bab duapuluh dua

Mataku tanpa sengaja menangkap presensi seseorang yang begitu aku kenali saat selesai mengantre di loket obat untuk Papa. Kara. Sejak pertanyaan yang dilontarkannya membuat meeting siang itu tertunda, aku tidak pernah lagi melihat sosoknya berada di sekitaran kantor.

Begitu pula dengan Pak Rion, pria yang mem-back up seluruh tugas Kara itu lebih sering berada di luar kantor, bertemu dengan beberapa klien dan melanjutkan melakukan pratinjau untuk produk baru.

Namun, aku justru bertemu dengannya di tempat tidak terduga seperti sekarang. Seperti biasa, senyumnya terkembang apik saat sedang menggandeng seorang perempuan berwajah cantik.

Ia menoleh, dan tidak butuh waktu lama baginya untuk mengetahui keberadaanku yang tidak jauh darinya.

"Chysara?"

Aku berdiri dan menyalaminya. "Pak Kara."

"Kamu sakit?" tanyanya. Aku lihat perempuan yang di sampingnya mengeratkan rangkulan seperti memberi tanda sebuah kepemilikan.

"Enggak, Pak. Saya sedang tebus obat ayah saya."

"Dia siapa, Kar?" Perempuan cantik di samping Kara akhirnya menyuarakan rasa penasaran.

Aku lihat Kara berusaha melepaskan rangkulan tangannya yang mungkin saja terasa begitu erat. "Chysara. Anggota baru tim marketing di kantor."

"Karyawan?"

Aku mengangguk dan mengulurkan tangan ke hadapannya. "Chysara."

Perempuan itu tidak lantas menjabat tanganku, ia membiarkan tanganku menggantung di udara sebelum teguran Kara menginterupsinya.

"Eliana," ucapnya yang langsung mengempas tanganku.

"Maaf, ya, Chysara."

"Enggak apa-apa, Pak."

Setelah ucapanku selesai, perempuan bernama Eliana itu langsung menarik Kara menjauh dan melewati pintu fasad kaca rumah sakit.

Nyatanya, meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan Kara, rasa penasaran tentang bagaimana kehidupannya setelah pertemuan kami empat tahun lalu masih terus membungkus kepala. Apakah perempuan bernama Eliana itu yang menjadi pilihan Kara?

Rasa penasaran itu mungkin karena rasa iri yang timbul dalam diriku saat melihat hidup jauh lebih baik dari yang aku bayangkan. Dulu, kami bisa makan bersama, tertawa dan berbagi cerita tanpa memandang dari mana kami berasal. Tetapi sekarang lihatlah! Aku bahkan menunduk padanya disaat perempuan di sampingnya memalingkan wajah seolah tidak sudi untuk mengenalku.

"Chysara!"

Perjalananku menuju gerbang utama terhenti saat melihat sebuah mobil putih dengan kaca terbuka. Aku mendekat, memastikan bos baruku itu tidak akan memberikan pekerjaan untuk aku bawa pulang.

"Ada apa, Pak?" Aku sedikit menunduk saat berhadapan dengan Kara yang berada di dalam mobil.

"Kamu mau pulang? Ayo bareng."

"Enggak usah, Pak. Saya bisa pesan ojol," tolakku sopan. Perempuan di samping Kara terlihat tidak senang dengan ide Kara.

Namun, bukannya melanjutkan perjalanan, Kara justru kembali keluar dan membuka pintu mobil bagian belakang.

"Saya maksa."

"Rumah saya jauh, Pak."

"Saya tahu."

"Duh. Enggak enak saya, Pak."

"Lebih enggak enak lagi kalau kamu makin ulur waktu. Ayo! Lagi pula enggak baik gadis secantik kamu pulang pergi sendirian."

Mau tidak mau aku menuruti permintaan Kara. Duduk di kursi belakang dengan tangan yang meremas tas di atas paha.

"Rumah kamu di mana, Chysa?" tanya Kara saat mobilnya melaji keluar melewati gerbang rumah sakit.

"Ciledug, Pak."

"Jauh banget! Ke sana macet banget, Kar."

Aku semakin tidak nyaman mendengar protes yang dilayangkan gadis bernama Eliana itu. Ia mencebik kesal dan memukul pelan bahu Kara.

