bab duapuluh
"Ini cuma perasaan gue aja atau lo emang kelihatan pucet, Chya? Sakit?" Runi menunjuk wajahku sebelum duduk dan membuka kotak bekal sarapan paginya di sampingku.
Tadi pagi papa juga mengatakan hal yang sama. Bertanya apa yang terjadi sepanjang hari kemarin sampai aku menolak makan malam dan mendapati wajahku pucat saat pagi hari. Namun, sama seperti pertanyaan papa pagi tadi, pertanyaan Runi pun hanya aku jawab dengan sebuah gelengan lemah sebelum beranjak menuju pantry yang menyediakan kopi, teh, roti dan camilan yang berbeda setiap harinya untuk seluruh karyawan.
Mendapati Pak Rion ada di ruang tim satu adalah hal biasa bagiku sekarang. Pria itu mengenakan kemeja dusty pink yang dipadukan dengan celana jeans. Aku menduga, hari ini ia tidak ada janji bertemu dengan klien.
"Dua hari yang lalu kamu sempat bahas perihal iklan dengan tim tiga juga Dhiwangkara. Bagaimana hasilnya?"
"Ohh. Iya, Pak."
Aku yang teringat akan diskusi kemarin lusa langsung berlari kecil ke arah kubikel, mengambil buku catatan yang aku gunakan untuk merekam segala percakapan perihal iklan, tagline dan tenggat waktu yang didiskusikan pada Pak Rion. Tidak lupa, aku juga memasukkan percakapan ringan antara aku dan Kara saat berada di apartemen kemarin tentang ide-ide iklan sosial media terbaru dan rencana Kara yang ingin membuat sebuah avatar untuk menjadi maskot terbaru CoffeTalks dan juga Chick'nTime.
Aku menyambut antusias ide yang Kara buat. Terlebih, menjadi orang pertama yang mendengar rencana itu membuatku merasa bahwa kini aku memegang sebuah peran penting dalam perusahaan. Aku harus dapat merahasiakan ini semua sebelum Kara mengumumkannya.
"Sebanyak ini?" tanya Pak Rion.
"Iya, Pak. Kayaknya Pak Kara semangat banget kalau soal bekerja. Saya lihat, idenya bagus-bagus sih."
"Baiklah. Tolong kamu kirimkan ke e-mail saya dalam bentuk softcopy ya. Dan soal ide baru itu, tolong jangan bocor ke siapapun sebelum ada pengumuman resmi."
"Baik, Pak."
Pak Rion mengangguk kemudian mengembalikan buku catatanku. "Selanjutnya saya akan koordinasikan segala keperluan pembuatan iklan dengan tim tiga."
"Ehh? Bukannya Pak Kara yang akan mengawasi pekerjaan iklannya, Pak?"
"Memang ada masalah jika saya yang turun tangan?" Pak Rion memutar bola matanya, terlihat sekali ia malas menanggapi ucapanku. Mungkin, ia masih dendam dengan kejadian yang menimpa Kara kemarin lusa.
"Maaf. Tidak, Pak."
Ucapan Kara saat di apartemen kembali melintas di kepalaku, tentang kehidupan di dalam kotak kaca yang selama ini dijalaninya. Aku pikir kini aku dapat mengerti apa yang ia rasakan selama ini.
Pak Rion tidak mengatakan apa-apa lagi. Bu Tami datang mengalihkan perhatiannya dengan laporan budget yang dijanjikan hari ini. Begitu pula denganku yang langsung menempati kubikel dan membuka e-mail dari Eza perihal contoh promo bundling harga.
"Kok promo bundling harganya malah produk roti sama kopi, sih, Za? Bukannya kesepakatan kemarin sama Pak Kara promo bundling harga itu untuk produk baru? Berarti harusnya ayam, 'kan?" tanyaku saat mendongak ke kubikel Eza yang ada tepat di seberang.
"Kemarin Pak Kara ngabarin ke Bu Tami buat sekalian bikin promo paket untuk acara event. Biar gampang di tawar-tawarin gitu ke orang-orang. Tapi masih bingung juga mau package pake apa, ya? Kalo pake plastik bening, rotinya bisa kena embun es meleyot enggak sih? Apalagi kebanyakan produk kita itu pastry, yang harusnya renyah, 'kan?"
