bab duapuluh enam
"Kita nginep di sini semalam lagi gimana?" tanya Kara saat meletakkan kepalanya di atas pahaku.
Setelah menghabiskan sarapan, ia mengajakku menyurusi pantai anyer. Karena bukan musim liburan, tempat ini lumayan sepi dan aku bisa dengan leluasa duduk dan menunggu ombak menyapa kakiku.
"Besok senin. Memangnya kamu enggak kerja?" tanyaku saat membelai lembut rambutnya. Bekas jahitan akibat kecelakaan empat tahun lalu begitu terlihat saat aku menyisir rambutnya dengan jariku.
"Padahal sudah empat tahun berlalu," gumamku pada diri sendiri.
"Hm?"
"Empat tahun padahal waktu yang lama, tapi kenapa bekas luka ini enggak juga hilang? Aku jadi semakin merasa bersalah sama kamu."
Kara bangun dari tidurnya, aku menepuk pundak dan bahunya yang kotor akibat air laut dan pasir pantai. "Maksud kamu?"
"Enggak apa-apa. Ayo pulang. Sudah hampir siang, besok kita harus kerja. Aku pasti dimarahin Pak Rion."
Bibir Kara berkedut menahan tawa. "Apa Rion sebegitu menakutkannya di mata karyawan?"
"Kamu lebih menakutkan dibanding Pak Rion di mataku."
"Hei!"
Ia berdiri dengan lututnya di belakangku dan melingkarkan tangan pada pinggangku serta meletakkan dagunya di atas pundak. Satu sisi Kara yang baru aku sadari yang ia perlihatkan sejak dulu. Pria ini suka sekali melakukan kontak fisik, entah itu sebuah pelukan, genggaman tangan, atau bahkan lebih dari itu.
"Bagaimana kita setelah ini?"
Pertanyaan yang keluar dari bibir Kara tidak serta merta dapat aku jawab. Aku mengembuskan napas pelan kemudian memilin jarinya yang berada di perutku.
"Setelah ini bagaimana?"
"Kamu dan Fairuz. Apa kalian akan tetap melanjutkan hubungan? Bagaimana dengan aku? Aku jelas-jelas enggak bisa berbagi kamu sama dia. Walau dia datang lebih dulu ke hidup kamu, tapi aku yang pertama untuk kamu, 'kan?"
Kara melepaskan pelukannya dan membawaku berdiri. Dengan langkah pelan ia menggandeng tanganku menyusuri bibir pantai.
"Kara?"
Kara menoleh saat aku memanggilnya. "Iya?"
"Soal kecelakaan empat tahun lalu ...." Ucapanku menggantung. "Aku dengar dari Mas Agas ...."
"Kalau aku amnesia?"
Aku menelan ludah susah payah mendengar pertanyaan Kara sebelum mengangguk. Seperti biasanya, ia tersenyum, memberi tanda bahwa ia nyaman dengan percakapan ini.
"Agas benar. Aku memang kehilangan semua ingatanku saat sadar dari koma selama enam bulan. Kalau kamu tanya kenapa akhirnya aku bisa menjadi pimpinan di CoffeTalks, karena meski kepalaku enggak mengingat apapun, anggota tubuhku yang lain mengingat semuanya dengan baik. Seperti saat aku menaiki sebuah sepeda, otakku mungkin lupa dengan cara mengayuh sepeda, tapi saat aku naik, kaki dan tanganku seolah mengingatkan aku bagaimana cara bergerak dengan benar."
Kara tertawa sembari berjalan mundur menghadapku. "Bagaimana? Kamu sudah mau jujur tentang diri kamu?"
"Maksudnya?"
"Siapa kamu, Chysara?"
"A-aku ... aku ...." Aku terbata mendengar pertanyaannya.
"Aku mungkin enggak mengingat kamu, tapi yang pasti, di sini." Kara membawa tanganku untuk menyentuh dadanya. "Aku bisa merasakan bahwa dia pernah memilih kamu sebagai sesuatu yang spesial. Apa aku salah?"
Aku menggeleng pelan sebelum merapatkan diri dan melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Meski ada setitik ketakutan akan kepergiannya lagi suatu hari nanti, aku meyakinkan diri bahwa aku juga harus berusaha mencarinya ketika ia tidak muncul di hadapanku.
