]
Pak Rion mengerutkan kening membaca isi pesan yang tertera di handphone lama milik Kara. Selama ini, aku sesekali menyalakannya untuk menjaga kondisi handphone tersebut tetap dalam kondisi baik.
"Ini nomer handphone saya yang hilang dulu. Dan, El?" Pak Rion menatapku bergantian dengan isi pesan di dalam handphone yang kembali aku nyalakan setelah sekian lama. "Siapa kamu? Perempuan yang dipanggil El, itu kamu?"
"El? El yang disebut-sebut Kara sebelum dia koma? Nama yang sering muncul dimimpinya itu elo, Chya? Kenapa bisa jadi El?"
"Waktu kami kenal, Kara bilang enggak mau panggil aku dengan sebutan 'chya' dia pilih panggil aku dengan nama 'El' dari nama belakangku, Eldiana. Pak Rion bisa buka gallery-nya kalau mau."
Pak Rion, Mas Agas, dan Mas Amar kompak menyandarkan bahu pada sandaran sofa kemudian mengerang.
"Gue susah-susah nyari siapa yang mau ditemuin Kara di Jogja sebelum kecelakaan, ternyata orangnya ada di depan batang hidung gue sendiri? Seriously?" Mas Amar mengusap wajahnya kasar.
"Kalau orang yang dimaksud Kara memang lo, itu berarti semua informasi yang masuk ke kepala Kara selama ini salah dong? Akan enggak akan berdampak sama kondisi kepalanya? Pantes aja selama ini Kara selalu curiga kalau apa yang dia tahu itu bukan yang sebenarnya." Mas Agas menyambar handphone di tangan Pak Rion dan mendecak pelan.
"Seharusnya, sih enggak. Kemungkinan Kara akan bingung, iya." Mas Amar menghela napas berat. "Ini semua karena Eliana!"
"Berarti kita harus secepatnya omongin ini sama Kara, 'kan? Bisa aja kalau semuanya benar, dia jadi mudah ingat sama semuanya?" Mas Agas mengusulkan.
"Jangan dulu."
Obrolan Mas Agas dan Mas Amar terhenti begitu saja ketika Pak Rion menyuarakan pendapat.
"Maksud lo?" tanya Mas Amar. "Jangan bilang lo mau bela Eliana lagi."
"Gue yang ada di samping dia selama ini. Jadi gue tahu betul bagaimana kondisi Kara saat ini." Pak Rion melepas kacamatanya. "Kamu merasa ada yang berbeda sama Kara belakangan ini, Chysara, atau saya harus panggil kamu El?"
Aku mengingat-ingat perilaku aneh yang dilakukan Kara, tetapi sebanyak aku berpikir, tetap tidak menemukan keanehan yang terjadi.
"Kamu yakin?"
"Yakin. Cuma memang belakangan ini Kara lebih suka makanan asin, sih."
Pak Rion kembali memejamkan mata kemudian mengepalkan tangan seraya memukulkannya pada kepala dengan tempo pelan.
"Dia pernah lupa janji sama kamu?"
Dengan ragu aku mengangguk. "Dua kali?"
"Ada apa, sih, Ri?" tanya Mas Agas yang akhirnya penasaran dengan apa yang dipikirkan Pak Rion saat ini.
"Kamu yakin kalau Kara saat ini sedang suka makanan asin? Bukan karena dia lupa rasa apa yang masuk ke dalam mulutnya saat itu juga, Chysara?"
"Jadi maksudnya Kara langsung lupa sama rasa makanan yang dia baru saja makan gitu?"
Pak Rion jelas tidak menghiraukan pertanyaan Mas Agas. Tatapannya menghunus ke arahku tanpa sekalipun menoleh.
"Atau kamu tahu alasan dia mengganti smartdoorlock apartemen dengan kartu akses, agar dia enggak perlu mengingat kombinasi angka?"
Sekali lagi hanya dapat menggeleng sebagai tanda aku tidak tahu apa-apa tentang Kara.
Jadi kalian tim Amar yang langsung ngomong sama Kara atau tim Rion yang nunggu situasinya lebih baik dulu nih?
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top