🦋 9. Tak Berbeda 🦋

Temans, met malem. Aku datang🤭🤭🤭
Langsung baca hyukk😍

Abiseka tertegun begitu meletakkan termos es teh di samping ibunya. Dia bahkan tidak mengindahkan panggilan Bu Lika ketika tatapan matanya memindai Ariani yang sedang makan. Melihat cara mantan kekasihnya itu makan, sepertinya kelaparan sekali. Namun, dia meragukannya. Ariani tidak mungkin kelaparan mengingat dia adalah menantu orang paling kaya di desa mereka. Lagipula suaminya juga bukan pengangguran. Sudah pasti makanan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan.

Entah sudah berapa lama Abiseka tidak melihat Ariani. Rasa rindunya bertumpuk membalut seluruh kenangan-kenangan yang tidak pernah berhasil dia lupakan. Melihat gadis itu ... bukan gadis, tetapi wanita. Melihat wanita itu sekarang, rasanya berbeda dengan beberapa bulan lalu ketika dia mengucapkan selamat berbahagia di pelaminan. Saat ini Ariani terlihat lebih cantik, bersinar, dan ... entahlah. Abiseka tidak bisa mendeskripsikan apa yang sudah dia lihat pada diri Ariani.

"Seka, Le ... mikir apa, loh? Dipanggil dari tadi kok malah ngelamun." Bu Lika kembali memanggil Abiseka.

"I ... iya, Buk. Seka dengar," sahut Abiseka tergagap. "Ibu perlu apa? Masih adakah yang tertinggal?"

"Mana gelas plastiknya? Tadi Ibuk sudah pesan sama kamu."

"Itu di samping Ibuk." Abiseka menunjuk kantong plastik hitam yang sudah dia letakkan terlebih dulu.

"Oh, iya. Ya wes tolong tuangkan es teh itu ke gelas dan bagikan ke orang-orang."

Abiseka menarik kantong plastik tempat gelas yang sudah dibawanya. Dia melepas gelas satu per satu dan mengisinya dengan es teh. Tanpa dia tawari, Ariani mengambil satu gelas dan langsung meminumnya hingga tandas. Keheranannya semakin menjadi saat Ariani mengulurkan gelas kosong padanya.

"Bolehkah aku nambah lagi, Mas Seka?" tanyanya.

Mas Seka? Ariani tidak pernah memanggilnya seperti itu sebelumnya. Abiseka bertanya-tanya apa yang sudah terjadi dan tidak dia ketahui. Meskipun semua orang memanggilnya demikian, tetapi mendengar Ariani yang mengucapkannya sungguh terasa berbeda. Seperti ada sesuatu yang membatasi mereka berdua. Mereka memang berbatas, Abiseka mengerti hal itu, tetapi tidak bisakah Ariani membiarkan dirinya tetap menjadi Abi?

Abiseka menarik napas panjang. Akhirnya satu-satunya kesenangan pun telah terenggut. Sampai di situ pun Abiseka tetap berharap bahwa Ariani akan menengok padanya. Meskipun sedikit tidak apa-apa asalkan dia tahu masih punya tempat di hati Ariani. Tak bisa dibayangkannya jika Ariani benar-benar melupakannya dan membuang seluruh kenangan cinta mereka.

"Mas?" Suara lembut Ariani menyadarkan Abiseka dari lamunan.

"Mas Seka lagi kangen pacarnya kali itu, Ar. Minta sama Budhe Lika saja kan bisa?" Giandra berujar sambil terus menikmati makan siangnya.

Abiseka menuang es teh ke gelas Ariani. Sampai penuh dan dia memperhatikan bagaimana Ariani kembali meminum es itu. Sepertinya benar-benar melegakan. Ada saat Abiseka merasa begitu bahagia, salah satunya adalah ketika dia melihat Ariani menikmati semua makanan sampai kenyang. Siang itu adalah salah satunya. Ketika dia melihat Ariani makan seperti orang kelaparan, rasanya seperti kembali ke masa lalu mereka. Perempuan yang tidak cerewet memilih makanan dan memasukkan apa saja yang tersedia tanpa protes. Sudah menjadi menantu orang kaya pun sepertinya tidak mengubah seleranya terhadap makanan.

"Saya nggak punya pacar, Mas Gian," sahut Abiseka.

Giandra menoleh. "Masa?" tanyanya tak percaya. "Segagah Mas Seka nggak punya pacar? Mas Seka pilih-pilih kali?" Giandra tertawa mengakhiri kalimatnya.

"Pacarku menikah dengan orang lain." Abiseka melontarkan kalimatnya seraya menatap tajam pada Ariani.

