Bab empat puluh sembilan
Aku tidak tahu kebaikan apa yang pernah aku lakukan sehingga bertemu pria seperti Kara. Jelas bayangan semua cita-cita masa depan yang pernah aku impikan terasa seperti berada di depan mataku saat ini.
Dulu, aku pernah bermimpi memiliki kehidupan yang seimbang dengan karir. Aku harus dapat berdiri dengan kakiku sendiri, itu yang papa katakan sejak dulu. Dan, kini, segalanya bahkan terasa jauh lebih baik karena saat aku berdiri, Kara senantiasa berdiri di sampingku.
"Chya!"
Aku menekan tombol 'open' pada dinding lift saat suara Mas Agas menggelegar sesaat sebelum pintu lift tertutup. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore saat laki-laki itu terlihat kusut dengan rambut acak-acakan mengejarku dengan membawa sebuah map yang aku tidak tahu apa isinya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku pada Mas Agas saat keluar dari lift diikuti gadis cantik yang berdiri di belakangku.
"Gimana sama Deli FoodNesia? Aman?" tanyanya dengan napas terengah-engah.
"Aman, Pak. Pak Ricco bilang, hari senin timnya bakal datang ke CoffeTalks buat bahas lebih lanjut."
Mas Agas terlihat lega kemudian mengembuskan napas panjang mendengar jawaban Grizelle, asistenku selama menggantikan Kara di CoffeTalks yang menjalani pengobatan.
Meski awalnya terasa berat untuk dilakukan. Akan tetapi, kelamaan aku mulai terbiasa, pun terbiasa dengan bisik-bisik dari orang di belakang yang membicarakan tentang hubungan kami.
"Syukur deh. Kalau gitu seenggaknya beban gue sama Bu Tami sama Pak Heri sedikit berkurang." Mas Agas menyenderkan tubuh pada dinding lalu tertawa pelan. "Tapi, Chya. Soal itu gimana? Lo udah ngomong sama Kara?"
Aku tersenyum kecut.
"Jangan bilang lo belum bahas apa pun sama Kara? Pleaseee, Chya. Gue nggak mau ditinggal ngurus CoffeTalks sendiri kalau lo nanti lahiran! Udah cukup ya gue hampir gila ngurus CoffeTalks sendirian waktu kalian seneng-seneng habis nikahan malah jalan-jalan."
Keluhan Mas Agas mau tidak mau membuat aku dan Grizelle tertawa.
"Aku bingung, Mas. Aku nggak mau kalau Kara harus kembali ke kantor dekat-dekat ini. Kondisinya sudah sedikit membaik karena nggak banyak beban pikiran, tapi Mas Agas, kan tahu kalau sebentar lagi aku ...."
"Ya masalahnya gue nggak punya kemampuan kalau harus ngurus sendiri, Chya. CoffeTalks terlalu besar kalau harus gue yang urus sendiri."
Dari raut wajahnya, aku tahu Mas Agas merasa bersalah karena sudah menahanku hingga sejauh ini di CoffeTalks. Papa dan mama juga sudah bertanya perihal cuti yang seharusnya sudah sejak minggu lalu aku ambil untuk mempersiapkan kelahiran. Namun, mengingat perkataan Kara yang akan kembali menangani segalanya saat aku berhenti, rasa takut itu timbul dengan bayangan ia akan kembali melupakanku seperti empat setengah tahun lalu.
"Kalian serius banget. Bahas apa?"
Aku, Mas Agas dan Grizelle kompak menoleh saat suara Kara menginterupsi kami dari lift yang berseberangan dengan lift yang sebelumnya sempat aku gunakan. Hari ini ia terlihat santai seperti biasanya, dengan kaos putih polos dan celana jeans, ia lebih mirip seperti seorang laki-laki yang tengah menjemput pacarnya dibanding seorang owner perusahaan yang sekarang ia datangi.
"Itu, Kar ...."
"Bukan apa-apa, kok, Sayang. Kita pulang sekarang aja, ya."
Aku melangkah cepat memutus ucapan Mas Agas yang akan mengatakan bahwa waktu cutiku sudah masuk pada Kara. Namun, saat aku menarik lengannya, Kara justru menahan dan menatap Mas Agas.
