bab empat belas


Pak Rion memang benar-benar raja tega!

Aku tak henti membatin. Setelah kembali ke ruang marketing tim satu, Bu Tami memberi informasi perihal deadline untuk program promosi produk baru yang diminta oleh Pak Rion. Akhir minggu ini. Itu berarti, seminggu full kami akan disibukkan dengan uji pasar, trial promosi, sembari mempersiapkan event bulan depan.

"Pancaaa ... kan saya sudah bilang kalau design-nya harus tetap selaras dengan konsep CoffeTalks! Bicara! Bicara! Bicara! Kamu harus bikin ayam-ayam goreng itu bisa bicara!"

Bu Tami tidak lagi menempelkan handphone pada telinga, melainkan digenggam tepat di depan mulut agar si lawan bicara lebih mendengar suaranya meski aku yakin ia sudah menjauhkan handphone dari telinga guna menghindari teriakan Bu Tami.

"Chickens can't talk, Bu Tami. Or maybe if the chicken could talk, the chicken would beg forgiveness for not being Fried."

Itu suara Kara, dan tidak perlu satu menit untuk Bu Tami mematikan sambungan telepon begitu tahu siapa yang menyanggah ucapannya.

"Pak Kara."

Kara terlihat mengangguk kemudian berjalan santai dengan sebuah map di tangannya. Ia mendekat pada Bu Tami dan memberikan map yang ia bawa sebelum menatap pada kubikel kami berlima.

"Kalian tahu kenapa saya menamakan produk baru kita dengan nama ChiknTime? Alih-alih menamakannya ChicknTalk?" tanyanya seraya menduduki meja di kubikelku yang kebetulan berada paling ujung.

Hening. Di antara kami, tidak ada yang memiliki ide untuk menjawab pertanyaan Kara.

"Karena saya suka ayam." Kara tertawa pelan ketika menjawab pertanyaannya sendiri.

"Tapi karena saya tidak punya waktu untuk memasaknya sendiri, saya lebih suka membeli ayam di restoran fastfood. Makanya, saya menamakan brand kita Chick'nTime agar semua orang bisa memiliki waktunya untuk menikmati ayam. Bukan untuk berbicara dengan ayam. Sementara CoffeTalks itu memiliki konsep jika segelas kopi memang menjadi teman bicara."

Itu adalah penjelasan paling masuk akal yang mendasari penamaan sebuah brand. Aku akui, Kara pintar memilih nama untuk produknya.

"Kalian harus mengerti dulu maksud dari nama brand kita, agar kalian bisa menentukan tagline yang tepat, kemudian itu tumbuh dibenak konsumen sebagai sesuatu yang spesial. Bukan hanya sebuah iklan yang mungkin dua hingga tiga bulan akan dilupakan."

"Baik, Pak. Maaf."

"Bu Tami enggak perlu meminta maaf pada saya. Saya hanya memberikan arahan. Saya yakin apa yang Ibu lakukan barusan juga untuk keberhasilan perusahaan, 'kan?"

Kara bangun dari mejaku kemudian menunjuk map yang sempat ia berikan pada Bu Tami. "Disitu, ada beberapa konsep promo yang bisa kalian lakukan untuk produk baru. Saya dan Agas akan bantu kalian semampunya agar produk ini launching sesuai dengan target yang diharapkan."

Aku, Ami, Mas Joni, Eza, dan Runi sedikit mendongakkan kepala, rasa penasaran tiba-tiba muncul di kepala kami ketika melihat Bu Tami mengerutkan keningnya.

"Maaf, Pak. Lembar pertama hingga ketiga kosong?" Bu Tami memperlihatkan lembaran kosong pada Kara.

"Memang."

Aku berusaha untuk tidak mengumpat dan melempar Kara dengan pulpen yang ada di meja ketika ia tertawa setelah menjawab pertanyaan Bu Tami.

