Bab duapuluh lima
Jam menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit saat mobil Kara menempati parkiran minimarket tempatku duduk sembari melipat lutut. Aku mencoba menghentikan tangis meski napas masih tersenggal karena terlalu lama menangis.
"Chysara, are you okay!"
Pertanyaan Kara disusul gerakan memerangkap wajahku tepat di depannya membuat aku kembali mengeraskan tangisan. Entah apa yang aku pikirkan saat Kara menelponku dan bertanya perihal keberadaan Mas Agas yang tidak bisa dihubungi, aku justru meminta pertolongannya untuk menjemputku saat itu juga.
Kara dalam perjalanan menuju villa, ia bermaksud menelpon Mas Agas untuk menanyakan apa ada yang asistennya itu butuhkan untuk Kara beli ketika aku memberi kabar soal keberadaanku.
"Saya tidak akan bertanya apa yang terjadi pada kamu saat ini, Chysa. Tapi kamu tahu saya akan selalu mendengar semua yang kamu katakan."
Kara menarik pelan tubuhku ke dalam pelukannya. Ada rasa hangat yang muncul ketika tangannya mengelus pundakku dengan tempo pelan. Kelamaan, ketakutan yang sejak tadi memerangkapku hilang digantikan rasa nyaman di dalam pelukan Kara.
"Bagaimana kalau kita kembali ke villa?" tawar Kara.
Aku menggeleng seraya meremas baju yang dikenakannya di dalam pelukan. "Saya malu sama Pak Rion dan yang lain, Pak. Terlebih sama Mas Agas."
"Agas?"
Aku tidak berani menjawab tuntutan Kara untuk bercerita lebih jauh.
Terdengar helaan napas pelan saat Kara mengurai pelukanku. Ia membawaku berdiri dan masuk ke dalam mobilnya.
"Kamu suka laut?"
Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaannya. Kara tidak bicara lagi setelah itu, mobilnya menyusuri jalan yang lumayan gelap dan berhenti di salah satu resort yang ada di Pantai Carita.
"Kita menginap di sini malam ini? Besok pagi saya akan bawa kamu ke tempat yang kamu suka."
Kara menarik pelan lenganku agar mengikutinya. "Ta-tapi, Pak."
"Perjalanan dari Jakarta ke tempat ini tiga jam, Chysara. Saya enggak mungkin kembali lagi, kamu tahu Agas dan Rion pasti marah kalau saya terlalu capek, 'kan?"
Aku hanya menurut saat Kara membawaku ke dalam kamar dengan jendela besar. Memilih mengecek handphone, tidak ada satupun pesan atau panggilan dari Fai. Aku terus bertanya dalam hati, apa benar semuanya terjadi karena kesalahanku sehingga Fai begitu merasa tersakiti? Lalu bagaimana dengan semua rasa sakit yang aku rasakan? Apa itu tidak ada artinya?
"Makan dulu, Chysa?"
Aku buru-buru mengelap air mata yang membasahi wajah saat suara Kara kembali setelah beberapa saat lalu pamit keluar. Ia membawa piring berisi jagung bakar, ikan bakar juga segelas air putih di atas nampan dan duduk di sampingku.
"Masih belum?" tanyanya. Matanya menatap lekat dengan tangan terulur mengelap sisa air mata yang berada di ujung mataku.
Ditatap sedemikian lekat olehnya membuat aku teringat dengan cerita Mas Agas sebelum ini. Seandainya situasinya mendukung, mungkin aku akan mengaku dan meminta maaf pada Kara saat ini. Namun, semakin aku mengenalnya. Aku semakin sadar akan kesalahan yang aku buat pada Kara.
Mungkin benar apa yang dikatakan Fairuz, kalau sebetulnya akulah penyebab semua kekacauan ini. Tidak seharusnya kami kembali bertemu seperti sekarang ini.
"Chysara, kamu kenapa?"
"Maafin saya, Pak." Aku memberanikan diri untuk mengucapkan kata maaf.
"Untuk apa?" Kara mendekatkan wajahnya pada wajahku yang semakin lama semakin menunduk.
"Seharusnya saya enggak pernah ketemu sama bapak. Seharusnya ...."
Ucapanku terhenti saat Kara menarik tubuhku hingga ke dalam pelukannya. Tidak! Ini tidak benar. Perlakuan Kara terlalu lembut untukku yang sudah membuat hidupnya menderita selama empat tahun ini.
"Jangan bicara lagi kalau kamu belum sanggup. Saya maafkan semua kesalahan yang kamu sengaja ataupun tidak sengaja."
Aku merasakan tangan Kara yang mengelus punggungku dengan tempo pelan. Setelah aku mulai tenang, Kara mengurai pelukan dan memberikan aku segelas air untuk melegakan tenggorokan.
"Kamu mau keluar? Mungkin angin malam bisa membuat kamu tenang."
Mengabaikan makanan yang dibawanya, Kara mengajakku berdiri, ia mendekati pintu kaca besar dan menggesernya. Angin malam langsung menyapa begitu aku berdiri di bibir pintu.