"Wait ... berarti kita enggak jualan cuma di booth?" Aku memastikan. "Tapi kalau begitu malah bagus, sih. Encer juga otak lo kadang-kadang, Za."
"Kalau jualannya cuma di booth sayang enggak sih? Maksudnya, kalau pun bakal rame banget, kasir yang pegang POS-nya bakal kewalahan juga, 'kan? Makanya kemarin kita minta saran dari Pak Kara, trus dia bilang kenapa enggak pakai sales promotion untuk penjualan manual? Makanya tercetus ide ini." Runi menjelaskan. Tahun lalu, ia pernah mengalami kewalahannya menangani event dengan target 400 persen.
"Jadi ini ide Pak Kara? Kapan kalian diskusi sama dia?" tanyaku ketika teringat kemarin aku bersamanya seharian penuh dan ia mengatakan akan istirahat. Apa itu berarti Kara membohongiku?
"Pas waktu lo antar dia, 'kok. Gue coba chat Pak Kara lewat WhatsApp ehh langsung dibalas sama rentetan ide begitu. Enggak tahu awalnya dia udah buat konsepnya, atau itu terlintas gitu aja pas gue chat. Tapi Pak Kara enggak sama sekali permasalahin kalau gue chat."
Eza terlihat antusias sekali menceritakan pengalamannya berbagi ilmu dengan Kara. Tanpa sadar, aku tersenyum. Aura positif yang Kara tularkan pada Eza kemarin rupanya belum hilang.
"Kenapa Bapak enggak bilang kalau bapak sudah punya ide promo bundling harga? Di map yang bapak kasih ke Bu Tami ada ide yang tadi Eza sampaikan, 'kan?"
Kara tersenyum saat kami berada di perjalanan menuju apartemen. "Dari siapapun ide itu keluar bukan jadi soal. Yang terpenting idenya tersampaikan dengan baik. Lagi pula, kalau ide itu dari teman kamu dan saya setujui, saya jamin dia akan lebih bersemangat menyelesaikannya, karena menganggap idenya dihargai perusahaan."
Perkataan Kara tempo hari kembali memutar di kepalaku. Ternyata, pria itu betul-betul dapat menghargai semangat orang lain yang bahkan jauh berada di bawahnya.
****
Aku memutuskan untuk mencari makan siang sebelum jam menunjukkan pukul dua belas. Setelah mendapat izin dari Bu Tami, aku memilih pergi ke Lawson untuk mencari salad, sandwich atau makanan ringan lainnya sebelum mendapati Dhiwangkara tengah duduk di depan teras kafe cabang CoffeTalks yang berada tidak jauh dari Lawson.
"Pak Kara?" sapaku.
"Chysa? Sedang apa kamu di sini?" Kara mengembangkan senyum dan lantas berdiri.
"Mau ke Lawson, Pak. Tadi pagi belum sempat sarapan, sekarang agak pusing karena perut laper." Aku tersenyum lebar di depannya yang langsung tertawa mendengar jawabanku.
"Kamu kelihatan pucat memang."
"Memang kelihatan banget, Pak?" Aku menoleh ke arah dinding kaca hitam CoffeTalks.
"Iya. Biasanya pipi kamu merah-merah kayak cherry."
Entah bagaimana dia melakukannya, tetapi perkataan yang mungkin Kara anggap bukan apa-apa membuat pipiku menghangat. Dan, alih-alih melanjutkan perjalanan membeli makanan, aku lebih memilih duduk di sampingnya.
"Bapak sedang apa di sini?" tanyaku saat melihat Kara sibuk dengan sebuah karton di tangannya.
"Pertanyaan kamu cuma basa-basi atau memang penasaran tentang apa yang saya lakukan?" Kara justru balik bertanya sembari menatapku dengan memiringkan wajahnya.
"Memang jawabannya bisa beda kalau niat saya beda?"
"Bisa kamu jawab pertanyaan saya dengan jawaban saja? Bukan malah bertanya balik?" Kara menggelengkan kepalanya. Karton besar di tangannya kini berubah menjadi sebuah kotak dengan lubang di atasnya.
"Kan saya duluan yang tanya bapak."
Ucapanku lantas membuat Kara tertawa keras. Entah apa yang ia tertawakan, tetapi pria itu sampai menyeka air mata yang keluar di ujung matanya.