"Kalo cuma ngeledek. Sumpah becandanya enggak lucu!" gumamku berusaha sepelan mungkin.

"I can hear you, Chysa."

"Maaf, Pak," ucapku seraya menunduk.

"Bu Tami mau menggunakan promosi potongan harga pada konsumen baru? Apa itu akan berhasil? Iya! Tentu saja berhasil. Tapi bagaimana jika produk yang kita jual sudah tidak masa promosi? Apa kah akan ada kenaikan harga?"

"Tentu enggak, Pak. Karena, 'kan, awalnya memang sesuai harga. Hanya saja diawal kita memberikan potongan harga." Bu Tami mencoba menjelaskan. Sementara aku dan yang lain hanya bisa saling tatap mendengar perdebatan mereka.

"Oke. Bu Tami dan tim tahu itu. Saya dan Rion juga paham akan hal itu. Tapi apa konsumen kita juga berpikir seperti itu?"

Kara terlihat menghela napasnya. Pria itu menggeret kursi yang ada di depan meja Bu Tami kemudian mempersilahkan Bu Tami untuk duduk. Sementara Mas Agas yang sejak tadi diam, mengambil langkah keluar dan mendapat kursi untuk diduduki oleh Kara.

"Model bisnis bakar bakar uang sudah berlalu, Bu Tami. Saya ingin, CoffeTalks dan Chik'nTime punya bisnis model yang melekat pas di benak konsumen alih-alih memanjakan konsumen dengan potongan harga. Dengan begitu, pelanggan yang menikmati makanan kita, memang benar konsumen yang kita tuju sejak awal."

"Ahh ... Pak Kara betul. Jadi maksud bapak, kalau kita promo-promo aja, akan timbul dibenak konsumen harga promo itulah harga sebenarnya, kemudian nanti kalau masa promo sudah berakhir, konsumen akan menganggap kita menaikkan harga. Begitu, 'kan, Pak." Mas Joni berdiri menjelaskan apa yang dimaksud Kara.

Aku lihat Kara mengangguk samar.

"Kalau enggak promo harga per-pieces, bagaimana dengan konsep promo bundling harga, Pak? Jadi konsumen akan mendapatkan harga spesial hanya jika mereka beli dua jenis produk yang berbeda. Dengan begitu konsumen akan dengan sendirinya membandingkan harga per-pieces dengan promo yang ditawarkan. Sekalian kita mengenalkan harga kita juga?"

Berbeda jika diskusi dengan Pak Rion, Mas Joni terlihat begitu antusias menjabarkan apa yang ia pikirkan untuk saat ini pada Kara.

"Itu ide yang bagus. Saya setuju kalau kamu mau buat seperti itu." Kara menepuk kedua tangannya pelan kemudian memberikan dua jempol pada Mas Joni.

Bu Tami baru akan memberikan suara sebelum Pak Kara memberi kode bahwa ia harus diam sejenak. "Kalau begitu, saya minta lima contoh bundling yang akan dipromokan, untuk menu dan harganya nanti akan Agas siapkan untuk kalian dan jangan lupa koordinasikan dengan tim marketing dua untuk pelaksanaannya dan tim marketing tiga untuk bentuk iklannya."

"Baik, Pak."

Bu Tami menggeleng pelan sementara Mas Agas menghela napas panjang seraya bertolak pinggang. "Kar."

"Kalau target market kita sudah jelas, 'kan? Pekerja kantoran, mahasiswa dan pelajar. Jadi saya ingin bentuk iklannya dibuat seinformatif mungkin, dengan konsep yang ceria. Saya yakin produk kita ini bisa diterima dengan baik oleh konsumen."

Kara mengabaikan panggilan dari Mas Agas. Pria itu malah sibuk dengan tablet yang ia minta dari Mas Agas dan memeriksa sesuatu.