"Aku antar kamu pulang, baru habis itu aku antar Chysara. Sekalian aku pulang aja ke BSD." Kara mencoba memberikan pengertian. "Kamu enggak apa-apa, 'kan, Chysa, kalau kita ke TB Simatupang dulu?"

"Kalau enggak saya turun ke TB Simatupang juga aja, Pak. Nanti saya bisa lanjutin naik ojol, kok."

"Kamu itu kenapa, Chysara? Kamu enggak nyaman sama saya? Bukannya waktu itu kamu pulang sama Agas enggak nolak, ya?" Suara Kara membuatku diam.

"Kamu lagi dekat sama Agas?" Eliana menoleh ke belakang dan menatapku. "Bagus deh. Kalian cocok."

"Maaf. Maksudnya?" tanyaku.

"Kamu sama Agas cocok. Kalian kan sama-sama ...."

"Eliana!"

Teriakan Kara bukan hanya memutus ucapan Eliana, melainkan membuatku terlonjak pelan. Dari kaca spion dashboard aku bisa menangkap bahwa Kara kini tengah menghela napas setelah teriakan tadi.

"Kamu kenapa, sih, Kar?" tanya Eliana. Ia duduk menyamping, menghadap Kara yang hanya diam sembari melanjutkan kemudi dengan laju lebih kencang.

"Aku capek. Kamu bisa enggak berisik? Pleaseee ...."

Ini adalah kali pertama aku mendengar nada suara Kara sarat akan emosi. Meski sebelumnya ia pernah marah dengan Mas Agas juga Pak Rion, kali ini terasa berbeda. Apakah setelah ini Eliana akan tersinggung dengan sikap Kara yang membentaknya di depanku? Aku semakin tidak nyaman berada di dalam mobil bersama mereka.

Akan tetapi, alih-alih tersinggung dengan sikap Kara barusan, perempuan di sampingnya itu hanya mencebik kesal dan kembali diam di kursinya. Mungkin ia tidak ingin memicu emosi Kara yang lebih lagi. Tipikal gadis penurut, begitu pikirku.

Aku melirik ke luar jendela ketika mobil Kara memasuki area gedung salah satu apartemen di TB Simatupang. Eliana turun tanpa mengatakan apa-apa, sementara Kara memintaku untuk menunggu sebelum ia mengikuti Eliana keluar. Aku tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi Kara terlihat mengelus pelan pipi Eliana sebelum memintanya masuk.

"Karena saya bukan sopir kamu, bisa kamu pindah duduk ke depan?" pinta Kara sesaat setelah kembali memasuki mobilnya.

"Pak, seriusan. kalau saya disuruh pulang sendiri juga enggak apa-apa, 'kok. Saya enggak enak hati sama Mbak Eliana."

Kara tidak langsung menyalakan mesin mobilnya ketika aku sudah berpindah ke bangku depan, ia tertawa ringan seperti yang biasa dilakukan kemudian menggeleng pelan.

"Saya hitung kamu sudah bicara seperti itu empat kali lima belas menit terakhir." Kara memilih menyalakan mesin mobilnya. "Kamu tidak perlu khawatir soal Eliana, dia sudah aman di dalam apartemennya. Lagi pula saya perlu pulang ke rumah untuk mengatakan pada orang tua saya bahwa saya masih hidup."

"Pak! Ngomongnya." Aku mengingatkan.

"Ohh iya, bagaimana persiapan event? Kamu sudah minta izin ke orang tua kamu untuk dinas luar selama dua hari? Jangan khawatir, lemburan kalian akan saya ACC dua kali lipat."

"Sudah, Pak." Aku mengangguk.

Dua hari lalu aku sudah minta izin pada papa dan mama untuk menghadiri acara event kantor yang diadakan di Tanjung Lesung. Namun, Ketika papa dan mama menyambut antusias karena menganggap aku mendapat kepercayaan kantor, Fai justru melarang aku pergi dengan alasan ia tidak ingin aku banyak menghabiskan waktu bersama Kara.

Dan, seperti yang sudah-sudah, kami kembali bertengkar kecil dan aku harus meyakinkan bahwa aku tidak akan berinteraksi dengan selama di sana.

"Nanti yang hadir di sana siapa saja, Pak? Maksud saya, selain yang diperbantukan."

"Enggak ada. Selain kalian, cuma ada Agas dan Rion yang akan memastikan acara itu berjalan dengan lancar. Villa keluarga saya bisa kalian pakai untuk istirahat nanti selama di sana."

Pak Rion?

