bab duapuluh satu
Aku hanya bisa memalingkan wajah ke sembarang arah ketika Kara beringsut dari tempat duduknya, berjongkok di bawah dan mendongak tepat ke arahku.
"Chysara kamu baik-baik saja?"
Pertanyaan bernada khawatir itu tidak langsung aku jawab karena jawabannya adalah tidak. Aku tidak baik-baik saja saat mendengar kenyataan bahwa aku sudah jauh tertinggal darinya yang melupakanku seolah itu bukan apa-apa. Meski aku mencoba untuk terlihat baik-baik saja, ada perasaan marah yang bercokol dalam hatiku akibat pertanyaan kenapa harus aku yang dilupakan olehnya? Kenapa kami harus bertemu empat tahun lalu?
Namun, sebanyak apapun aku mendapat jawabannya. Nyatanya jawaban-jawaban itu tidak akan dapat mengurangi rasa sakit yang aku pupuk seorang diri.
"Saya baik-baik aja, 'kok, Pak. Tadi saya sudah bilang, 'kan kalau saya ke sini mau beli sesuatu untuk makan. Mungkin saya laper, jadi sensitif."
"Saya baru tahu kalau ada orang yang bisa menangis karena lapar." Kara menganggukkan kepalanya. Mencoba mengerti apa yang aku sampaikan sebagai alasan.
Aku tertawa meski air tidak berhenti merembes dari mataku saat melihat kebingungannya.
"Ya sudah. Bagaimana kalah saya belikan kamu sesuatu untuk makan. Hitung-hitung sebagai bayaran kamu menemani saya di sini."
Tanpa menunggu jawaban, Kara langsung berdiri dan berlari hingga masuk ke dalam Lawson. Tidak lama kemudian, tangannya menenteng satu bungkus roti dan dua botol minuman isotonik dan menyodorkannya padaku.
"Ini. Bayaran atas semua cerita saya barusan dan perhatian kamu terhadap saya. Tapi makasih, Pak."
"Sama-sama."
Aku membuka bungkus roti dan membaginya pada Kara. Ia sempat menolak, sebelum akhirnya menuruti keinginanku agar makan bersama.
"Jadi CEO berat enggak, Pak? Kalau boleh tahu, apa cita-cita bapak waktu kecil?"
Aku lihat Kara menghentikan kunyahannya. Roti yang ada di dalam mulutnya langsung ia telan hingga menimbulkan ekspresi menahan sakit akibat tersedak.
"Pak?"
"Saya baik-baik saja, Chysara. Tapi saya ingat bahwa saya ada janji siang ini dengan orang luar. Saya permisi dulu, ya?"
Aku hanya diam saat Kara lantas buru-buru melangkah kembali ke dalam kantor sebelum memutuskan untuk berlari mengejar langkahnya. Namun, Kara tiba-tiba menghentikan langkah. Kepalanya perlahan mendongak ke kanan dan ke kiri, seolah tengah mencari sesuatu.
Aku mempercepat langkah dan menggapai lengannya. "Pak? Pak Kara baik-baik saja?"
"Iya? Ada apa?" tanyanya yang membuatku mengerutkan kening.
"Kok ada apa, Pak? Kan tadi bapak bilang ada janji sama orang luar siang ini. Bapak lagi cari Mas Agas? Mau saya bantu telepon?"
Kara terlihat ragu dengan apa yang aku tawarkan, alisnya bertaut samar sebelum menggeleng pelan. "Enggak perlu. Saya bisa hubungi Agas sendiri."
Bukan hanya penolakan Kara yang membuatku bingung. Akan tetapi, gestur tangannya yang melepas tanganku dari lengannya seperti seolah tidak nyaman membuatku bertanya-tanya, apakah Kara enggan dekat denganku jika ada di ruang lingkup pekerjaan? Karena kemarin aku pikir jarak di antara kami sudah sedikit terkikis.
