bab duapuluh sembilan

Sesuai apa yang diucapkan Pak Rion pagi tadi. Seluruh tim marketing berkumpul di ruang meeting untuk membahas rencana ekspansi yang akan disampaikan Pak Rion.

Aku menggulirkan laman intranet pada laptop sebelum Pak Rion dan Mas Agas datang menempati kursi paling depan. Kara datang tidak lama setelahnya, dengan plester penurun panas yang masih menempel di keningnya, aku mengepalkan tangan di depan mulut untuk menutupi tawa.

"Kepala lo kenapa?" tanya Mas Agas setelah Kara duduk di sampingnya.

"Agak panas tadi. Makanya gue pakein ini biar enakan."

Dari cara bicaranya, aku tahu Kara tengah merasa canggung karena patch tersebut. Namun, senyumku terbit ketika mengetahui bahwa ia mendengarkan permintaanku.

[ Kamu kelihatan manis pakai plester penurun panas kayak gitu, pake seterusnya juga enggak masalah. ]

Aku mengirimkan pesan untuk menggodanya. Kara terlihat memajukan bibirnya sekilas sebelum mencebik sebal.

[ Tunggu pembalasan aku, ya. ]

Aku hampir saja meloloskan tawa ketika membaca balasannya. Eza menyenggol lenganku saat Pak Rion menatap tajam ke arah kami.

"Kalau kamu tidak fokus. Lebih baik keluar dari sini."

"Maaf, Pak."

Aku mematikan handphone dan kembali fokus pada meeting kali ini. Kara sempat menahan tawa melihatku ditegur Pak Rion. Menyebalkan! Jika saja tidak di ruang meeting, aku pasti sudah mencubit pinggangnya agar berhenti tertawa. Tunggu saja pembalasanku nanti!

"Seperti yang kalian tahu, produk baru kita akan launching dalam dua minggu. Saya dan Dhiwangkara sepakat untuk membuat sesuatu yang mungkin akan membantu dalam mempromosikan produk baru tersebut. Dan, tugas kalian adalah membuat materi untuk sosialisasi ke masyarakat luas."

Kami semua mencatat dengan baik point-point apa saja yang disampaikan Pak Rion.

"Jika rencana awal kita akan membuat pojok space untuk Chick'nTime di setiap outlet CoffeTalks. Kali ini kita akan mengembangkan Chick'nTime lebih dekat lagi. Dengan menggunakan food container."

Semua audiens di ruangan kompak menegapkan tubuh saat mendengar ide yang dilayangkan Pak Rion. Sementara pria berusia 27 tahun itu sibuk menyambungkan kabel proyektor ke laptopnya.

Nyala monitor menampilkan sebuah avatar berbentuk mobil karavan dengan logo chick'nTime di hampir setengah body-nya. Ide Kara soal avatar dan AI asisstant dengan seragam barista sebagai asisten di dalam aplikasi pelanggan CoffeTalks dan Chick'nTime benar-benar cepat untuk direalisasikan.

Aku jelas antusias menyambut ide tersebut. Selain alasan harga terjangkau, mobil dengan bentuk food container akan lebih mudah dalam perizinan. Terlebih, rencana Kara untuk membuat Chick'nTime menjangkau setiap sudut sekolah mungkin akan lebih cepat tercapai dengan toko yang bergerak.

"Jadi, perkenalkan. Dia Cotta, asisten digital pengguna aplikasi CoffeTalks yang baru."

Pak Rion menampilkan sebuah avatar laki-laki berseragam barista CoffeTalks di power point. Aku sudah mendengarnya dari Kara, dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, ia berharap Cotta bisa membantu masalah yang dihadapi pelanggan jika berkunjung ke CoffeTalks selama 24 jam.

Senyumku terkembang apik sepanjang menonton video perkenalan Cotta. Karakter itu, mirip dengan Kara yang selalu tersenyum dan berbicara dengan penuh kehangatan.

"Setelah kalian mengenal Cotta, saya ingin kalian membuat materi untuk mengiklankan karakternya. Bagaimana dia bersikap, bagaimana dia akan membantu pelanggan. Saya ingin karakter Cotta menjadi teman untuk menikmati kopi di CoffeTalk."

Pak Rion menambahkan. Aku segera mencatat point-point yang diminta Pak Rion sebagai acuan pekerjaan nanti. Dengan informasi budaya kerja dan juga visi misi dibangunnya CoffeTalk, satu ide terlintas dalam benakku.

"Ada yang mau menambahkan apa saja service yang dilakukan Cotta?" tanya Pak Rion.

Aku segera mengangkat tangan.

"Chysara?"

"Bagaimana dengan pengukuran detak jantung, Pak?"

"Maksudnya?" Pak Rion memberikan atensi penuh terhadapku.

"Karena aplikasi member CoffeTalks dipasang di smartphone, kenapa kita enggak menambahkan alat untuk ukur detak jantung seperti yang ada di smart watch? Jadi aplikasi akan dihubungkan ke smartwatch kemudian mengukur detak jantung pengguna. Akan membantu juga untuk pelanggan yang sebetulnya mungkin sedang tidak disarankan minum kopi."

