bab dua belas ( kara's pov )
Acap kali menempati ruang yang mereka sebut kamar, rasa-rasanya seperti berada di sebuah museum yang penuh dengan sejarah membosankan. Penuh dengan cerita yang tidak aku mengerti meski sudah berusaha sekuat mungkin untuk mempelajari.
"Butuh sesuatu?" tanya asistenku, Agas, saat aku menyingkap selimut dan melemparnya ke sembarang arah. Ia mengambil gumpalan selimut lalu melipatnya. "Mimpi lagi?"
Aku memilih menyandarkan bahu pada headboard, mengambil remote TV dan menonton acara berita pagi. "Masih perlu ditanya?"
"I think you should see a doctor about this. Do I need to schedule a consultation?" Agas meletakkan selimut di ujung kakiku dan mengambil satu setel pakaian yang akan aku pakai untuk bekerja.
"Gue udah muak sama dokter, Gas." Mataku memejam beberapa saat dengan tangan yang terus mengusap bagian dada. Mencoba mengingat detail kejadian yang terlalu samar untuk aku ingat saat terbangun.
Mimpi yang sama, datang lebih dari lima kali dalam satu minggu. Seolah memintaku untuk mengingat segala hal yang aku lupakan selama empat tahun belakangan ini. Dan, ketika terbangun, ada perasaan sakit yang tidak dapat aku jelaskan serta beberapa tetes air di ujung mata yang harus aku seka sesegera mungkin.
"Sudah tanya Rion?"
Aku kembali membuka mata saat suara Agas kembali mengisi ruangan. "Sudah, tapi dia bilang selain Eliana gue enggak dekat sama siapa-siapa lagi. Lagi pula kalau memang ada, bukannya seharusnya dia datang seenggaknya sekali ke rumah sakit?"
"Jadi itu cuma mimpi yang enggak jelas? Atau mungkin film yang dulu pernah lo tonton?"
"Mungkin aja."
Aku bergerak bangkit dari kasur, mengambil handuk dan memasuki kamar mandi sebelum langkahku terhenti karena kejadian semalam. Iya, teringat bahwa pagi ini aku harus bertemu dengan pegawai baru yang semalam tidak sengaja menabrakku.
Aku memutar badan menghadap Agas yang sudah bergerak merapikan tempat tidurku. "Gas, lo tahu anak baru yang kemarin?"
"Anak baru? Divisi marketing? Ami sama Chya?" Agas menoleh, menatap dengan alis bertaut. "Kenapa?"
"Enggak apa-apa. Semalam ...." Aku menghentikan ucapan ketika teringat bahwa Agas akan mengomel ketika tahu aku lembur bersama Rion semalam.
"Semalam apa?" tanyanya.
"Enggak ada." Aku menggeleng dan memilih memasuki kamar mandi sebelum Agas bertanya lebih detail.
Agas adalah satu dari sekian orang yang akan mengomel jika tahu aku bekerja hingga malam hari. Tidak ada yang tahu persisnya tugas apa yang diberikan papa pada Agas, hingga pria itu begitu menjagaku dalam hal sekecil apapun. Yang aku tahu hanya satu hal, Agas mulai menjadi kepercayaan papa sejak ia membawaku ke rumah sakit saat kecelakaan empat tahun lalu.
Sejak kecelakaan itu, aku harus percaya segala hal yang orang lain ucapkan padaku. Dhiwangkara, aku harus percaya bahwa itu namaku. Dwi Aji Sataru, aku harus percaya bahwa itu nama ayahku. Kinasih Laksita, aku harus percaya bahwa itu nama ibu yang melahirkanku. Termasuk Rion, Eliana, juga Agas. Meski aku tidak benar-benar mengingat mereka, hanya itu yang dapat aku lakukan sampai saat ini.
"Eliana nelpon gue tadi pagi. Katanya lo enggak bisa dihubungi sejak semalam? Why?"
Suara Agas menarikku dari lamunan. Kini, Agas menyodorkan pakaian yang tadi ia pilihkan ke hadapanku. Kemeja putih yang tadi di dalam lemari terasa hangat karena sempat Agas setrika saat aku mandi.
