🦋 8. Sensitif 🦋

Malam temans, yang sudah menunggu aku datang langsung mojok hyukk🤩🤩

Ariani menatap selembar kertas hasil USG yang didapatnya setelah periksa. Dia yang terus tertidur sepanjang siang membuat Bu Yati memanggil bidan desa. Saat bidan mengatakan Ariani memang hamil, Giandra langsung mengajaknya periksa ke dokter spesialis. Katanya supaya bisa dapat foto buat koleksi.

Benar saja, begitu hasil USG sudah didapatkan, Giandra tidak berhenti tersenyum dimulai saat keluar dari tempat praktik dokter, antre vitamin Ariani di apotek, sampai dengan masuk rumah. Ariani menurut saja saat Giandra mengambil air mineral dan memintanya untuk minum vitamin. Selang satu jam, Giandra mengambilkan makan untuk Ariani. Sebenarnya Ariani merasa tidak selera makan, tetapi melihat Giandra yang sudah mau repot maka Ariani menghargainya.

"Nduk, boleh Ibu masuk?"

Ariani agak terkejut mendengar pertanyaan dari balik pintu. Biasanya Bu Yati langsung masuk setelah mengetuk pintu, bukannya bertanya terlebih dulu. Ariani bangun dan bersandar di tempat tidurnya.

"Iya, Bu. Masuk saja."

Pintu terbuka dan Bu Yati muncul diikuti oleh Mbok Parti yang membawa nampan berisi makanan yang entah apa. Ariani mengerang hanya karena aroma masakan yang baru saja dibawa masuk itu. Bergegas dia ke kamar mandi dan membuang isi perutnya.

"Loh, kenapa to, Nduk? Belum apa-apa kok sudah muntah itu lo?" Bu Yati menyusul lalu memijat leher Ariani bagian belakang.

"Bu ... tolong bawa keluar makanan itu. Ariani nggak betah sama aromanya," ujar Ariani setelah semuanya mereda.

"Bagaimana ini? Itu bau soto ayam kesukaanmu kok mual. Jangan dituruti, ayo makanlah dulu! Sedikit saja ndak papa." Bu Yati sedikit memaksa.

Mendengar kata makan saja Ariani kembali menguras isi perutnya. Hanya air dan berakhir dengan cairan empedu yang langsung membuat Ariani mengernyit. Air matanya meleleh tanpa terasa. Membawa badannya untuk tegak saja dia merasa kesusahan, ini malah dipaksa melakukan sesuatu yang membuatnya makin mual. Ariani nelangsa dan air matanya berjatuhan kian deras.

"Ar, apa yang ... Ibu? Apa yang Ibu lakukan di sini?" Giandra menghentikan pertanyaan untuk Ariani yang membungkuk lemas.

"Ibu ndak ngelakuin apa-apa. Cuman bangunin Ariani supaya mau makan, eh dia malah muntah terus."

Ariani menegakkan tubuh dan manatap Giandra dengan air mata berlinang. Dia berharap suaminya mengerti keadaan dirinya dan tidak memaksakan apa-apa. Giandra mendekat pada Ariani dan merangkul bahunya.

"Biar Andra yang mengurus mantu Ibu. Mbok Parti, tolong bawa keluar saja makanan itu."

"Tapi, Ndra ...."

"Andra nggak mungkin mencelakakan istri dan calon anak sendiri, kan, Bu?

Ariani lega begitu mertua dan asisten rumah tangganya keluar. Giandra membawa Ariani keluar dan membuka jendela. Ariani merasa sangat berterima kasih. Aroma masakan perlahan menghilang dari kamar dan seketika kondisi Ariani pun membaik.

"Kembalilah berbaring. Istirahat. Kamu mau aku buatin apa supaya bisa makan?"

Ariani menurut. Dia berjalan kembali ke tempat tidur dan segera menyandarkan tubuhnya di tumpukan bantal yang sudah ditata oleh Giandra. "Bolehkah aku makan melon?"

"Boleh," jawab Giandra cepat, "sebentar, ya, biar kuambilkan. Ada lagi yang kamu pengen?"

"Anggur ijo kalau di kulkas masih ada."

"Oke."