"Gas, ada yang mau gue bahas sama lo. Bisa?"
"Kamu mau bicara apa sama Mas Agas?" tanyaku.
"Sama kamu dan Grizelle juga. Kita makan malam bareng gimana? Izell, kamu bisa, 'kan?" Kara mengalihkan tatapannya pada Grizelle.
"Bisa, Pak," jawab Grizelle.
"Kita berangkat sekarang aja, perjalanannya agak jauh soalnya. Gue tunggu lo di bawah, Gas. Jangan kusut-kusut amatlah!"
Kara tersenyum, tangannya dengan lembut merangkul pundakku dan menggiring hingga masuk ke dalam lift tanpa memedulikan protes Mas Agas yang baru saja diejek.
****
"Sebetulnya kita mau ke mana, Kar?" tanyaku ketika mobil yang dikemudikan Kara sudah satu jam melintasi jalan Tol Cinere kemudian Jagorawi hingga Bogor.
"Kantor gimana? Ada masalah kah?"
Bukannya menjawab pertanyaanku atas tujuan kami, Kara justru bertanya perihal kondisi kantor. Seperti biasa, wajahnya terlihat tenang dengan sesekali berpesan pada Grizelle akan kesabaran menghadapi Mas Agas.
"Kar, sebetulnya kita mau ke mana sih? Serius, gue capek, mau mandi. Tadi pagi gue nggak sempet mandi pas berangkat kerja." Mas Agas kembali menyuarakan rasa penasaran.
Jika bagian terbaik dalam kehidupanku adalah bertemu dengan Kara, mungkin bagian terbaik Kara adalah ditolong oleh orang seperti Mas Agas. Ia bukan hanya setia menemani Kara hingga titik ini, tapi juga sering kali memaklumi tindakan Kara yang terkadang kelewat menyebalkan.
Ucapan Mas Agas bukan bualan ketika ia mengatakan bahwa akan menemani Kara hingga priaku itu sembuh. Selama beberapa bulan ini, ia sukses menjadi asisten, teman sekaligus kakak yang selalu ada untuk Kara juga untukku.
Meski terkadang ada satu momen di mana Kara merindukan sosok Rion yang hampir tujuh bulan tidak pernah ada kabarnya, kehadiran Mas Agas cukup menjadi sosok yang selalu ada untuknya.
"Sabar. Sebentar lagi kita sampai."
Ucapan itu dilontarkan Kara ketika mobil kami berbelok dan masuk ke dalam sebuah restoran tepi tebing.
Bangunan semi kayu dua lantai itu tidak terlalu besar, dinding-dindingnya didominasi dengan kaca besar yang membuat setiap sudut ruangan terasa luas dan menakjubkan karena pemandangan alam. Alih-alih mengajak kami duduk di ruang utama restoran yang berpendingin, Kara justru mengajak kami melintasi pintu kaca besar untuk menempati smoking area.
Ada bangku kosong untuk enam orang di sudut balkon, di sampingnya ada sebuah batang pohon tempat lampu-lampu kecil menggantung sebagai hiasan serupa pohon cahaya.
"Tempatnya bagus, Pak."
Itu komentar pertama yang keluar dari bibir Grizelle saat duduk di bangku berbentuk bongkahan kayu. Kara tidak menjawab, ia lebih memilih menyandarkan pinggangnya pada pagar pembatas dan melipat tangan dengan kepala mendongak ke atas menatap daun dari pepohonan.
Aku menatap sekeliling, tempat itu cukup hening meski dalam keadaan ramai pengunjung. Pelanggan lain sepertinya menikmati makanan dan tempat yang disajikan oleh pemilik restoran sehingga tidak punya waktu untuk mengganggu kenyamanan pengunjung lain.
"Tempatnya bagus. Makanannya juga nggak termasuk ramah di kantong, nyaman. Kalau makanannya enak, udah paket komplit banget sih." Mas Agas menggeleng pelan seraya membolak-balik buku menu yang sempat diberikan pelayan.
"Setelah makan, kalian harus ketemu sama pemilik tempat ini. Tempat ini, sudah lama jadi impiannya." Kara duduk di sampingku dan memilih menu.
