Present

Shanum menatap takut takut Suaminya yang baru pulang. Dia merasa sangat berdosa dengan apa yang telah dilakukannya. Memeluk lelaki lain yang jelas jelas bukan muhrimnya. Tapi tadi itu sungguh sesuatu yang terjadi diluar keinginannya. Akal sehatnya terkalahkan rasa rindu yang menggebu. Shanum tertunduk dalam.

" Tapi tetap saja salah."

Shanum merutuki dirinya di dalam hati. Dia kembali menatap Suaminya yang kini mengelus pelan pipinya.

" Istriku kenapa, dari tadi diam saja."

Suara lembut dan penuh kasih membuat Shanum semakin merasa bersalah. Air mata lolos dari kelopak matanya.

" Eh, malah nangis. Ada apa, sayang. Ada yang membuatmu kesal atau kau menginginkan sesuatu?"

Tuuh, ya Allah. Suamiku begitu baik, batinnya. Shanum semakin terisak. Rasa malu dan takut bercampur menghampiri hatinya. Segera aja dia menubruk tubuh Suaminya, walaupun tidak dapat sedekat dulu karena perut buncitnya menghalangi.

" Aku mohon maaf, tolong jangan marah. Aku salah. Aku, aku.." Jerit Shanum dalam hati.

" Kenapa dengan Istriku ini. Ada apa habibti, cintaku, sayangku. Bayi kecilku di dalam nakal ya, bikin Bundanya nangis." Tanya Iman sambil merengkuh sayang Shanum. Dikecupinya puncak kepala Istrinya itu.

" Tadi ada Bu Yatni datang, tapi tidak bisa menginap. Besok ada kunjungan dari Dinas Sosial." Ucap Shanum disela isakannya.

" Lalu kenapa kau menangis, masih kangen tapi Bu Yatni sudah pulang. Kita kan bisa ke sana hari minggu nanti. Asal kau tidak mual dan muntah dalam perjalanan. Aku tidak akan tega melihat Istriku ini mual terus muntah muntah. Pasti rewel."

Iman menatap wajah Istrinya yang dipaksa untuk menatapnya dengan memegang lembut dagunya. Shanum berusaha memaksakan diri untuk tersenyum. Iman mengecup bibir Istrinya.

" Sudah, aku mau mandi. Setelahnya kita makan. Masak apa Istriku hari ini?"

Iman berlalu menuju ke kamar. Shanum segera mengikutinya. Membantu Suaminya membukakan dasinya, kemejanya dan juga celananya. Mengambilkan handuk lalu menyerahkannya dengan senyum.

" Terima kasih, cantik. Aku mandi dulu, jangan kangen ya.." Ucapnya sambil mengecup singkat bibir Istrinya.

Shanum menatap Suaminya yang memasuki kamar mandi. Ketika terdengar suara shower dinyalakan. Dia segera mengambil ponselnya. Ada pesan masuk yang membuatnya kembali dihinggapi rasa takut. Pesan dari Enggar.

Sedang apa Shanum cantik        kesayangannya, Mas?

Shanum segera menghapus pesan itu tanpa membalasnya. Jantungnya berdegup kencang tidak beraturan. Perasaan takut itu membuatnya ingin menangis. Belum hilang perasaan takutnya. Ponsel itu sudah kembali berbunyi. Sebuah pesan kembali muncul di sana. Masih dari orang yang sama. Shanum memejamkan matanya. Tanpa membacanya dia segera menghapusnya.

Shanum teringat kejadian tadi siang, ketika secara tiba tiba saja Enggar mengajak Bu Yatni untuk bergegas pulang. Shanum melihat sinar mata Mas yang selalu menjaganya dulu, penuh rasa kecewa dan amarah. Mata itu terus menatap tajam ke arahnya. Setelah dia menyadari ternyata Shanum cantik kesayangannya, perutnya telah membuncit.

Lalu ketika berpamitan, lelaki itu berbisik dengan nada ketus di telinga Shanum.

" Siapa lelaki yang telah lancang menyingkirkanku dari hatimu, cantik kesayanganku?"

Shanum bergidik ngeri. Kemudian dia menggeleng gelengkan kepalanya. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat. Dia memejamkan matanya sambil merebahkan kepalanya di atas bantal.

" Sayang, kau mengantuk?"

Pertanyaan Iman yang lembut sambil mencium pipinya, membuat Shanum terperanjat. Shanum dengan cepat menggelengkan kepalanya. Dia lalu meletakkan ponselnya begitu saja. Kemudian berdiri dan membetulkan kaos yang dipakai Iman yang terlihat belum rapi.

" Ayo kita makan." Ajak Shanum sambil menarik tangan Suaminya keluar dari kamar.

" Sayang, sepertinya ponselmu berbunyi." Ucap Iman yang membuat Shanum tercekat.

Shanum pura pura tidak mendengar, langkahnya terus saja menuju ruang makan sambil menarik tangan Iman. Lelaki itu menatapnya lekat.

" Kenapa kau tidak mau mengangkat panggilan itu. Siapa tahu itu penting. Ayo, angkat dulu, jangan seperti itu." Ucap Iman lembut dengan malas Shanum beranjak kembali ke kamar, mengambil ponselnya.

" Sudah mati." Ucap Shanum sambil memperlihatkan ponselnya begitu sampai dihadapan Suaminya.

" Tuh, dia menghubungi lagi. Ayo diangkat." Ucap Iman sambil menatap ponsel Istrinya yang kini kembali menyuarakan nada panggil.

Shanum merasa serba salah. Dia menatap ponselnya dengan malas bercampur rasa kesal. Tapi kemudian merasa lega, ketika yang tampak di layar ponselnya bukan nama yang tadi mengirimkan pesan.

" Assalamualaikum Bu. Iya, iya Bu, minggu, ehm minggu besok Shanum dan Bang Iman ke sana."

Ucapan Shanum terdengar gugup, dia kaget. Ternyata yang berbicara diseberang sana bukan Bu Yatni, tapi Enggar. Cepat Shanum memutus pembicaraan, lalu mematikan ponselnya. Untungnya Iman tidak melihat. Lelaki itu sedang mengambil minum yang belum sempat Shanum sediakan.

" Siapa yang menghubungi, cantik?" Tanya Iman sambil meletakkan dua gelas air di meja.

" Bu Yatni. Menanyakan kapan kita ke sana, aku bilang minggu besok." Jawab Shanum dengan senyum untuk menyembunyikan rasa gugupnya.

Iman mengusap pipinya Istrinya. Lalu mengecupnya lama.

" Kita akan ke sana minggu besok. Kau sudah kangen sahabat sahabat kecilmu ya, tapi di sana jangan banyak bergerak ya. Kasihan bayi kecilku ini." Ucap Iman dengan mengusap lembut perut buncit Istrinya.

" Gimana nanti saja. Sepertinya aku malas ke sana." Ucap Shanum dingin. Iman menatap Istrinya heran.

" Loh.."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top