"Terima kasih, Pak," ucapku lirih dengan mata yang masih menghadap hamparan laut malam. "Lautnya cantik."
"Ada yang lebih cantik dibanding laut malam ini, Chysara."
Aku memilih untuk tidak menjawab pernyataannya. Melangkah pada teras dengan dinding pembatas setinggi pinggang orang dewasa, aku menarik napas dalam-dalam untuk memasok udara sebanyak yang aku bisa. Saat aku menoleh, ternyata Kara berdiri di sampingku dengan senyuman seperti biasanya.
"Kenapa? Kamu mau minta maaf lagi sama saya?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan sebagai jawaban sebelum kepalaku terangkat karena tangan Kara menarik daguku dan tiba-tiba saja mencium bibirku. Aku belum sempat memproses apa yang sedang terjadi, tetapi pagutan Kara terlepas begitu saja. Ia menatapku sendu, sebelum kembali melumat bibirku lebih dalam. Satu tangannya menekan kepalaku, sementara tangan satunya merengkuh pinggangku agar semakin dekat padanya.
Sebuah erangan kecil aku loloskan ketika Kara mengangkat pinggangku dan mendudukanku pada pembatas. Kecupannya turun ke leher, memberikan isapan kecil dengan tangan yang perlahan menelusup ke dalam kemejaku.
Seharusnya aku mendorong Kara. Menjauh dan menolak segala yang diperbuatnya. Namun, sentuhannya membuatku kehilangan akal sehat, aku menginginkannya lebih dari ini.
Tidak sampai di sana. Kara menggendongku masuk dan menempatkanku di pangkuannya saat duduk di atas ranjang. Aku memberanikan diri, melepas kemeja yang dikenakannya dan melemparnya ke sembarang arah.
"Kara?"
"Kamu mau aku berhenti sekarang?"
Ia justru bertanya saat aku memanggil namanya. Aku tidak lantas menjawab pertanyaannya. Terlalu malu untuk mengatakan bahwa aku menyukai sentuhannya. Sayup-sayup aku dengar ia tertawa sebelum kembali menjejak di setiap inchi tubuhku yang kini berada di bawahnya.
Aku meremat sprei sembari melenguh saat lidahnya menyapu inti tubuhku sebelum ia menghentikan segalanya. Wajahku memanas saat melihat Kara membuka sisa-sisa pakaiannya dan kembali mendekatiku.
"Setelah ini kamu sudah tidak ada kesempatan untuk mundur. Karena mungkin aku enggak akan bisa berhenti sampai semuanya selesai." Suaranya terdengar berat.
Entah bagaimana dia melakukannya, aku hampir saja berteriak jika saja Kara tidak membungkam bibirku dengan ciuman saat ia melakukannya. Air mataku bahkan tidak berhenti menetes sampai ia selesai melakukan pelepasan hingga beberapa kali.
****
Jika ditanya apakah aku menyesali apa yang terjadi sepanjang malam? Aku akan dengan lantang menjawab, iya! Aku menyesalinya!
Karena terlalu terbawa emosi, aku tidak berpikir jernih kemudian memberikan segalanya pada Kara. Dan, lihatlah! Pagi ini, pria itu justru menghilang entah ke mana.
Aku mencoba bangun dari ranjang setelah menyambar sebuah kimono yang tersedia di atas kasur. Namun, rasanya masih sangat menyakitkan. Kedua tungkaiku gemetar, air mataku kembali menetes menahan rasa sakit ketika aku berjalan menuju kamar mandi.
Meski masih terasa begitu sakit. Selepas mandi aku bisa berjalan sedikit lebih baik dari sebelumnya. Aku mengelus perut saat mengeluarkan bunyi dan mulai mencari makanan yang sebelumnya Kara bawakan untukku. Namun, sialnya semua makanan itu sudah berpindah ke dalam tong sampah. Aku hanya bisa menghela napas sebelum memikirkan bagaimana caranya keluar mencari makan dengan kondisi seperti sekarang ini.
Aku menoleh sekilas saat mendengar kenop pintu dibuka dan berniat kembali ke ranjang saat menyadari siapa yang datang, tetapi pergerakanku terhenti ketika rasa sakit kembali kurasakan di antara kedua kakiku. Aku menunduk, sembari meremat sofa yang tadi kududuki.
"Chysa, kamu baik-baik saja?" tanya Kara saat menghampiriku. Satu tangannya menyentuh pundakku yang terbalut jubah mandi.
"Sa-saya baik-baik saja, Pak?" Aku mencoba menjauhinya. Bingung bagaimana harus bersikap di depannya setelah apa yang kami lalui semalam.
"Pak? Semalam kamu panggil aku dengan nama?"
"Maaf, Pak." Aku menghindari tatapannya dengan melihat arah berlawanan di mana Kara berada. Mencoba menutupi rona merah yang sudah pasti terlihat jelas di wajahku karena panasnya begitu terasa.
"Chysara?"