"Kemarin siapa yang membuat quissioner? Sore ini ikut saya diskusi dengan bagian pembuat iklan agar mereka bisa memulai membuat konsepnya."

"Sa-saya, Pak?"

"Kamu, Chysa? Ya sudah. Sore nanti kita ...."

"Kara!" Mas Agas teriak tepat di telinga Kara.

Seisi ruangan terlonjak. Begitu juga Kara yang kini sudah mengusap telinganya dan menatap Mas Agas dengan mata yang melotot. "Kenapa, sih, Gas?"

"Sora sore sora sore! Mau kapan? Ini udah hampir jam pulang." Mas Agas menunjuk jam dipergelangan tangannya.

Aku, Ami, dan Runi saling tatap melihat interaksi mereka. Sementara Bu Tami menggaruk tengkuk karena merasa sungkan dengan protes Mas Agas.

"Sabar, Gas. Lo juga kalo mau balik, balik duluan aja. Gue balik bareng Chysa nanti." Kara tiba-tiba menoleh ke arahku. "Kamu bisa pastiin saya enggak akan lembur, 'kan?"

"Saya, Pak?" Aku menunjuk diriku sendiri.

"Iya. Kamu."

"Enggak. Lo balik bareng gue," putus Mas Agas.

"Gas."

"Kar."

"Cuma sebentar aja, Gas. Gue cuma mau diskusi sama bagian tim tiga untuk project iklan. Masa harus Rion terus yang ngerjain? Kalau gitu ngapain gue ada di sini? Jadi pajangan? Mending di rumah. Sekalian lo pajang gue di etalase atau aquarium."

Dari nada suaranya, aku tahu Kara berusaha menyimpan emosi. Mungkin ia juga merasa risi dengan perlakuan berlebihan dari Pak Rion atau Mas Agas terhadapnya. Mungkin juga Kara menyadari bahwa selama ini karyawan lain lebih menganggap Pak Rion sebagai atasan dibanding dirinya. Jika aku yang berada di posisinya saat ini, mungkin aku akan melakukan hal sama dengannya.

Belum sempat Mas Agas kembali mengeluarkan suara. Kara justru tertawa, ia menggeleng pelan, bangun dari kursinya dan keluar ruangan begitu saja.

"Kar."

Tidak ada jawaban dari Kara. Pria itu berlalu begitu saja meninggalkan Mas Agas. Mas Agas menunduk samar pada Bu Tami, berniat pamit sebelum aku mencegahnya pergi.

"Tunggu, Mas."

"Ada apa?" tanya Mas Agas saat menoleh ke arahku.

Aku menelan saliva susah payah. Sedikit menyesal menahan Mas Agas untuk menyuarakan niat yang tidak aku pikirkan dulu sebelumnya.

"Memang batas Pak Kara kerja sampai jam berapa? Kan sekarang baru jam dua nih. Gimana aku sama Pak Kara langsung ke marketing tim tiga, jadi Pak Kara enggak terlalu sore pulangnya. Jujur, Mas. Saya takut kalau harus lihat Pak Rion marah-marah terus."

"Terus? Lo mau jadiin Kara sebagai tameng gitu?"

"E-enggak gitu juga, Mas." Aku menggeleng keras di depan Mas Agas. Gelagapan juga berbicara dengan orang yang berusaha melindungi Kara mati-matian seperti Mas Agas.

"Maksudku enggak gitu, Mas. Tapi kita juga butuh masukan dari Pak Kara, Mas."

Mas Agas memilih diam. Mungkin ia sedang memikirkan permintaanku barusan.

"Ya sudah. Berapa nomor handphone lo? Jadi kalau sampe Kara pulang lewat jam malamnya. Lo yang bakal gue salahin!"

"Siap, Mas."

Meski takut akan ancaman Mas Agas, aku tetap memberikan nomor handphone-ku padanya. Anggap saja ini sebagai balas jasa atas pertolongan Kara padaku empat tahun yang lalu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top