Past

Iman masih belum juga dapat menemukan alasan dari sikap Istrinya yang terkadang melamun atau tidak mau mengangkat ponselnya ketika Bu Yatni menghubungi.

Lalu pagi ini, ketika istrinya sibuk memasak di dapur. Ponselnya tergeletak di meja kamar. Sebuah pesan masuk, Iman melihatnya dan terpampang nama Bu Yatni di sana. Iman mengambil ponsel itu dan berniat memberikannya ke Istrinya tapi nada dering di ponsel itu terdengar nyaring. Nama Bu Yatni yang terlihat di layar. Iman segera menekan tombol hijau.

" Assa..la.." Ucapan salam Iman tertelan di tenggorokan. Dia diam mendengarlan suara di seberang.

" Shanum cantik kesayangannya, mas. Kenapa selalu menghindari mas. Kau tidak pernah mau membalas pesan mas. Kau juga tidak pernah mau mengangkat panggilan dari mas. Kenapa sayangnya mas, kamu sudah lupa sama mas. Mas kangen Shanum cantik kesayangan mas. Mas.."

Iman menatap lurus ke arah pintu, di sana berdiri Shanum yang sedang menatapnya. Mata Istrinya itu menatapnya takut takut. Matanya telah berkaca kaca. Iman segera melemparkan begitu saja ponsel yang masih tersambung lalu lelaki itu bergegas menghampiri Istrinya itu.

Shanum menubrukkan diri ke tubuh Iman. Sedikit meringis karena perutnya terhimpit. Iman segera membawanya untuk duduk tanpa melepaskan rangkulannya.

" Apa ini yang membuat Istri cantikku akhir akhir ini sering melamun?" Tanya Iman pelan. Shanum tergugu. Wanita itu menatap Suaminya dengan mata berair.

" Kenapa tidak cerita, sayangku?" Tanya Iman lagi. Shanum tertunduk lalu menggeleng lemah.

" Aku, aku bukan mau. Eh, maksudku aku bukannya tidak cerita tapi aku takut. Dia Mas Enggar, lelaki pertama yang begitu dekat denganku. Dia yang selalu menjagaku dan membuatku tersenyum ketika aku bersedih. Lalu dia pergi, entah kemana. Tidak ada kabar apa pun selama beberapa tahun. Sampai aku bertemu denganmu. Bertemu lelaki lain yang ternyata mempunyai arti yang berbeda." Shanum menghela napas lalu dengan berani menatap Iman.

" Kau menghadirkan sesuatu yang lain. Tatapan matamu membuat jantungku berdebar lebih cepat. Senyumanmu membuat aku salah tingkah tidak karuan. Lalu berdekatan denganmu yang membuatku tidak ingin lagi menjauh. Aku selalu kangen dan ingin bertemu tapi aku juga malu. Ini tidak aku rasakan ketika dulu berdekatan dengan Mas Enggar. Aku hanya merasa dilindungi, itu saja." Ucap Shanum terdengar pelan, begitu menyejukkan hati Iman yang sebenarnya sudah mulai merasakan kemarahan naik memenuhi hatinya.

" Lalu apa yang membuatmu takut, habibti?"

Iman mengusap lembut kepala Istrinya. Rasa sayang dan cintanya menguar tidak tertahankan. Ada sedikit rasa takut yang mengigit gigit hatinya. Rasa takut jika wanita yang kini merebah manja dipelukannya ini berpaling. Iman tidak sanggup untuk membayangkannya.

" Aku takut, sangat takut Bang. Mas Enggar sepertinya marah melihat aku yang sudah menikah denganmu dan sedang mengandung. Dia selalu mengirimiku pesan yang tidak pernah kubalas. Menghubungiku yang tidak pernah kuangkat. Aku terus terang takut." Ucap Shanum sambil menenggelamkan tubuhnya yang berperut buncit ke dalam pelukan Suaminya. Iman menyambutnya dengan penuh kasih.

" Lalu dia memakai ponsel Bu Yatni untuk menghubungimu?" Tanya Iman sambil mengecupi kening Istrinya. Wanita itu mengangguk.

" Abang baca saja pesannya itu." Ujar Shanum.

Wanita itu beranjak mengambil ponselnya yang tadi dilemparkan sembarang oleh Iman. Dia sedikit terperanjat karena ternyata sambungannya belum terputus. Dia mematikannya cepat kemudian menyodorkan ponselnya ke hadapan Suaminya. Lalu dengan ringan duduk sambil menyandarkan tubuhnya di tubuh besar Suaminya itu.

Iman menerimanya tapi ketika hendak membuka pesan, ponsel itu bergetar. Nada ponsel nyaring berbunyi. Nama Bu Yatni kembali terlihat di layar. Segera Iman mengangkatnya.

" Ini harus segera disudahi." Gerutunya. Shanum menatap tergugu.

" Assalamualaikum. Saya Iman, Suami Hanifa. Istri saya sedang terlelap tidur dalam pelukan saya. Kepalanya sedikit pusing. Ada apa ya Mas?"

Iman membuat suaranya terdengar setenang mungkin, padahal gejolak kekesalan sudah sedari tadi menguasainya. Lalu ketika suara seorang lelaki terdengar, Iman mengeratkan rahangnya.

" Saya Enggar. Saya hanya ingin menyapa Shanum cantik kesayangan saya. Apakah dia baik baik saja, apakah dia nyaman berada dipelukan lelaki lain dan apakah lelaki itu memiliki cinta sebesar saya mencintainya."

Iman memejamkan matanya untuk meredam amarahnya. Dia beristigfar dalam diamnya. Shanum yang menatapnya merasa takut. Air mata menitik tanpa mampu dihindari. Tangannya perlahan mengusap perutnya yang terasa kram. Shanum meringis, mendesis menahan rasa sakit yang menyerang area perut bagian bawahnya.

Iman yang melihat wajah Istrinya yang meringis menahan sakit menguratkan cemas di wajahnya. Dia langsung berucap penuh amarah.

" Dengar, jika terjadi sesuatu dengan Hanifa. Saya akan mengejarmu."

Lalu Iman memutus panggilan dan beralih menatap Istrinya. Mengusap lembut perutnya dan merunduk untuk menciumnya. Kemudian berucap lirih merayu buah hatinya.

" Jangan nakal sayangnya Ayah. Kasihan Bunda kesakitan."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top