Kara berpindah posisi, aku kembali menoleh ke arah lain untuk menghindari tatapannya.
"Kamu menghindar? Setelah apa yang kita lakukan? Kamu menyesalinya? Apa itu semua tidak berarti apa-apa buat kamu?" Ia meraih pipiku dan membuatku berhadapan dengannya.
"Sa-saya ...."
"Aku." Kara mengoreksi.
"Tapi, Pak ...."
"Kara." Ia kembali membenarkan ucapanku. Terdengar hela napas berat yang keluar dari bibirnya, seolah bicara denganku saat ini adalah hal yang sangat berat.
"Listen to me, Princess. Setelah apa yang terjadi semalam, aku enggak bisa lagi melihat kamu sebagai Chysara yang kemarin. Tapi aku enggak akan paksa kamu. Dengan satu syarat, putuskan segera siapa pilihan kamu, karena aku enggak mau jadi laki-laki simpanan kamu selamanya."
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum mendengar ucapannya. Dari sekian banyak kata yang bisa ia pilih, kenapa harus melabeli dirinya sebagai lelaki simpanan?
"Akhirnya kamu senyum," ucapnya. "Kalau begitu bagaimana sekarang kita sarapan? Aku yakin cacing-cacing di perut kamu sudah demo. Atau kamu mau ganti baju dulu? Aku tadi keluar cari pakaian yang sekiranya cocok untuk kamu."
"Aku pikir kamu pergi ninggalin aku." Aku menundukkan kepala, menghindari tatapan yang dilayangkan padaku.
"Mana mungkin aku ninggalin perempuan yang berhasil memenuhi kepalaku belakangan ini?" Ia mengecup bibirku sekilas.
"Pak!"
"Itu hukuman buat kamu karena berpikir yang enggak-enggak tentang aku. Dan, jangan panggil aku 'bapak' ketika kita berdua. Bagaimana kalauuu sayang? Atau kalau masih mau panggil 'bapak' bahasanya kamu ubah jadi 'dady?' Mungkin aku harus panggil kamu sebutan baby?"
"Apaan, sih. Norak!" Aku memukul pundaknya sekeras mungkin seraya tertawa.
"Kamu mau ganti baju, Baby?"
"Ish apaan, sih." Aku geli sendiri mendengar panggilan yang disebutkan Kara. "Sana ih. Aku mau ganti baju dulu."
"Aku bantu, ya?"
"Enggak. Kamu pergi aja."
"Kenapa?"
"Ya aku mau ganti baju, Kara!"
"Dady."
"Kara!"
"Kenapaaa?"
"Sana!"
"Kamu malu sama aku? Semalam, 'kan udah ...."
Aku membekap mulutnya agar tidak membahas perihal semalam karena bisa dipastikan wajahku akan kembali memerah.
"Ya sudahlah. Aku enggak usah ganti baju aja kalau kamu enggak mau keluar."
"Oke, aku minta maaf. Aku tunggu kamu di luar ya, kita sarapan bareng." Ia mengecup keningku dan memberikan dua buah papperbag berisikan baju.
Dengan susah payah aku berpindah dari sofa ke tempat tidur. Ringisan pelan sesekali keluar saat aku melangkahkan kaki atau bergerak secara berlebihan.
"Aku tahu kamu pasti kesulitan. Jangan terlalu keras kepala, Princess."
Suara Kara menginterupsi. Aku buru-buru menutup kembali jubah mandi yang baru saja aku lepaskan ikatannya.
"Biar aku bantu kamu, ya? Aku janji, aku enggak akan macam-macam tanpa seizin kamu."
Saat ini mungkin wajahku sudah serupa dengan kepiting rebus saat Kara dengan telaten mengurusku. Setelah memakaikan sebuah kemeja putih kebesaran, ia menyisir rambutku kemudian mengikatnya, ia menggendongku hingga melewati pintu kaca besar dan mendudukanku di sebuah karpet bulu dengan bantal besar. Di sana sudah tersaji beberapa potong roti, buah potong, omelette juga dua gelas jus serta susu.
"Aku yakin kamu akan lebih nyaman kalau makan di sini." Kara mengambil sebuah sendok dan memotong omelette kemudian menyodorkannya padaku.
"Aku bisa sendiri."
Ia menggeleng kemudian memintaku membuka mulut. Sarapan kali ini minus keributan, angin laut menambah ketenangan yang beberapa waktu ini sulit untuk aku dapatkan karena masalah-masalah yang terjadi. Namun, kali ini aku benar-benar merasa tenang untuk sesaat.
Aku tahu, semua orang mungkin akan mengutukku jika mengharapkan lebih dari Kara. Akan tetapi, untuk saat ini, aku hanya ingin bersamanya.
Dari bab ini harusnya kalian tahu, kalau Dhiwangkara itu sejak awal enggak boleh dikasih kesempatan dekat-dekat sama Chya karena dia sumber masalahnya sebetulnya 🤧🤧
Hari ini aku updatenya kemaleman, lupa kalau tadi pagi belum ditekan publikasi 👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top