"Gue lagi capek aja." jawabku singkat.
"Lo tahu, 'kan, lo bisa ceritain apa aja sama gue? Kecuali soal kerjaan, gue enggak pernah permasalahin lo mau ngapain aja, Kar. Yang penting jangan sampe abai sama kondisi lo." Agas memang selalu memberikan kebebasan atas apa yang ingin aku lakukan dan sampaikan padanya.
Tiga tahun terakhir bahkan ia dapat menjadi teman sekaligus kakak yang tidak pernah aku miliki sebelumnya. Meski aku juga tidak ingat apa aku pernah memiliki kakak sebelum kecelakaan yang menghilangkan seluruh memoriku.
Akan tetapi, kali ini aku menggeleng. Aku tidak yakin dapat berkata jujur pada Agas tentang apa yang aku pikirkan tentang Eliana belakangan ini. Mungkin bisa dibilang ini terlalu rumit untuk dijelaskan. Terlebih, Rion juga pasti akan menghabisiku jika aku menyakiti Eliana.
"Kalau nggak cerita sama gue. Lo tahu lo bisa cerita sama Rion, 'kan? Dia temen lo dari kecil. Dia orang yang paling lo bisa percaya tentang masa lalu lo."
Aku mengangguk ringan sembari mengancing kemeja. Handphone di atas bantal kembali berbunyi, menampilkan nama Eliana yang langsung kembali redup saat terdengar suara bel dari luar unit apatemenku.
Itu pasti Eliana.
Aku mengembuskan napas pelan sebelum berjalan keluar kamar dan membukakan pintu untuk Eliana.
"Kamu semalam enggak bisa dihubungin, Kar."
"Aku ada kerjaan." jawabku singkat.
Eliana menoleh ke belakang dan menatap Agas. "Lo, 'kan, asisten Kara. Harusnya lo bantu dia supaya enggak lupa waktu sama kerjaan. Lo tahu, 'kan kondisinya ...."
"Kara baik-baik aja. Jangan jadiin kondisi Kara sebagai alasan lo ngomel sama gue pagi-pagi begini," tukas Agas yang ikut keluar dari kamar, mendekat pada meja dapur dan menuangkan susu UHT ke dalam gelas.
"Lo tuh kalo dibilangin batu banget!" Eliana mengeraskan suaranya.
"Gue asisten Pak Dwi Aji. Bukan asisten Kara. Puas? Semalam gue ke tempat Pak Dwi Aji karena perintah beliau. Lo kalo mau protes sama dia aja!"
Suara Agas tidak kalah keras. Bahkan mungkin cukup untuk penghuni unit lain mengetuk pintu dan memperingati atau memberikan surat keluhan pada pengelola gedung. Ini yang aku tidak suka jika Eliana datang pagi-pagi menemuiku. Di mana ia akan berdebat dan adu suara dengan Agas, kemudian berakhir dengan tangisan.
Aku memijit kepala yang terasa berdenyut mendengar mereka saling meneriaki satu sama lain.
"Udah stop! Ini masih pagi." Aku mencoba menyudahi perdebatan di antara mereka berdua.
"Kamu bentak aku, Kar? Cuma karena dia?"
"Aku mau berangkat kerja. Enggak ada waktu untuk drama kamu. Jadi, please you should also go to the studio. Let me drop you off. Okay?"
Eliana mencebik pelan sebelum menghentakkan kakinya keluar dari unit apartemenku. Aku meminta Agas untuk berangkat lebih dulu dan menitipkan pesan jika pagi ini salah satu karyawan baru dari tim marketing akan menemuiku.
Chysara.
Nama yang cocok untuk perempuan cantik sepertinya. Meski aku merasa ada yang mengganjal pada diri Chysara, seperti dia punya alasan kuat untuk membenciku, tetapi, sejak melihatnya mengerjapkan mata saat di ruang meeting kemarin. Untuk pertama kalinya, aku merasakan ketertarikan pada seseorang. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan sejak aku membuka mata empat tahun lalu di rumah sakit.