Bahkan tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Dhiwangkara langsung melangkah, menjauh dan memasuki lift yang terbuka dengan membawa karton di tangannya tanpa menoleh sama sekali.
"Ketika kamu memutuskan untuk melupakan itu, sebetulnya kamu sudah kalah. Karena saat kamu baru mulai meninggalkan, dia sudah pergi jauh sejak dulu tanpa kamu sadari."
Apa ini maksudnya saat dia mengatakan aku sudah kalah? Aku sudah kalah jauh sebelum kami bertemu kembali. Bagi Dhiwangkara, aku bukan lawannya, karena itu ia tidak pernah merasa menang, tetapi sebaliknya. Aku kalah dalam hal melupakannya.
Jika Kara tidak nyaman mendapat tatapan karyawan lain saat sedang bersamaku, maka aku harus tahu diri untuk tidak lagi mendekat padanya. Lagi pula, bukankah aku sendiri yang sudah bertekad bahwa hanya akan menganggap Kara sebagai salah satu bos tempatku bekerja?
"Chya! Lo dari mana aja?"
Teriakan itu menarikku kembali ke realitas. Aku menoleh dan mendapati Eza, Runi, dan Ami baru saja keluar dari lift yang bersebelahan dengan lift yang membawa Kara.
"Kalian dari GA? Gimana soal property event-nya?" tanyaku yang mengikuti langkah ke dalam kafe. Sebelum makan siang, mereka bertiga menyempatkan diri membeli es kopi.
"Aman! Baliho, umbul-umbul semuanya beres! Set POS juga bakal disiapin empat sampe lima perangkat, jadi buat jual manual bakalan kebantu banget kalo nanti inputnya malem, jadi anak store enggak bakal lembur buat input penjualan malem-malem." Eza menjelaskan soal persiapan.
"Nanti acaranya lama enggak kira-kira? Maksudnya, 'kan jauh tuh. Bakalan pulang tengah malem enggak kita?" tanyaku pada Eza. Sebelumnya, belum pernah ada bahasan soal jam kerja di acara event itu.
Eza menatap Runi dan Ami bergantian. Ada apa? Apa aku melewatkan sesuatu?
"Kenapa?" tanyaku.
"Acaranya sampe malem, Chya. Kita bakal nginep di sana, biasanya sih bakalan di sewain penginapan gitu. Emang lo enggak boleh kalau dinas luar?" Runi menjawab saat mengambil empat asian dolce latte dari barista sesuai pesanan kami.
"Serius?"
"Iya. Emang lo pikir kenapa kita bakal pulang pergi gitu? Perjalanan ke sana aja bisa tiga setengah jam lebih, Chya." Tangan Eza terangkat menggeplak kepalaku hingga aku mengaduh lalu memimpin jalan kembali ke lantai empat.
****
Setelah menghabiskan catering, kami diberitahu bahwa akan diadakan pertemuan singkat dengan marketing tim dua yang juga akan diperbantukan dalam acara event.
Panca terlihat bersemangat, sementara Astrid mengeluh karena harus satu ruang lingkup kembali dengan Eza yang notabene adalah mantan pacarnya enam bulan lalu. Aku dengar cerita itu dari Mas Joni, katanya Eza ketahuan selingkuh dengan karyawan outlet CoffeTalks yang ia temui beberapa bulan sebelumnya. Aku tertawa mengingat cerita Mas Joni saat itu.
Pak Rion, Mas Agas, dan Kara datang tidak lama setelah Bu Tami dan Pak Heri, kepala tim dua datang. Setelah Pak Heri menyampaikan rundown acara dan informasi tempat menginap yang adalah villa milik keluarga Kailas. Bu Tami menyampaikan perihal cara penjualan yang sempat dibahas tadi pagi.
"Jadi nanti akan disiapkan lima buah komputer POS untuk menginput penjualan yang dilakukan secara manual. Sementara tujuh hingga sepuluh personil yang akan ikut event akan menyebar menawarkan secara people to people, Pak."