Setelah Giandra menutup pintu, Ariani kembali membaringkan dirinya. Hamil ... bagaimana kehamilan bisa terjadi secepat itu padahal Ariani merasa belum siap? Bagaimana semua akan dijalani sementara hatinya masih menjadi milik Abiseka?

Ariani mengeluh ketika pintu terbuka padahal dia baru saja terlelap. Melemparkan bantal yang tadi dipeluknya, dia bangkit dan menatap marah pada Giandra. Semua orang seolah-olah senang sekali mengganggu tidurnya. Ariani berpikir tidak bisakah penghuni rumah itu membiarkannya tidur sebentar saja?

"Bisa, nggak, sih aku tidur sebentar saja, Mas? Tadi Mbok Parti, lalu Ibu, sekarang Mas Andra. Aku lelah!" Ariani berbicara begitu cepat dan tanpa jeda.

"Maaf," kata Giandra sabar, "tapi kamu harus makan dulu."

Bukannya senang dengan perkataan Giandra, Ariani justru semakin mengamuk. "Makan, makan, makan. Semua orang mikirnya makan mulu. Aku itu capek dan ngantuk!"

Giandra tersenyum lembut. "Makanlah sedikit. Aku janji nggak akan ada yang ganggu lagi habis ini. Beneran," bujuk Giandra.

"Malas." Ariani bersikeras menolak.

"Ayolah, Ar. Kasih makan anak kita. Ini melon dan anggur seperti permintaanmu."

Mendengar kata anak dalam kalimat Giandra, Ariani melunak. Dia mengambil piring berisi buah yang dibawa Giandra dan memakannya. Segar. Setidaknya dia merasa perutnya mau menerima buah yang dibawa suaminya.

Selesai dengan buahnya, Ariani meletakkan piring di nakas dan kembali berbaring. Berharap bisa tidur dan merasa lebih baik setelah bangun.

***

Keadaan tidak menjadi lebih baik untuk Ariani. Dia mengalami kehamilan yang tak mudah. Segala sesuatu berjalan sangat sulit untuknya. Mual terus menerus dan tidak bisa makan. Apa pun yang masuk ke perutnya pasti dimuntahkannya lagi setelah beberapa saat. Ariani sampai lelah harus makan dan membuangnya lagi. Tubuhnya terasa tidak bertenaga.

Hari Minggu semua orang sedang ada di rumah. Ariani duduk di teras dan menikmati udara segar. Sebenarnya dia lapar, tetapi perut yang tidak menerima makanan membuatnya merasa lemas. Ariani nelangsa tidak bisa melakukan apa-apa. Dia memperhatikan kandungannya, sementara kondisi yang dialaminya membuat semua sia-sia. Pekerjaannya hanya terus makan dan membuangnya sampai lelah.

Ketika hampir saja tertidur, suara motor membangunkan Ariani. Rasanya ingin sekali marah, orang-orang selalu datang tepat waktu saat dia mulai beristirahat dengan nyaman. Namun, senyum Ariani langsung mengembang melihat siapa yang sudah memarkir motor.

"Ibu!" serunya langsung bangkit dan menyambut wanita yang telah melahirkannya.

Bu Sumi membalas senyum Ariani. "Keadaanmu baik-baik saja, Nduk?"

Ariani menggandeng tangan ibunya dan mengajaknya masuk. Setelah wanita yang melahirkannya itu duduk di sofa, dia pergi ke dapur dan meminta Mbok Parti untuk membuatkan teh hangat. Ariani membawa piring berisi roti panggang yang dibuatnya, tetapi gagal masuk perut seluruhnya.

"Icip, nih, Bu! Aku membuatnya tadi pagi." Ariani meletakkan piring lalu duduk di sisi ibunya. Tangannya terulur melingkari bahu sang ibu sementara kepalanya bersandar manja di bahu Bu Sumi.

"Gayamu, Ar. Biasanya juga makan nasi. Ini kenapa bisa berubah jadi makan roti?"

Mata Ariani berkaca-kaca mendengar ucapan ibunya. "Bu ...." Tangisnya tumpah begitu saja sambil mengeratkan pelukannya di tubuh Bu Sumi.

"Loh, kamu kenapa, Nduk? Masa Ibu bilang begitu saja kamu sudah nangis. Bocah ini kenapa loh?"