Aku menjeda ucapanku.

"Lalu?" Pak Rion sedikit menuntut.

"Lalu Cotta akan menyarankan untuk pengguna aplikasi agar memilih menu lain, kemudian memberikan sedikit tips kesehatan. Dengan tagline, teman kopi yang mengerti kebutuhanmu."

Pak Rion menepuk tangannya keras, disusul dengan Kara, Pak Heri dan semua orang yang mendengarkan ideku. Aku mengembangkan senyum, bahkan lebih lebar ketika Kara mengacungkan kedua jempolnya ke arahku.

****

Aku meregangkan otot ketika jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Setelah membuat kerangka promosi yang akan dibuat untuk aplikasi terbaru, aku mengecek handphone dan mengerutkan kening saat mendapati banyak pesan yang dikirim oleh Fai untukku.

Aku pikir, setelah tidak ada kabar sepanjang hari minggu dan senin ini, ia sudah setuju untuk berpisah denganku. Namun, nyatanya ia mengirimkan pesan bahwa ia akan datang ke rumah malam ini.

Aku menggigit kuku untuk mempertimbangkan balasan apa yang akan aku kirimkan pada Fai. Terlebih, setelah meeting siang tadi Kara mengatakan ingin mengajakku pergi untuk makan malam.

Kebimbangan ini kenapa menjadikan aku merasa seperti punya dua orang pacar?

Aku mengembuskan napas panjang kemudian mengirimkan pesan balasan untuk menyetujui permintaan Fai bertemu di rumah. Setelahnya, aku mengirim pesan pada Kara untuk membatalkan rencananya karena aku akan bertemu dengan Fai malam ini.

Tidak ada yang Kara katakan dalam pesannya, hanya sebuah emot tersenyum disusul jempol sebagai balasan kabar dariku. Aku langsung menekan tombol panggil dan menempelkan benda pipih itu ke telinga. Entah kenapa, ada rasa takut yang timbul dalam diriku jika Kara marah aku bertemu dengan Fairuz.

[ "Hmm?" ]

"Kamu marah sama aku karena kita batal pergi makan malam?" tanyaku mendengar gumaman Kara.

[ "Yah mau bagaimana lagi. Aku memang cuma lelaki simpanan, jadi harus ngalah dan rela jadi yang kedua, 'kan?" ]

"Enggak gitu, Mas."

Aku sengaja mengubah panggilanku padanya agar ia berhenti marah. Kara tidak bersuara. Aku memanggilnya untuk memastikan panggilan masih tersambung.

[ "Harus banget, ya, kamu panggil aku dengan sebutan begitu? Haaa ... aku jadi enggak rela kamu panggil Agas dengan sebutan Mas." ]

Seperti ada ribuan kupu-kupu di dalam perutku dan membuatku terpaksa meloloskan tawa kecil agar tidak terdengan Runi.

"Bagaimana besok sore kita ketemuan? Banyak hal yang mau aku bagi sama kamu."

[ "As you wish, Princess. Kabari aku kalau pertemuan kamu sama Fairuz berjalan dengan lancar. Aku harap urusan kalian benar-benar selesai." ]

Segera setelah sambungan terputus aku langsung memberi kabar pada papa-mama di rumah dan bergegas pulang.

Fairuz sampai setelah setengah jam aku membersihkan diri. Ia membawa sebuah paperbag kecil serta satu bouquet bunga mawar putih dan merah muda yang langsung ia berikan padaku saat kami bersitatap.

"Terima kasih." Aku dengan canggung menerima bouquet pemberiannya.

"Ada yang mau aku bicarain sama kamu dan papa, Chya," ucapnya saat aku duduk di sofa single, menolak duduk di sampingnya.

"Papa?"

"Aku udah kirim pesan ke papa kamu tadi pagi. Selain minta maaf, aku mau sekaligus meminta izin papa untuk segera menikahi kamu.

"Menikah?!"

Aku refleks berdiri. Aku kaget, tentu saja! Apa Fairuz tidak ingat bahwa ia hampir saja mencelakakan aku dengan meninggalkan aku di daerah yang tidak aku kenali saat malam hari? Bahkan, dadaku masih sangat terasa sesak ketika mengingat segala makian dan tuduhan tidak berdasar yang ia layangkan padaku.

Papa dan mama yang semula berada di dalam, langsung menghampiri karena suaraku terdengar terlalu keras. Mereka duduk di sofa yang berseberangan dengan Fai kemudian menatapku dengan penuh tanda tanya.

"Kamu kaget banget, Chya? Memang Fairuz enggak cerita sama kamu kalau mau datang hari ini untuk bicarakan itu?" tanya mama. Wajahnya dihiasi senyum cerah mendengar kabar yang disampaikan Fairuz.

"Enggak. Fairuz enggak bilang apa-apa. Karena sebulan ini hubungan kita memang selalu ribut. Aku aja bingung kenapa dia tiba-tiba ngelamar aku setelah dia bikin ribut di acara event kantor aku, trus narik aku pulang tapi habis itu aku ditinggal di jalan gitu aja."

