bab duapuluh delapan
"Target sales kemarin memang enggak kecapai seratus persen, tapi udah lebih dari ekspektasi gue, sih."
Eza terlihat semangat melihat laporan pencapaian sales yang akan diserahkan pada Pak Rion, begitu pula Bu Tami. Aku ikut tersenyum ketika melihat deretan angka yang tertera dalam laporan. Angka iti mencapai hampir seratus persen dari target tertinggi tahun ini.
"Minggu pagi pas kita bersih-bersih juga Pak Rion mukanya semringah banget. Pasti karena dia bakal dapet bonus gede dari owner. Harusnya kita juga dapet enggak, sih?" Runi ikut bersuara.
"Kalau mau dibilang siapa yang dapat bonus sih harusnya Pak Kara, ya. Tapi, siapa peduli? Toh owner CoffeTalks juga bapaknya."
Eza terdengar tidak peduli, beda denganku yang bersiap mengemukakan pendapat sebelum obrolan pagi itu dihentikan oleh kedatangan Pak Rion. Aku mencoba mengjndari tatapannya, mengingat kejadian tempk hari, membuatku canggung jika harus berhadapan dengannya.
Tetapi, seperti apa yang dikatakan Mas Agas. Pak Rion terlihat seperti menganggap semuanya tidak pernah terjadi. Jadi, untuk saat ini aku memutuskan untuk tidak mengusik segala yang dilakukannya.
Pak Rion secara khusus mengucapkan terima kasih pada tim satu dan tim dua atas pencapaian event kemarin.
"Saya harap kalian bisa mempertahankan kinerja kalian sebaik ini hingga akhir tahun. Karena CoffeTalks berencana akan melakukan ekspansi ke bentuk bisnis lain."
Kami semua saling tatap mendengar ucapan Pak Rion. Rencana launching produk baru akan diadakan minggu depan. Itu berarti, rencana ekspansi itu sudah direncanakan jauh sebelum ini.
"Apa ini ada kaitannya dengan produk baru, Pak?" tanyaku.
Pak Rion mengangguk sekilas menjawab pertanyaanku. "Maka dari itu saya ingin kalian semua berserta tim dua, tiga, dan empat berkumpul setelah makan siang nanti untuk membahas rencana kita kedepannya."
"Baik, Pak."
Kami semua kompak menjawab.
Pak Rion setelahnya menatapku, melangkah mendekat hingga tepat berada di sampingku. "Apa kamu sudah bicara dengan Agas?"
"Sudah, Pak."
"Lalu?" tanyanya singkat.
"Lalu ... bagaimana, Pak?"
"Apa kamu mempertimbangkan saran dari Agas? Saya pikir itu lebih baik ketimbang kamu akan berada di dalam situasi yang tidak mengenakan terus menerus, bukan?"
"Saya sudah buat keputusan. Mas Agas bilang apa pun keputusan saya, saya bisa memilih dengan tidak mengkhawatirkan karir saya di CoffeTalks, Pak."
Sejujurnya aku takut mengatakan itu pada Pak Rion. Ia jelas bukan orang yang suka bernegosiasi ataupun mendengar permintaan orang lain. Namun, aku masih ingin mengembangkan karir di sini. Terlebih, di tempat inilah aku dapat bertemu Kara setiap waktu. Dengan janji tidak akan meninggalkannya lagi, aku memilih untuk bertahan di CoffeTalks, setidaknya demi Kara.
Pak Rion terlihat menarik napas dalam kemudian membuangnya cukup keras. Ia memijat pangkal hidung kemudian berdecak pelan.
"Baiklah kalau itu pilihan kamu. Saya harap kejadian-kejadian kemarin tidak terulang lagi. Apa lagi kalau sampai Kara kembali terluka, saya tidak akan segan-segan untuk turun tangan."
"Baik, Pak."
Pak Rion mengangguk kemudian memutar arah keluar ruangan. Aku menoleh saat mendengar bunyi bisikan yang berasal dari Mas Joni.
"Kenapa, Chya?" tanyanya dengan suara serupa bisikan.
"Soal kemarin, Mas. Mas Agas nyaranin aku buat resign kalau nanti nikah sama Fairuz."
"Sape Fairuz?" tanyanya yang langsung mendapat geplakan keras dari Eza.
"Pacarnya Chya yang kemarin digebukin Pak Rion, Anjir!" Eza gemas sendiri dengan pertanyaan Mas Joni.
"Rion gebukin siapa?"
Kami semua kompak menoleh saat suara Kara menginterupsi. Ia mengerutkan kening saat berjalan mendekati Eza.
"Kamu bilang Rion pukulin siapa?"
"Itu ... anu ..., Pak." Eza terlihat bingung bagaimana menjawab pertanyaan Kara.
Bukan hanya Eza, tetapi aku juga harus memutar otak untuk mencari alasan tepat kenapa aku tidak menceritakan perkelahian yang terjadi antara Fairuz dan Pak Rion. Sebetulnya alasannya sederhana, aku tidak ingin Kara terlalu banyak pikiran.
Sejak mengetahui akibat kecelakaan empat tahun lalu, aku mengerti kenapa Pak Rion dan Mas Agas sangat menjaga kestabilannya. Tapi aku berusaha untuk tidak terlihat, karena Kara tidak suka aku menjadi kotak kacanya.