Apa yang Abiseka harapkan adalah Ariani bereaksi terhadap kalimatnya. Meliriknya, mengucapkan beberapa patah kata yang sifatnya gurauan, atau apa saja yang bisa membuatnya mendengar suara lembut sang mantan. Namun, apa yang dia harapkan tidaklah terjadi. Harapan tinggal harapan dan keinginan terkecilnya pun terhempas. Musnah bersama impian-impian yang tidak pernah siap dia biarkan berlalu.

"Seka, menuang es tehnya sudah selesai, kan?" Bu Lika menghentikan kalimat yang akan diungkapkan Abiseka. "Pergilah ke ladang dan bawakan makanan untuk bapakmu!"

"Iya, Buk."

Abiseka membereskan tempat es teh yang sudah kosong. Setelah berpamitan, dia melangkah pergi melewati pematang sawah dan tidak menoleh lagi. Rasanya sakit melihat Ariani di sana bersama suaminya. Abiseka mengakui kalau Giandra adalah pria yang ramah. Meskipun putra dari orang terkaya di desanya, suami Ariani itu tidak sombong. Justru bisa dikatakan kalau Giandra adalah pria baik dan murah hati.

Tentu saja Ariani memilih Giandra daripada dirinya. Dengan semua kualitas yang dimiliki oleh Giandra, wanita mana pun pasti tidak akan menolak untuk menjadi istrinya. Termasuk Ariani. Siapa yang peduli pada masa lalu mereka yang meskipun indah, tetapi tidak punya masa depan cerah. Wanita menginginkan jaminan masa depan sementara dia tidak bisa memberikannya. Jadi, apa yang bisa dibanggakan oleh seorang wanita jika mempunyai suami seperti dirinya?

***

Tugas Abiseka untuk memperhatikan kebutuhan bapaknya sudah selesai. Pria yang membesarkannya itu sedang istirahat setelah makan siang. Tadi bapaknya mengatakan ingin pulang sebentar sementara Abiseka memilih untuk tetap berada di ladang. Jagung mereka akan panen sebentar lagi. Hari juga sudah mendekati sore, waktunya memanen cabe dan kacang panjang untuk dijual ke pasar besok.

"Ka! Seka!" seseorang berteriak memanggil Abiseka.

Abiseka berdiri dan menoleh ke arah suara. Seorang pria berambut pirang berlari kencang ke arahnya. Abiseka menautkan alis, merasa tidak punya teman atau kenalan berambut pirang. Setelah dekat, senyum Abiseka mengembang. Dia mendekat pada temannya yang berhenti dengan napas terengah, tak jauh di depannya.

"Wira!" seru Abiseka lalu merangkul sahabatnya.

"Wei, tambah kekar aja kau," kata Wira. "Pacarmu pasti bangga. Belum nikah to, kamu?"

"Ini kenapa rambutmu kok jadi karatan begitu?" Abiseka mengabaikan pertanyaan Wira yang baginya seperti menambahkan garam di atas lukanya lagi dan lagi.

"Ini namanya kekinian, Ka. Gak paham juga. Mau panen apa?"

"Biasa. Panen cabe sama kacang. Ambillah kalau mau."

Wira tertawa keras. "Gak doyan aku, Ka. Makan itu mbok diganti jadi ayam goreng tepung kaya di tipi itu loh."

"Tipi kelir?"

"Seka ndeso!" Wira terus tertawa mendengarkan jawaban demi jawaban yang diucapkan Abiseka.

"Biar ndeso yang penting sehat ini." Abiseka membela diri. "Ngomong-ngomong kapan pulang?"

"Ini juga baru pulang. Aku cuma naro koper dan langsung ke sini. Tahu sendiri kalau Ibuk sama Bapak pasti ke sawah. Lagi panen itu tadi aku lihat dari taksi."

Abiseka mengangguk. Dia mengajak temannya ke pondok dan menyuguhkan es teh. Ada juga talas goreng tepung yang ternyata dilahap Wira tanpa protes. Rasanya begitu senang melihat Wira masih menikmati makanan yang dia suguhkan meskipun baru pulang dari Korea. Biasanya orang cenderung sok tidak doyan makanan Indonesia sepulangnya dari luar negeri. Wira yang tidak berubah membuat Abiseka bertanya apa saja pengalaman temannya itu selama bekerja di Korea.