"Ariani nggak bisa makan apa-apa, Bu. Semua makanan yang masuk langsung keluar lagi."

"Yo wes, ndak usah nangis. Kamu mau makan apa? Biar Ibu buatkan."

Ariani menggeleng. Tidak mungkin dia mengatakan keinginannya pada Bu Sumi atau nasehat panjang lebar akan menjadi santapannya. Ibunya pasti akan menganggap permintaannya sebagai kesalahan besar.

"Nggak mau apa-apa, Bu."

"Kamu itu kalau mau apa-apa mbok ya ngomong. Biar orang ndak repot ngurusi kamu."

Mata Ariani kembali basah. Ibunya bukannya prihatin dengan kondisi yang sedang dia alami malah berbicara hal yang tidak mengenakkan. Mungkin terdengar biasa saja untuk orang lain, tetapi tidak bagi Ariani.

"Tidak repot, Bu. Apa pun untuk Ariani pasti akan saya lakukan." Giandra tiba-tiba masuk dan menjawab ucapan mertuanya.

"Jangan terlalu dimanjakan, Nak Gian. Ariani itu biasa mandiri."

Ibu yang kali ini terkesan menjatuhkannya membuat mata Ariani kembali basah. Menegakkan duduknya, Ariani melepas pelukannya dari tubuh Bu Sumi dan pindah ke samping Giandra.

"Ya wajar kalau saja kalau saya manjakan. Kan istri saya, Bu." Giandra merengkuh bahu Ariani.

"Asal ndak merepotkan Nak Gian."

"Repot apa? Nggak ada yang namanya istri merepotkan suami," sahut Giandra. "Sawah lagi panen. Mau ke sana biar nggak bosan? Ibu juga pasti ada di sana."

Mendengar kata sawah saja sudah seperti tiupan angin segar untuk Ariani. Tiba-tiba dia merasa bersemangat. Rasanya sudah begitu lama dia tidak pergi ke mana pun mengingat kondisi kehamilan yang tidak bersahabat dengan dirinya.

"Mau," sahut Ariani.

"Ya sudah. Kalau kalian mau keluar Ibu juga mau pulang. Ndak usah merasa sungkan, Nak Gian. Bapak ndak bisa ditinggal lama-lama, kamu pasti ingat itu."

Setelah Bu Sumi pulang, Giandra masuk dan keluar lagi dengan membawa jaket Ariani. Kadang-kadang Ariani berpikir, untuk ukuran menikah karena dijodohkan, Giandra sangatlah baik. Tidak pernah sekali pun pria itu berbicara tentang hal-hal yang tidak mengenakkan.

"Pakai jaketnya dulu. Aku nggak mau kamu masuk angin." Giandra membantu Ariani memakai jaket.

Selesai dengan urusan jaket, Ariani mengikuti Giandra keluar. Dia pikir suaminya itu akan mengajaknya naik motor, tetapi perkiraannya salah. Giandra mengajaknya naik mobil saja. Katanya supaya Ariani tidak terlalu lama kena angin. Sedikit jengkel, Ariani memutar matanya dan duduk tenang di samping Giandra.

Saat mobil sudah melewati area persawahan, matanya memindai semuanya dengan teliti. Dia melihat para pekerja sedang makan siang dan sebagian lagi masih sibuk memotong padi dan menumpuknya di bawah naungan terpal yang dibentuk seperti tenda. Hari Minggu begitu, Abiseka tidak pergi ke sawah. Pria itu ke ladang dan membantu bapaknya. Ariani sudah tahu kebiasaan keluarga mantan kekasihnya.

"Ayo kita mencari Ibu!" ajak Giandra setelah mereka turun dari mobil.

Angin yang berembus membuat siang itu terasa sejuk. Ariani merasa sangat segar dan tiba-tiba ingin makan. Dia menahannya hingga sampai di dekat mertuanya yang sibuk berbicara pada beberapa orang.

"Bu," panggil Giandra. "Apa yang bisa kubantu?"

Bu Yati menoleh. "Ndra, tumben mau ke sawah," katanya lalu menoleh pada Ariani. "Nduk, kamu sudah baikan?"