"Kamu bicara bisa tidak jangan una anu? Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Saya datang ke sini karena cari Rion yang katanya pergi ke sini, tapi dia enggak ada, dan malah saya dapat berita kalau Rion berkelahi? Kenapa tidak ada satupun yang memberi informasi pada saya?"
Raut wajah Kara tidak tenang seperti biasanya. Meski sama sekali tidak menyebut namaku dalam ucapannya, aku tahu Kara tengah berusaha menyindirku saat ini. Tetapi perhatianku teralihkan pada wajahnya di bagian samping. Bulir keringat merembes dari sana, bahkan guratan hijau terlihat samar di sisi samping wajahnya ketika ia menekankan setiap kata yang diucapkan.
Apa Kara sakit?
Ada secuil rasa khawatir yang timbul mengetahui keadaannya kini.
"Maaf, Pak. Tapi kami tidak punya wewenang untuk memberikan informasi pada Bapak, terlebih jika kami menginformasikan hal tersebut, bisa-bisa kami dianggap sebagai pengadu."
Bu Tami berusaha meredam emosi Kara. Sementara yang lain hanya bisa diam, mungkin karena Kara tidak pernah semarah ini.
Kara memijit pelipisnya kemudian mengerang. Aku refleks bangun dari duduk kemudian mendekatinya. "Pak Kara baik-baik saja?"
Ia menarik lengannya dari pegangan tanganku kemudian melenggang pergi begitu saja dari ruangan tim satu. Melihat caranya yang pergi begitu saja, aku tahu saat ini Kara mungkin sangat mengkhawatirkan Pak Rion.
"Bu, boleh enggak, sih, saya ke ruangan Pak Kara? Ini, 'kan karena saya, saya mau minta maaf secara pribadi sama Pak Kara." Aku mencoba bernegosiasi dengan Bu Tami.
"Kamu yakin Pak Kara mau dengar alasan kamu?"
"Enggak, sih, Bu. Tapi boleh saya coba, 'kan, Bu?" Aku meringis di depan Bu Tami.
Aku lantas bergegas turun ke lantai tiga untuk menghampiri Kara di ruangannya. Mengetuk pintu, dan masuk secara perlahan setelah mendapat persetujuan sang empunya ruangan.
Kara menumpu kepalanya dengan tangan seraya menjambak-jambak pelan rambutnya saat aku mendekat dan menarik tangannya agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.
"Aku minta maaf," ucapku.
"Untuk?"
"Karena enggak cerita soal Pak Rion dan Fairuz. Saat itu aku ...."
"Chysa, listen. If you're not ready to share all the stories, i'll patiently wait. But, Rion was something else. I deserve to know about him."
"Iya, makanya aku minta maaf sama kamu sekarang." Aku menunduk berdiri di sampingnya.
Terdengar helaan napas berat dari Kara sebelum tangannya meraih pinggangku untuk mendekatkan aku padanya. "Peluk aku sampai marah ini hilang."
Aku melingkarkan tanganku pada bahunya. Mengecup pelan pucuk kepalanya yang terasa begitu hangat. "Kar? Kamu masih sakit? Badan kamu hangat."
"Aku cuma kurang tidur aja." Ia menggeleng pelan.
"Aku enggak suka kamu bohong, loh." Aku melepaskan pelukannya. "Di mana kotak P3?"
"Agas simpan di sana." Kara menunjuk lemari kaca dengan dagunya.
Aku mengambil sebuah patch penurun panas dan menempelkannya pada kening Kara. Ia sempat menolak sebelum aku melotot dan memaksakan benda itu menempel pada keningnya.
"Memangnya aku bayi yang kamu pakaikan beginian." Ia melihat wajahnya melalui layar handphone lalu tertawa.
"Jangan di lepas sampao sore nanti. Kalau kamu lepas aku enggak akan mau ngomong sama kamu." Aku mencoba mengancamnya meski tidak tahu apa itu akan berpengaruh padanya.
"Kamu mau jadi kotak kaca aku juga?" tanyanya. Ia meraih tanganku dan membawanya pada bibir sebelum mengecupnya. "Aku baik-baik saja, Chysara."
"Bukan kotak kaca, tapi air yang membuat ikan-ikan itu tetap bisa berenang meski ada di dalam kotak kaca." Aku menjawab asal.
Ia tertawa pelan, lalu bangun dari kursinya dan mendekat ke arahku. "Kamu mau apa?"
"Menurut kamu?"
"Hmm ... mau cium aku, ya?" Aku menebak. Dari jarak sedekat ini, Kara sering kali mencuri kesempatan itu bukan?
Aku merasa seperti melihat Kara empat tahun lalu, di mana ia selalu tertawa di sela percakapan kami apa pun yang aku bicarakan. Aku memejamkan mata ketika Kara menyesap bibir bawah dan atasku secara bergantian. Tidak butuh waktu lama, aku mengimbangi permainannya sambil berharap pintu ruangan Kara tidak akan terbuka untuk waktu yang cukup bagi kami berdua.
Update malem lagi nih, ada yang nunggu??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top