Tidak berlangsung lama, Kara mengurai pelukannya. "Jadi, berapa lama aku harus jadi laki-laki simpanan kamu?"
Kara sontak mengaduh akibat cubitan yang aku layangkan pada pinggangnya. Aku berlari saat ia mengejarku sebelum ombak kecil membuatnya kembali basah. Aku tertawa lepas melihatnya basah, seketika semua masalahku meluruh bersama ombak yang sudah tertarik kembali ke laut.
Aku pernah merasa dicintai oleh Fairuz, tapi tidak selepas saat aku bersama Dhiwangkara. Apa ini berarti aku benar-benar jatuh dalam cinta Dhiwangkara? Atau ini hanya bentuk pelampiasan dari segala masalahku dengan Fairuz?
Bahkan sampai kami kembali ke resort aku belum juga mendapat jawaban pasti akan pertanyaan itu. Namun, untuk saat ini aku tidak ingin banyak mengisi kepala dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan membebaniku, aku hanya ingin menikmati liburan ini dengan sedikit lebih tenang.
Lamunanku teralihkan oleh dering handphone di atas nakas, ada nama 'Ibu Kos Galak' terpampang pada layar. "Kara? handphone kamu bunyi terus dari tadi. Siapa ibu kos?"
Aku mengerutkan kening ketika mendengar Kara berdecak pelan sebelum menggeser layar dan menempelkan benda pipih tersebut di telinganya. Aku ikut tersentak ketika suara lantang keluar dari speaker yang sebetulnya tidak diaktifkan, Kara bahkan menjauhkan benda tersebut dari telinganya.
"Kenapa, sih, Gas?"
Gas? Maksudnya Kara menamai Mas Agas dengan nama 'Ibu Kos Galak' di handphone-nya begitu? Aku menutup mulut agar suara tawa tidak terdengar oleh Mas Agas.
"Jangan! Gue enggak apa-apa. Serius! Lo enggak perlu ke sini. Semalam gue cuma ... cuma tiba-tiba mules aja, terus ke resort buat numpang ke toilet, karena enggak enak kalau cuma numpang, jadi gue sekalian nginep di sini."
Aku menganggukkan kepala, senyum tertahan meledek Kara yang berusaha berbohong pada Mas Agas. Pria itu melotot, kemudian dengan cepat mengecup bibirku.
"Ya kalau lo tahu gue bohong kenapa lo tanya, sih, Gas?" Kara memutar bola matanya malas, ia menggaruk kepala yang tidak terasa gatal dan menjambak rambutnya sendiri setelah sambungan dari Mas Agas terputus.
Aku sontak mengeraskan tawa yang sejak tadi kutahan. "Senang banget kamu liat aku dimarahin Agas."
"Kamu tahu enggak? Kamu sama Mas Agas itu lucu banget loh."
"Lucu kenapa?" Kara merangkulku kembali dan mendudukkanku di atas pangkuannya.
"Kayak kamu tuh bayi, dan dia ibunya, terus Pak Rion jadi ayahnya."
"Bisa jadi benar, but for your information, Agas sama Rion enggak pernah akur, kalau mereka nikah, aku yakin mereka akan cerai secepatnya."
Aku kembali tertawa mendengar cerita Kara tentang kedua rekannya. "By the way, tadi dia bilang apa aja?"
"Ya dia tanya kenapa aku enggak sampai-sampai, aku kasih alasan, dia malah bilang 'gue tahu lo bohong' habis itu nanya lagi." Kara mengerang di akhir kalimatnya.
"Terus nanti kalau dia tanya lagi gimana?"
"Dia mungkin enggak akan tanya lagi. Karena saat aku enggak bisa dihubungi, dia pasti cari akses lain untuk tahu di mana keberadaanku. Dia tahu tempat ini, dan tadi dia bilang akan nyusul ke sini." Kara mencicit di akhir kalimatnya.
"Serius? Kok kamu enggak bilang?"