Aku mengerutkan kening mendengar jawaban Kara. Itu berarti, Kara akan digantikan oleh Pak Rion dalam mengawasi event besok? Lalu ke mana antusiasme yang ia perlihatkan kemarin-kemarin?

"Pak Rion, Pak? Bukannya bapak yang akan mengawasi acara event besok?"

"Saya?"

"Iya bapak."

"Ya enggak mungkinlah. Saya enggak mungkin dapat izin untuk pergi sejauh itu."

"Pak? Tapi memang semuanya bapak yang urus dari awal? Ide promo, diskusi sama Eza dan Runi, diskusi iklan dengan marketing tim tiga. Semuanya bapak yang urus, Pak. Bukan Pak Rion. Kan bapak sendiri yang minta sama Pak Rion untuk izinin bapak handle acara event itu."

Kening Kara sempat terlipat beberapa saat ketika mendengar penuturanku. Ia terlihat bingung, tetapi aku lebih tidak mengerti dengannya saat ini. Kara seperti menganggap kejadian belakangan ini tidak pernah ada. Kalau seperti itu, apa dia juga melupakan tentang kejadian di apartemennya saat itu?

Aku sudah berjanji untuk menganggap itu tidak pernah terjadi, tetapi rasa penasaran membuatku ingin menanyakan hal itu padanya, tapi bagaimana caranya? Aku terlalu malu untuk membahas kebodohanku saat itu padanya.

Kara tidak melanjutkan percakapan setelah aku bertanya perihal event padanya. Ia fokus pada jalan yang kami susuri dengan sesekali menekan klakson pada pengendara motor yang menyalip dan menyenggol spionnya.

Setelah pertemuan kami dan janji yang ia ingkari empat tahun lalu, aku tidak pernah membayangkan akan duduk berdampingan dengan Kara di dalam mobil seperti ini. Ini seperti saat perjalanan kami kembali dari Wisata Gumuk Pasir, di mana ia diam setelah menciumku. Sial! Kenapa debaran itu kembali lagi setelah aku yakin bahwa empat tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan segalanya.

Aku mengembuskan napas dalam-dalam, memasok udara sebanyak-banyaknya untuk mempersiapkan pertanyaan yang akan aku layangkan padanya.

"Are you okay, Chysara?"

Rupanya sejak tadi Kara memperhatikanku, dan tidak butuh waktu lama untuk pertanyaannya meruntuhkan tekadku.

"Enggak, Pak!"

Bukan hanya Kara, tetapi aku juga tersentak mendengar jawaban yang ternyata kelewat kencang aku lontarkan.

"Ada apa?" tanyanya lagi kemudian.

"Pak! Kok bapak bisa lupa sama pekerjaan yang bapak kerjain sendiri? Kalau bapak pernah dipukul sama pacar saya bapak ingat?" Aku duduk menyamping, menghadapnya. "Iya. Bapak harusnya ingat, sih. Kalau kejadian di apartemen Pak Kara, bapak ingat?"

Kara menghentikan mobilnya di depan rumahku, ia menatap ke arahku tanpa mengucapkan apa-apa. "Sudah malam, Chysara. Kamu sebaiknya pulang."

"Apa buat bapak itu semua enggak penting, Pak? Pekerjaan, antusiasme karyawan karena dapat pujian dari bapak, atau ketakutan saya saat bapak cium saya di apartemen bapak? Semua itu enggak penting buat bapak?" Aku mengembuskan napas panjang dan tersenyum meski getir rasanya. "Meski saya yang minta bapak untuk menganggap semuanya enggak pernah terjadi, tapi bapak benar-benar hebat memainkan peran sampai saya ngerasa bodoh sendiri."

Rasa malu yang bercokol dalam hati membuatku enggan menatapnya saat ini.

"Kalau kamu sendiri yang minta untuk saya menganggap semuanya tidak pernah terjadi, kenapa kamu masih membahas hal itu dengan saya sekarang? Bukankah seharusnya itu tidak penting untuk dibahas?"

Kara benar, segalanya yang terjadi dulu maupun sekarang tidak lagi penting untuk dibahas. Seharusnya, aku dan semua orang di dunia ini hanya fokus pada masa depan, bukan justru menangisi masa lalu yang mungkin saja hanya sebuah kesalahan bagi sebagian orang.

Menurut kalian kenapa Kara bersikap seolah-olah itu semua enggak penting?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top