Papa yang semula duduk santai berubah tegang. Ia membuka kacamatanya kemudian menatap Fairuz dengan tatapan tidak percaya.

"Saat itu kamu yang pilih untuk pergi, Chya. Aku enggak benar-benar ninggalin kamu saat itu. Aku marah, karena kamu selalu memprioritaskan segalanya dibanding hubungan kita."

Satu kali lagi, ia menyalahkanku atas semua yang terjadi. Dan, apa tadi dia bilang? Tidak benar-benar meninggalkanku? Jika benar begitu, seharusnya dia tahu bersama siapa aku menghabiskan waktuku sepanjang malam setelah menangis karenanya. Tapi, melihat responsnya setenang sekarang, aku yakin Fairuz tidak tahu apa-apa mengenai Dhiwangkara.

"Chysara dengar Mama, Sayang. Setiap hubungan memang akan ada keributan kecil, tapi itu harusnya membentuk kalian menjadi lebih dewasa. Fairuz benar, jika kalian menikah Fairuz memang akan menjadi prioritas kamu, tidak seharusnya mementingkan pilihan kamu sendiri."

Hatiku mencelus begitu mendengar ucapan mama. Aku tahu, lebih dari siapapun jika akhirnya aku menikah dengan Fairuz, aku harus memprioritaskan dirinya. Namun, aku juga ingin memastikan papa kembali sehat lebih dulu sebelum aku menikah. Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, apa aku salah jika saat ini aku memilih untuk merawat papa lebih dulu dibanding kebahagiaanku?

Jika aku harus memprioritaskan Fairuz, bagaimana dengan Fairuz sendiri? Apa dia akan memprioritaskan aku di atas ibunya? Atau, jika memang Fairuz menganggapku prioritas, apa ia tidak bisa mendukung setiap pilihan yang aku ambil? Sepertinya pernikahan yang mama bilang hanya akan menjadikanku sebagai objek yang harus menuruti perkataan semua orang.

"Chysara, boleh Papa bicara sama kamu berdua saja?"

Papa yang sejak tadi diam akhirnya mengeluarkan suara. Tanpa mempedulikan Fairuz, papa mengajakku ke halaman belakang dan duduk bersama di kursi panjang.

"Papa enggak sadar kalau ternyata kamu sudah memasuki usia menikah, Chysara."

Papa bersuara tanpa menatapku, ia mendongak, menatap langit malam kemudian menghela napasnya. Sebelum Kara, papa adalah satu-satunya orang yang tidak pernah memanggilku dengan sebutan 'Chya'.

"Menurut papa, apa aku salah menunda untuk menikah? Aku cuma mau fokus kerja dan ngerawat papa dulu." Aku tidak tahu kenapa, tapi ada perasaan sesak ketika bicara dengan papa, perlahan air mataku menetes dan papa mengulurkan tangannya untuk mengusap pipiku.

"Maafin karena Papa enggak becus jadi orang tua yang baik, ya, Sayang. Kamu bahkan harus mengorbankan diri untuk merawat Papa."

Aku beringsut memeluk papa, tangisku pecah di pelukan pria yang paling aku cintai seumur hidupku ini. Aku pernah menyalahkan hidup ketika kami bangkrut, tapi aku tidak pernah menyalahkan papa. Aku tahu, saat itu, diantara kami semua, papa adalah orang yang paling merasakan kecewa. Oleh karena itu, Aku selalu bersikap menerima segalanya di depan papa. Aku tahu, ia berusaha lebih dari yang kami semua tahu.

"Papa enggak pernah salah, Pa. Semuanya mungkin sudah jalannya untuk Chysara jadi lebih kuat. Chysara enggak pernah nyesal jadi anak papa." Aku mengeratkan pelukan. "Chysara sudah pikirkan matang-matang, Pa. Jika suatu saat nanti Chysara akan menikah, Chysara tetap harus bisa berdiri di kaki Chysara sendiri, itu,'kan, yang dari dulu papa ajarkan ke aku? Tapi Fairuz mau aku bergantung sama dia tanpa aku bisa melawan, Pa. Aku enggak mau."

"Papa dukung apa pun keputusan kamu, Sayang. Tapi ingat, keputusan apa pun yang kamu ambil, kamu harus berani menanggung risikonya, jangan pernah menyesali keputusan yang kamu ambil, seberat apa pun rintangannya. Papa pernah bilang, 'kan? Kalau kamu melewati jalan yang sulit, itu berarti kamu berada di jalan yang benar. Karena jalan yang benar, tidak pernah dilalui dengan mudah."


Ngebayangin Kara gemesh banget pake bye-bye fever 😩😩

Makanya Chya, jangan seneng mulu di awal-awal, nangeeees kan?

Jujurly ini part sebetulnya panjang banget, tapi aku pangkas jadi dua bab, makanya semalam enggak ku-update (alesan sih sebetulnya belum selesai diketik wkwkwk)

Udah deh, happy reading aja. Semoga senin kalian enggak segila seninku kemarin 😩😩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top