Mendengarkan cerita Wira, rasanya Abiseka ingin pergi ke Korea juga. Sepertinya menyenangkan bekerja di sana. Ada banyak pengalaman yang bisa didapat dan itu benar-benar menarik. Dari cerita saja Abiseka bisa membayangkan seandainya dia juga bekerja di sana. Akan ada beberapa hal yang pasti akan dilakukannya supaya kerjanya lebih enak.

"Tertarik, Ka?"

"Sedikit, tapi kau tahulah kalau Ibuk sendirian."

Wira berdecak. "Sendirian bagaimana? Ada Bapakmu kok yang menemani beliau. Lagipula mau sampai kapan kau macul?"

"Butuh waktu untuk bisa kerja ke Korea, kan?" Abiseka ragu. "Masih harus ke penampungan, belajar bahasa, nunggu dapat majikan, urus visa, dan entah apa lagi."

"Kalau kau mau, berangkat sama aku, Ka. Nggak usah ke penampungan TKI buat belajar ini dan itu. Bahasa Inggrismu kan bagus? Itu aja cukup. Belajar bahasa di sana saja. Gampang to?"

"Bersamamu gimana?"

"Ya sama aku. Gampanglah, gak pakai potongan-potongan."

Abiseka tergiur mendengar cerita Wira. Namun, dia bisa melakukan apa? Ibunya tidak ada yang membantu dan sejujurnya Abiseka juga tidak tega meninggalkan beliau yang mulai menua. Menurut wanita yang telah melahirkannya itu, Abiseka bisa bekerja di sawah dan ladang. Hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jika ingin penghasilan lebih maka Abiseka harus berpikir untuk menanam apa supaya bisa cepat panen.

"Nantilah aku pikir-pikir dulu," ujar Abiseka.

"Jangan kebanyakan mikir, Seka!" Wira terdengar jengkel "Memangnya sampai kapan kamu mau begitu-begitu saja?"

Jauh dalam lubuk hatinya Abiseka masih berharap Ariani bisa kembali padanya. Memang kemungkinannya kecil, bahkan tidak ada. Siapa yang tahu takdir? Abiseka memercayai hal itu. Entah sudah berapa lama dia tidak melihat Ariani sampai saat mengantar es teh tadi siang.

Kerinduan Abiseka sedikit terobati walau hanya dengan menatap Ariani saja. Meskipun Ariani menganggapnya orang lain, tetapi itu pasti karena keberadaan suaminya. Saat mereka bertemu berdua, respons Ariani pasti tidak akan seperti itu. Bagaimanapun, Ariani adalah orang yang paling mengerti dirinya. Tanpa bertanya pun Ariani tetap tahu apa yang dibutuhkan olehnya.

Abiseka terus larut dalam puluhan andai yang dia bayangkan sendiri. Terus memupuk harapan tanpa tahu kalau harapannya tetap berupa harapan kosong. Mungkin dia tahu, hanya saja Abiseka tidak mau tahu. Harapannya masih belum terhenti, cintanya masih membara dan kenyataan yang sudah terjadi tetap tidak menghentikan cintanya untuk Ariani.

Rasa yang terus dijaga oleh Abiseka membuatnya tidak bisa berpikir logis. Dia terus memupuk impiannya tanpa sadar jika sebenarnya dia hanyalah memupuk luka. Luka tidak berdarah dan pasti akan mengungkung hatinya untuk terus tertutup dan menolak pemikiran yang lebih baik.

Rasa yang terus melambung di hati Abiseka telah membuatnya lupa. Bahwa setelah kekecewaan mendalam pasti ada bahagia yang menanti. Akan ada tawa setelah tangis dan pasti ada pelangi setelah hujan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Abiseka selain terus larut dalam kenangan yang terus dia lindungi agar tetap abadi. Meskipun perih dan terkadang menyakitkan, Abiseka rela menanggungnya sendirian.

"Ngelamun apa, Ka?"

Abiseka menggeleng. "Nggak ada. Hanya mikir saja kalau hidupmu sudah enak."

"Hidupku memang enak dan aku bersyukur untuk itu. Makanya ayo ikut aku kerja, sebagai teman aku tak keberatan membantu." Wira kembali menawarkan.

"Tapi Ibukku ...."

"Begini saja, Ka ... simpan nomer telponku. Hubungi aku kalau kamu siap menyusulku. Nanti biar kubantu prosesnya.

"Boleh." Abiseka mengangguk. "Kirimi aku nomer hapemu. Nomerku masih tetep."

"Oke. Ngomong-ngomong mana Ariani? Tumben sudah hampir sore dia belum datang. Atau masih bikin camilan seperti kebiasaannya dulu?"

Nah, loh ... ternyata Abiseka juga sama kea Ariani? Terjerat genangan 🤭🤭

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top