Udang bakar madu, sate lilit, gurame goreng serta sop menjadi menu utama yang kami pilih. Pihak restoran memberikan free wedang jahe untuk penutup karena hari sudah malam.
"Kamu serius baru tahu tempat ini, Kar? Sumpah makanannya enak banget." Aku berucap antusias sembari menjilati kelima jariku yang berlumuran saus madu dari udang. Rasa pedas manisnya membuatku lupa diri dan menyimpan piring udang untukku sendiri.
"Iya, Sayaaang."
Kara menjawil hidungku.
"Sayang jauh banget tempatnya. Kalau dekat aku mau setiap hari datang ke sini buat makan udangnya." Aku mengangkat tinggi-tinggi piring ke hadapan Kara.
Ia hanya tertawa melihat tingkahku, sementara Grizelle dan Mas Agas juga sibuk dengan makanan masing-masing.
"Tapi pasti ada alasan kenapa Pak Kara ajak kita ke sini, 'kan, Pak? Nggak mungkin cuma karena mau makan aja. Ya walaupun makanannya enak, sih." Grizelle memberikan cengirannya.
Belum sempat Kara menjawab dugaan Grizelle, mataku tanpa sengaja menangkap potret seseorang yang begitu aku kenali di counter kasir. Aku mengerutkan kening, meneliti setiap inchi raut wajah pria berkacamata yang kini memiliki rambut lebih panjang.
"Pak Rion?" gumamku sepelan mungkin.
Aku menoleh ke arah Kara yang masih sibuk berdebat dengan Mas Agas kemudian berdiri menghampiri counter kasir yang tengah diurusi oleh mantan bosku di CoffeTalks.
"Pak Rion?"
Ia menoleh saat merasa namanya dipanggil. Senyum yang semula bertengger di wajahnya mendadak hilang saat matanya bertemu denganku. Ia mengerutkan kening kemudian menoleh ke kanan dan kiri.
"Chysara? Kamu ke sini sama siapa?" tanyanya. Raut wajahnya minim ekspresi, meski lirikan matanya tidak mengelabui bahwa ia tidak menyangka akan bertemu denganku saat ini.
"Aku sama Kara, Pak."
"Jangan panggil saya bapak. Saya bukan atasan kamu lagi sekarang."
Aku lihat ia tersenyum kemudian memberi kode pada salah satu pegawai untuk kembali mencoba mesin POS yang baru saja ia perbaiki.
"Kalian bagaimana?" tanyanya.
"Baik. Kami ke sini juga sama Mas Agas. Pak Rion mau ketemu?"
Butuh waktu beberapa detik sebelum ia mengangguk pelan dan mempersilahkan aku untuk jalan lebih dahulu.
Perbincangan tentang project menu baru seketika terhenti saat Mas Agas tiba-tiba berdiri ketika mendapati pria yang berjalan bersamaku.
"Rion?"
"Apa kabar, Gas?"
"Lo? Tempat ini?"
Rion mengangguk. "Iya. Gue yang kelola tempat ini. Dan kalau lihat reaksi Kara yang tetap tenang, gue tebak pasti Kara sudah tahu gue di sini sejak lama."
Kara hanya tertawa ringan kemudian menyalami Rion, seolah tidak pernah ada masalah di antara mereka berdua.
"Gue nggak tahu pasti kenapa lo pergi. Tapi gue tahu lo butuh waktu. Karena itu gue kasih lo waktu sepanjang yang lo mau, bukan berarti gue nggak nunggu lo pulang. Papa sama mama sudah tua, Ri. Mereka cuma mau anak mereka pulang."
Aku lihat Rion merapatkan bibirnya. Sementara Mas Agas masih terpaku menatap salah satu rekannya sejak empat tahun lalu berdiri di depannya. Mungkin, Mas Agas masih merasa bersalah karena kecurigaan yang ia rasakan punya andil dalam kepergian Rion saat itu. Begitu pula denganku. Bahkan, saat itu ada satu pertanyaan penting yang bersarang di kepalaku, apakah kembalinya Rion juga mengartikan kembalinya Eliana?