Dan, pertemuanku pagi ini dengannya bukanlah untuk memberikan sanksi maupun teguran apa pun perihal kesalahannya menumpahkan minuman padaku, melainkan untuk memastikan apa aku pernah mengenalnya sebelum ini. Aku bukan orang bodoh yang tidak sadar bahwa ia melemparkan tatapan benci padaku ketika selesai meeting pertama. Hanya saja, aku tidak tahu jelas apa alasannya menaruh benci padaku.
"Kar? Kamu melamun?"
Teguran Eliana menarikku kembali pada realitas. Ternyata, sejak perjalanan menuju basement aku melamun memikirkan karyawan baru itu.
"Enggak," jawabku sembari merogoh kantong dan mengambil kunci mobil. Aku membuka pintu mobil bagian kiri, mempersilahkan Eliana untuk masuk sebelum memutari mobil dan duduk di kursi kemudi.
"Nanti malam kamu bisa jemput aku? Kamu udah janji bakal anterin aku ke nikahan temenku loh," ucap Eliana saat aku memutar stir dan berbelok menuju pintu keluar.
"Emang nanti malam? Bukannya kamu bilang hari sabtu?" Aku menoleh ke samping, tempat di mana Eliana duduk sembari merapikan make up dengan cermin kecil di tangannya.
"Iya sabtu. Tapi aku mau beli baju dulu nanti malam. Temenin, ya?"
"Kerjaanku banyak, El."
"Minta aja Rion yang selesaiin. Atau enggak Agas, dia jangan kamu manja teruslah! Dia, 'kan, dibayar buat bantu kerjaan kamu." Suara Eliana kembali meninggi.
"Aku sudah terlalu sering minta Rion atau Agas kerjain kerjaan aku." Aku menolak saran yang diberikan Eliana padaku.
"Ya terus? Mereka memang dibayar untuk itu, 'kan?"
"Eliana, amnesia itu enggak menular. Kamu lupa Rion itu siapa?" Keningku terlipat mendengar ucapan Eliana.
"Iya. Aku ingat. Terus kenapa? Meski teman kecil, itu enggak akan menghilangkan statusnya yang dibayar papa kamu untuk jadi bayangan kamu, 'kan?"
"Dia juga teman kamu kalau kamu lupa." Aku memilih tidak lagi mendebat Eliana.
"Kar? Kamu marah karena aku ngomong gitu soal Rion?"
"Masih perlu kamu tanya?"
Tangan Eliana terulur meraih tanganku yang bertengger di atas setir. "Aku minta maaf deh. Habis kadang tuh aku sebel banget kalau kamu udah lebih pilih bareng Rion dan Agas dibanding sama aku."
Tanpa berkata apa-apa, aku menepikan mobil di depan studio milik Eliana. "Sudah siang. Aku harus kerja."
"Oke. Tapi jangan lupa nanti malam, ya?" Eliana kembali mengulurkan tangan dan mengelus pipiku sebelum keluar dari mobil. Dia lebih seperti tidak peduli dengan sikap yang aku tunjukkan.
Aku kembali mengembuskan napas berat. Lelah rasanya menghadapi mood Eliana belakangan ini. Bahkan, satu waktu aku merasa seperti sebuah boneka yang harus mengikuti segala kemauannya yang memintaku untuk abai terhadap pekerjaan.
Meski didukung oleh persetujuan Rion terhadap permintaan Eliana untuk aku abai akan perkerjaan, terkadang aku merasa tidak memiliki andil penting dalam perusahaan yang papa siapkan untukku.
Apa Agas akan mengerti jika aku mengatakan hal ini padanya? Atau dia hanya akan menyalahkanku atas perilaku sensitifku? Entahlah ... sepertinya sejak empat tahun lalu, peranku hanyalah menuruti segala hal yang orang lain katakan. Atau memang sebelum kehilangan ingatan aku juga menjalani kehidupan seperti ini. Who knows?
Meski keliatannya baik-baik aja dan terlihat happy-happy aja. Nyatanya Kara susah ngejalanin hidup dari awal lagi. Dia seolah kehilangan kebebasan berpendapat untuk hidupnya sendiri dengan alasan 'kamu itu dulu enggak gitu' walaupun Kara sendiri enggak yakin kalau dulu dia bagaimana :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top