Aku panik? Tentu saja! Apa tanggapan Mas Agas dan Pak Rion jika tahu ternyata Kara menghabiskan malamnya bersamaku? Aku langsung beringsut turun dari pangkuannya dan membereskan sisa pakaian yang aku kenakan kemarin.
"Kamu ngapain, Sayang?"
Jantungku berdesir hangat ketika mendengar panggilan yang Kara layangkan. Mungkin, aku tidak akan pernah terbiasa dengan perlakuan manisnya.
"Nanti kalau Mas Agas lihat kita gimana?"
"Ya lihat, lihat aja? Memangnya kita mau apa? Enggak mungkin, 'kan, kita ulang yang semalam di depan Agas?"
"Kara!"
"Ya kamu kenapa?" Kara seperti tidak mengerti dengan apa yang aku maksudkan.
"Aku enggak mau siapapun tahu tentang malam ini."
Ia mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Ya masa kamu mau kasih tahu Mas Agas soal kejadian semalam?"
"Agas memang selalu tahu apa yang aku lakukan, 'kok."
"Termasuk kamu bercinta dengan perempuan?" tanyaku ragu.
"Aku enggak pernah bercinta sama siapa-siapa selain kamu."
"Ya makanya itu! Menurut kamu apa kata Mas Agas nanti kalau tahu tentang semalam? Dia bakal mikir apa tentang aku? Kar ... please, aku masih mau kerja di tempat kamu."
"Jadi kamu mau aku merahasiakannya dari semua orang? Bagaimana kalau ...."
Entah kenapa aku merasa tidak nyaman ketika melihat ekspresi terluka yang ditampilkan Kara. Namun, itu semua bukanlah hal yang patut diceritakan pada orang lain bukan?
"Kalau apa?"
Ia menggeleng pelan. "Jadi bagaimana caranya aku menang dari Fairuz kalau tanpa bantuan Agas?"
"Jadi diri kamu sendiri, itu sudah cukup." Aku mencubit pipinya gemas.
"Kali ini aku turuti. Tapi boleh aku minta satu hal sama kamu?"
"Apa?"
"Jika terjadi sesuatu pada hubungan kita nantinya. Aku minta kamu pilih aku sebagai satu-satunya orang yang bisa menjelaskan duduk persoalannya. Jangan percaya siapapun perihal yang terjadi pada hubungan kita berapapun banyak bukti yang akan kamu terima dari orang lain. Setelah aku, orang yang bisa kamu percaya hanyalah Amar."
"Amar?"
Kara mengangguk. Nama Amar batu satu kali akj dengar saat meeting yang pernah tertunda tempo hari. Apa mungkin Kara sudah mulai ingat dengan baik siapa orang yang ada di masa lalunya? Tapi, siapa Amar?
"Pak Rion?"
Kara menggeleng.
"Mas Agas?"
Ia kembali menggeleng. "Aku dan Amar. Tidak ada yang lain."
Aku kembali mengangguk kemudian melanjutkan membereskan barang. Tidak banyak, karena barang-barang yang aku bawa ke villa kemarin ada di dalam mobil Fai. Kara tidak bicara hingga mobil yang dikendarainya keluar dari parkiran resort.
"Kamu marah sama aku, Kar?"
Aku pikir Kara akan menjawab 'tidak' atau tidak menjawab untuk menutupi rasa kecewanya karena aku memilih untuk merahasiakan hubungan kami. Namun, setelah cukup jauh dari resort, ia menepikkan mobil dan melepas seatbelt-nya.
Ia memelukku erat sambil berkata. "Iya. Aku marah sama kamu. Jadi tolong peluk aku sampai marah ini hilang."
Dalam pelukkan, aku menepuk punggungnya dengan tempo pelan untuk menyalurkan rasa hangat yang sebetulnya telah ia berikan sejak ia memelukku. Perasaan hangat itu kembali melingkupiku. Tanpa nada tinggi, makian, atau argumen yang membenarkan pilihannya, ia memilih menyalurkan rasa marahnya dengan pelukan.
Jadi, beginikah rasanya dicintai oleh Dhiwangkara?
Dhiwangkara ini punya Love Language murni Phisycal Touch kayaknya. Jadi, kalau dicerita lain ada perempuan simpanan, di aku adanya laki-laki simpanan ☺☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top