"Hah ... Ibuuu." Giandra duduk begitu saja di bawah tenda, bersandar pada tumpukan padi yang siap dipisahkan bulir-bulirnya. "Mantu kesayangan Ibu itu yang bersemangat. Lihatlah ... sudah terlihat lebih segar."

Bu Yati menoleh pada Ariani. "Benar juga. Sini Nduk!" Bu Yati menggandeng tangan Ariani dan membawanya ke gubuk. "Kamu berteduh di sini saja. Jangan berpanas-panas."

Ariani hanya diam saja dengan anjuran Bu Yati. Baginya yang penting tidak disuruh pulang. Dia mengangguk dan beberapa pekerja di gubuk langsung menyisihkan beberapa wadah berisi makanan supaya Ariani bisa duduk. Ada Ibu Abiseka juga di sana sedang meladeni makan. Tangannya sibuk mengaduk sayuran rebus dan bumbu kelapa.

Fokus Ariani adalah melihat makanan yang ada di sana. Dia menelan liurnya melihat urap-urap di tangan Bu Lika. Ada nasi jagung, lodeh yang menggugah selera, ikan asin, dan sambal.

"Bu ...."

"Sini, Nduk!" panggil Bu Lika setelah Bu Yati kembali bekerja. "Duduk sebelah Ibuk. Biarkan saja mertuamu melanjutkan pekerjaannya."

Ariani menurut. Dia duduk di samping Bu Lika. Dia mengamati satu per satu pekerja mengambil nasi jagung sebagai jatah makan siang yang diracik oleh Bu Lika. Ariani ingin minta, tetapi malu. Tidak minta, tetapi perutnya lapar.

"Sekarang kalau Minggu Ibukmu libur. Mertuamu memintaku untuk membuatkan makan siang ini.

Tanpa dikatakan pun Ariani tahu kalau itu adalah masakan Bu Lika. Dari aromanya saja sudah begitu menggugah selera. Ariani sering sekali makan masakan buatan Bu Lika, sudah pasti dia tahu dengan baik hanya dari aromanya saja.

"Ini, Nduk." Bu Lika meletakkan piring di pangkuan Ariani. "Makanlah dulu. Kamu pasti belum makan, kan? Kalau mau menambahkan sesuatu, kamu ambil sendiri," ujar Bu Lika kembali meracik makanan untuk pekerja.

Ariani makan dengan lahap. Tidak ada rasa mual dan pusing yang semula dia rasakan. Makanan itu terasa begitu enak di lidahnya. Bahkan urap daun pepaya yang rasanya pahit pun dia makan tanpa protes. Lodeh pedas ... pokoknya semua adalah paduan yang pas untuk selera makan Ariani siang itu.

"Buk, aku mau lagi boleh?" Ariani menutup mulutnya setelah kalimat itu terlontar. Ada rasa malu karena mengucapkannya.

Bu Lika menoleh dan tersenyum. "Tentu saja boleh, Nduk." Bu Lika mengambil piring Ariani dan kembali mengisinya.

"Ar, sudah cukup lama kita ...."

"Sebentar Mas Gian. Istrimu masih makan. Nanti dulu kalau mengajak pulang," tukas Bu Lika memotong ucapan Giandra seraya memberikan porsi kedua untuk Ariani.

"Dia mau?"

"Mau dong. Ini sudah piring kedua. Ini buatmu, Mas. Makanlah sekalian." Bu Lika menarik tangan Giandra dan memberikan sepiring nasi jagung lengkap.

Ariani tidak peduli Giandra mau makan atau tidak. Dia hanya fokus pada makan siangnya sendiri. Dia seperti ingin makan masakan seperti itu terus menerus.

"Buk, ini tambahan es tehnya."

Ariani langsung mendongak demi mendengar suara yang begitu dia rindukan itu. Seperti musik yang indah menyapa rungunya, seperti itu pula suara itu membelai pendengarannya. Dengan kaos longgar dan caping yang melindunginya dari udara panas, pria itu meletakkan termos di samping Bu Lika. Masih menawan di mata Ariani meski keringat meleleh di sisi wajahnya.

"Seka ...."

Eaa emang sih cinta pertama itu nggak pernah mati. Rasanya ada terus kan yaa😁😁

Dah ah, vote in yang banyak yakk, biar update-nya cepet💃💃

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top