Terselip rasa ketakutan saat nama itu kembaliku sebut. Eliana, apakah ia sekarang menjadi bagian penting dalam hidup Rion? Apakah Eliana dapat semudah itu berubah hanya karena Rion?
Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, ketakutan itu terlalu mendominasi sehingga tubuhku tidak dapat mengendalikannya. Tubuhku terhuyung, Rion menjadi orang yang paling dekat untuk mencegahku jatuh dan mendudukkanku di samping Kara.
"Are you okay, Chysara?" tanya Kara dengan raut wajah kentara begitu khawatir.
"Iya. Mungkin karena kebanyakan makan udang." Aku berusaha berbohong.
Kara mengangguk lalu mempersilahkan Rion untuk bergabung dengan kami.
"Kondisi Chysara sudah nggak memungkinkan untuk ngurus CoffeTalks. Gue datang ke sini untuk minta bantuan lo untuk ...."
"Lo tahu gue akan selalu ada kalau lo butuh gue, 'kan, Kar?" Rion menghela napasnya. "Tapi sekarang masalahnya nggak sesimpel itu. Gue udah ambil keputusan untuk pergi, jadi ...."
"Gue sama Amar minta maaf sebesar-besarnya sama lo, Ri. Gue juga nggak tahu kenapa kita berpikir sampai sejauh itu soal lo." Mas Agas menyela.
"Gue enggak pernah permasalahin itu, Gas. Please, gue sudah enggak mau bahas itu lagi."
Dari lirikan matanya, Rion mengode Mas Agas untuk tidak membahas lebih dalam. Bagaimanapun, Kara tidak tahu kejadian malam itu, pun dengan apa yang dilakukan Eliana padanya empat tahun lalu. Semua orang sepakat untuk menutupi segalanya dari Kara hingga kondisinya lebih stabil.
"Ya terus apa yang ngebuat lo tetap enggak mau kembali, Ri? Ri! Selama tujuh bulan gue selalu ngerasa bersalah sama lo. Karena gue lo pergi, karena gue lo pisah sama Kara."
"Itu semua bukan salah lo, Gas. Itu semua murni keputusan gue sendiri." Rion tersenyum. "Lagi pula, gue udah susah payah bangun tempat ini. Enggak mungkin gue tinggal gitu aja, 'kan?"
"Rion ...."
"Tempat yang lo bilang tempat gue itu, itu tempat lo, Kar. Bukan punya gue."
Kara mengangguk pelan mendengar keputusan akhir Rion. Sembari menunduk, ia bangun dari duduknya dan mengajak kami untuk kembali ke Jakarta.
Kara menggenggam tanganku saat menuruni anak tangga. Ia tersenyum kemudian berkata. "Kamu percaya sama aku, 'kan?"
Aku mengangguk. Akan tetapi, ada satu hal yang mungkin bisa mengubah keputusan Rion.
"Kar, tunggu sebentar, ya? Ada hal yang mau aku sampaikan sama Rion."
Aku tidak mempedulikan rayt wajah bingung Kara lagi dan kembali masuk ke dalam menemui Rion.
"Pak!"
Aku lihat ia buru-buru menyeka wajahnya sebelum menoleh ke arahku.
"Kalau Pak Rion mau kembali. Aku akan bilang sama Papa Aji untuk maafin semua kesalahan Eliana. Aku akan bilang sama dia untuk terima Eliana sebagai pendamping hidup bapak. Aku enggak apa-apa."
Mungkin ada cara bicaraku yang salah saat menyampaikan maksud yang sebetulnya berat aku ucapkan, karena sekarang Rion mengerutkan keningnya lalu tertawa pelan.
"Apa kamu yakin?"
"Sebetulnya berat. Tapi ... ini semua demi Kara."
Aku tidak tahu apa yang saat ini aku rasakan. Mungkin bisa dikatakan aku iri pada Eliana, karena mendapat pengorbanan yang begitu besar dari Rion.
Jadi gimana kalau Eliana bakal kembali ke kehidupan mereka? Apa dia udah berubah?
Ehehehee ...
Aku sampe lupa kapan terakhir aku update cerita ini :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top