Present

Pemakaman Ayah Shanum telah selesai dilaksanakan. Doa doa dan alunan ayat ayat suci Alquran terus terdengar di rumah besar keluarga Iman. Mengiringi kesedihan yang masih erat bersemayam di hati Shanum.

Iman menghampiri Istrinya yang duduk dengan kaki berselonjor diatas tempat tidur sambil menyusui Reen. Mengecup kening Istrinya dengan segenap rasa cintanya.

" Kau tidak usah keluar. Di sini saja. Biar Bi Yumi, Ibu dan Bu Yatni yang mengurus untuk pengajian di luar. Istirahatlah. Sepertinya Afifah juga sudah datang, tadi aku lihat dia sedang berbicara dengan Ibu." Ucap Iman sambil menatap Shanum lalu mencium pipi gemuk Reen yang mulai terlelap. Lalu bersiap hendak beranjak.

" Bang, aku mendengar pembicaraan Halimah tadi di Rumah sakit."

Iman memutar tubuhnya segera, mengerung menatap mata Shanum yang terlihat ragu ragu menatapnya. Tangannya mengusap lembut kepala Istrinya itu.

" Lalu?" Tanya Iman ringan.

" Apa Abang tidak merasa malu?" Tanya Shanum hati hati sambil menatap Suaminya.

" Apa kau bisa memilih dari mana asalmu. Dari rahim siapa kau dilahirkan dan siapa Orang tuamu. Sayang, kita tidak pernah bisa memilih. Semua adalah kehendak Allah." Ujar Iman yang kini kembali duduk dihadapan Istrinya. Matanya lekat menatap mata bening itu.

" Tapi ini cukup memalukan, Bang. Coba Abang resapi semua kata kata Halimah." Ucap Shanum, matanya telah berkaca kaca. Iman mengulas senyum.

" Apa kau malu memiliki Ayah yang terganggu kejiwaannya?" Tanya Iman lembut. Shanum menggeleng lemah.

" Lalu kata kata Halimah yang mana yang harus kuresapi, sayang. Aku hanya akan peduli pada Istriku, keluargaku. Aku tidak mau ambil pusing dengan semua pikiran atau pun pembicaraan orang lain." Ucap Iman sambil menatap lekat Istrinya. Tangannya lembut mengusap pipi merona kesukaannya. Shanum mencium tangan Suaminya.

" Terima kasih, Bang." Ucap Shanum tulus. Iman hanya mengulas senyum menanggapinya.

" Haruskah aku menyalahkan Bu Yatni yang tidak pernah sedikitpun memberitahukan siapa Orang tuaku?" Tanya Shanum lirih seolah pada dirinya sendiri. Iman menggeleng.

" Tidak perlu, sayangku. Mungkin Bu Yatni punya alasan, kanapa dia tidak memberitahukanmu tentang siapa Orang tuamu." Ujar Iman bijaksana. Shanum mengangguk dengan senyum.

" Sudah, sekarang Bundanya Adnan dan Reen istirahat ya. Reen juga sudah bobo tuh. Ayah keluar dulu, sebentar lagi pengajiannya dimulai. Ingat ya Bun, Ayah sayang dan cinta Bunda." Ucap Iman sambil mencium kening Shanum lama. Wanita itu tersipu, bibirnya mengukir senyum. Matanya berbinar menerima perhatian tulus Suaminya.

" Ayah, Bunda juga sayang dan cinta sama Ayah." Ucap Shanum yang ditanggapi senyum oleh Suaminya.

Sepeninggal Iman, Shanum tidak segera terlelap. Dia menempatkan Reen disebelahnya kemudian dia menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur. Menatap damai buah hatinya yang nyenyak terlelap dan senyumnya segera saja terulas.

" Terima kasih ya Rabb, atas semua yang Engkau berikan. Aku bersyukur sekali." Ucap Shanum lirih.

Rekaman kejadian tadi seolah begitu saja kembali berputar. Dari mulai Bu Yatni yang menghubunginya sambil menahan isakannya. Mengabarkan bahwa Ayah yang selama ini tidak dikenalnya dilarikan ke Rumah sakit karena sakit parah. Keadaannya yang telah kritis membuat Shanum tidak sempat untuk menatap sebelum ajal, apalagi mengajaknya berbincang.

Lalu pembicaraan Suaminya dan Halimah di selasar Rumah sakit menuju Kantin. Dimana saat itu Shanum hendak menyusul suaminya yang akan membeli air minum. Jelas sekali terdengar, ketika Halimah berucap dengan suaranya yang selalu terkesan menyepelekannya.

" Kau lihat, Man. Wanita tercintamu itu ternyata memiliki seorang Ayah. Seorang Ayah yang kini sudah terbaring tidak bernyawa. Tapi bukan itu yang akan kukatakan padamu. Ternyata Istrimu itu memiliki Ayah yang terganggu kejiwaannya. Pantas saja selama ini dia tidak pernah mau mengakuinya. Masihkah kau akan bilang, dia wanita terbaik untukmu?"

Perih, sakit. Serasa beribu jarum menusuk hati Shanum mengingat itu. Berkali kali dia menggelengkan kepalanya. Air mata merebak, membasahi pipinya. Suara lirihnya terdengar begitu nelangsa.

" jika saja Aku tahu kalau Ayahku masih ada. Jangannya Orang gila, penjahat atau pembunuh sekalipun aku pasti akan mengakuinya."  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top