"Lihat ini." Kara memberikan karton yang ia bentuk padaku. "Kalau contoh package-nya seperti ini bagaimana?"
Aku menerima karton pemberian Kara, meski bentuknya belum sempurna, tapi kotak dengan gagang di atas dan dua ruang yang dipisah dengan sekat yang cukup luas dapat aku bayangkan dengan baik.
"Jadi bapak dari tadi lagi buat packaging untuk acara event?" tanyaku saat membolak-balikan karton yang Kara berikan.
"Bukan cuma acara event. Tapi saya mau buat seperti itu untuk customer take away juga. Dengan bentuk seperti itu, minumannya tidak musah tumpah, rotinya juga tidak akan terkena embun dari es."
Aku menganggukkan kepala, menandakan bahwa aku paham dengan apa yang Kara katakan. Akan tetapi, aku teringat bahwa ia berbohong saat mengatakan bahwa ia akan tidur, karena nyatanya ia justru berkirim pesan dengan Eza.
"Pak Kara waktu itu bohongin saya, ya? Bapak bilang izin tidur, padahal kerja lewat telepon sama Eza."
"Kamu mau jadi kotak kaca saya juga? Ikut-ikutan sama Rion dan Agas?"
"Ehh? Bukan begitu maksud saya, Pak. Cuma hari itu bapak kan masih luka, jadi benar-benar perlu istirahat." Aku berkilah.
Sejujurnya, rasa khawatir bercampur rasa bersalah membuatku tidak nyaman saat menatap luka pada kening Kara.
"Saya yang paling tahu tentang kondisi saya, Chysa."
"Terserah deh. Lama-lama kenal bapak kayaknya saya bisa nilai kalau bapak itu keras kepala."
Aku berkomentar yang dihadiahi derai tawa pelan dari Kara. Tangannya bergerak mengambil karton yang sempat ia berikan dan menatap nanar pada langit siang dengan mata memicing.
"Kalau kepala saya keras. Harusnya saya tidak berada dalam kondisi seperti sekarang. Kamu tahu? Melupakan sesuatu itu rasanya tidak nyaman," ucap Kara. "Baik atau buruk, sesuatu tidak boleh kita lupakan begitu saja, karena mungkin ada yang tertinggal di belakang."
Ada perasaan tidak nyaman mendengar Kara bicara soal melupakan. Aku menelan ludah susah payah, mencoba untuk membalas perkataannya.
"Tapi terkadang ada beberapa hal yang harus kita lupakan, Pak. Karena kalau kita ingat-ingat terus juga enggak berguna lagi."
Aku tidak bermaksud menyindir Kara sebetulnya. Hanya saja aku ingin ia tahu bahwa sekarang aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Namun, bukan tersinggung, Kara justru kembali mengeluarkan suara tawa pelan.
"Apa yang berusaha kamu lupakan? Semakin kamu berusaha melupakan bukannya kamu akan semakin ingat?"
Aku bungkam, memilih untuk tidak menjawab pertanyaan yang lebih seperti tuduhan buatku.
"Kamu berusaha melupakan sesuatu karena belum ikhlas melepas itu. Di balik hati kecil kamu, ada harapan bahwa sesuatu itu akan kembali ke sosok yang kamu harapkan dulu. Karena itu, hati kamu berusaha menolak kalau dia sudah tidak seperti dulu dan lebih memilih untuk menguburnya dalam-dalam dengan imaji 'dia tetap yang dulu, hanya saya meninggalkan dia.' Tapi apa kamu tahu? Ketika kamu memutuskan untuk melupakan itu, sebetulnya kamu sudah kalah. Karena saat kamu baru memulai meninggalkan, sementara dia sudah pergi jauh tanpa kamu sadari."
Kata-kata yang Kara ucapkan mungkin pelan, tetapi membuat efek yang luar biasa besar dalam dadaku. Seperti ada rasa yang menghimpit. Dan, entah kenapa aku meloloskan air mata saat mendengarnya berbicara.
Waaaaaa udah sampe bab 20! Itu berarti, sudah 1/3 ceritanya berjalan. Gimana menurut kalian? Alurnya terasa lambat kah?
Atau ... siapa yang nunggu ingatan Kara balik pulih kayak dulu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top