Kami semua kompak mengangguk. Itu sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Eza dan Runi tadi pagi padaku saat menceritakan diskusi mereka dengan Kara.
"Dan tadi sesuai dengan masukan dari Pak Rion, packaging kemasan kita akan dibuat dari karton tebal dengan dua sekat seperti ini, untuk memisahkan antara minuman dan pastry kita."
Bu Tami menunjukkan sebuah karton yang begitu aku kenali. Itu adalah karton yang Kara sempat tunjukkan padaku siang ini. Akan tetapi, kenapa Bu Tami mengatakan itu saran dari Pak Rion?
"Wah! Gila Pak Rion, padahal baru tadi pagi dia dengar masalah packaging. Langsung punya solusi loh."
Aku jelas tidak setuju dengan apa yang diucapkan Eza tentang Pak Rion. Bukan aku membela Kara, tetapi aku melihat sendiri bagaimana Kara melipat karton tersebut sebelum makan siang tadi. Pandanganku beralih pada Kara, pria itu terlihat membisikan sesuatu pada Mas Agas kemudian meminta karton tersebut dari Bu Tami.
"Bagaimana Pak?" tanya Bu Tami saat Kara membolak-balik karton tersebut.
"Saya setuju saja. Minta orang creative untuk membuat design sesuai dengan pola karton, kemudian kirim ke GA untuk pemesanan oleh pihak supplier. Warna apa yang sekiranya bagus?"
"Cokelat dan putih gading, Pak?" Aku menjawab ragu ke arah Kara.
Seluruh atensi di ruang meeting jadi terarah ke padaku saat aku menyuarakan pendapat. Itu bukan sepenuhnya masukan dariku, melainkan ide Kara yang ingin karton itu sama dengan warna outlet CoffeTalks.
"Itu bagus. Konsepnya jadi sama dengan outlet CoffeTalks. Bagus, Chysara." Kara berkomentar lalu memujiku.
Apa ini sama dengan saat Eza memberikan ide bundling harga yang sebenarnya sudah dituangkan Kara? Dimana ia memberikan kesempatan orang lain untuk menunjukkan eksistensi mereka tanpa peduli seharusnya ia yang mendapat pengakuan itu? Apa itu berarti besar kemungkinan bahwa ide-ide besar Pak Rion juga berasal dari Dhiwangkara selama ini? Tetapi selama ini banyak sekali karyawan yang menilai Kara tidak ada apa-apanya dibanding Pak Rion.
Entahlah, hanya Dhiwangkara yang tahu maksud dirinya mengambil sikap seperti itu.
Sepanjang meeting, Kara tidak mengatakan apa-apa lagi selain persetujuan dari masukan yang diberikan Pak Rion. Sesekali matanya memejam, kemudian menatap seisi ruangan lalu Mas Agas dengan kening berkerut. Ada apa dengannya? Apa ada yang salah dengan kepalanya karena luka tempo hari?
"Ri?"
Perbincangan Pak Rion dan Bu Tami terhenti begitu saja ketika Kara memanggil nama Pak Rion. "Iya, Kar?"
Kara terlihat ragu, Mas Agas baru memperhatikan bahwa ada yang salah dengan Kara saat pria itu mendengar Kara memanggil Pak Rion. Tanpa sadar aku ikut memperhatikan wajah Kara yang terlihat linglung saat ini.
"Lo sakit, Kar?" Suara Mas Agas dibuat sepelan mungkin, tetapi tetap terdengar oleh kami semua yang kini sudah saling tatap melihat Kara.
Ia terlihat menatap Pak Rion yang kini sudah mendekat. "Ada apa, Kar?"
Kara tidak langsung menjawab. Pria itu menelan ludahnya beberapa kali sebelum melontarkan pertanyaan. "Lo tahu, siapa Amar?"
Ada yang tahu siapa Amar?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top