🦋 6. Gamov 🦋
Malem temans. Hayuk yuuukkk ngintip Mas Seka🤭🤭
Hari-hari Ariani setelah menikah bisa dikatakan baik, bahkan sangat baik. Meskipun tinggal di rumah mertua, dia sama sekali tidak terlihat seperti menantu. Kedekatan Ariani dengan Bu Yati justru seperti Ibu dan anak yang kompak. Ke mana pun Bu Yati pergi biasanya selalu diikuti oleh Ariani. Begitu pun dengan urusan rumah. Bu Yati memasrahkan segala sesuatunya pada Ariani supaya mengatur segalanya. Hanya mengatur, tetapi tidak mengerjakan karena untuk hal itu sudah diurus Mbok Parti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan Bu Yati sejak masih muda.
Mengingat hal itu saja Ariani mengingat saat dia datang ke rumah Abiseka. Ibu pria itu juga menyayanginya. Mereka selalu memasak bersama dan membawanya hasil masakan ke ladang saat sudah selesai. Bukan ladang yang luas, hanya saja hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari keluarga Abiseka. Sederhana dan sangat kekeluargaan, begitulah kesan Ariani terhadap keluarga kekasihnya saat itu.
Meskipun Ariani tidak banyak bicara, bukan berarti Bu Yati tidak cocok. Wanita paruh baya itu justru senang dengan pembawaan Ariani yang dianggap begitu sopan. Selalu ada saja yang mereka berdua kerjakan setiap harinya. Mulai dari masak bersama sampai nonton televisi. Ariani selalu terlibat dalam setiap kegiatan Bu Yati, termasuk arisan yang katanya sudah diikuti sejak lama, ketika suami beliau masih ada.
Siang itu, Ariani kembali diajak pergi Arisan oleh Bu Yati. Setidaknya itu adalah arisan kelima yang didatangi Ariani dalam rangka menyertai kegiatan ibu mertua. Dia sempat heran dengan banyaknya aktivitas beliau, tetapi Bu Yati mengatakan kalau Bapak memang aktif semasa hidupnya. Banyak perkumpulan yang diikuti dan semuanya mengadakan kegiatan rutin untuk para istrinya. Jadilah Bu Yati mengikuti kegiatan itu hingga saat ini.
Tidak ada masalah bagi Ariani untuk mengikuti apa saja yang Bu Yati inginkan. Dia paham kalau beliau sangat membanggakan Ariani sebagai menantu yang sudah dipilihnya. Seperti siang itu, untuk kesekian kalinya Bu Yati mengenalkan Ariani pada teman-teman beliau.
"Yang ndak sempat ke acara mantenan Giandra pasti belum tau mantuku. Ini dia anaknya, namanya Ariani." Ada nada bangga yang terdengar dalam suara Bu Yati.
Ariani hanya tersenyum ramah dan menjawab pertanyaan yang dia tahu hanya basa-basi karena menghormati Bu Yati. Selebihnya dia hanya diam karena tidak mengerti pembicaraan yang sedang terjadi. Yang penting tetap sopan, hanya itu yang ada dalam benak Ariani.
"Bagaimana Jeng Yati ini, semula saya kan pengen menjodohkan Giandra dengan Putri, anakku yang nomer dua. Eh ini ujuk-ujuk malah sudah dinikahkan." Salah satu teman Bu Yati sedikit memprotes.
"Maaf, lo, Jeng Dina. Saya ndak tahu. Dari awal yang dekat aku ya cuman Ariani. Jadi ya sudah, kuambil mantu saja," ucap Bu Yati.
"Ndak mungkin Jeng Yati mau sama si Putri. Wong anaknya borju, terlalu moderen. Bisa-bisa Giandra ndak ada yang merhatikan kalau diambil mantu, la wong Putri belanja terus kerjaannya." Ibu yang lain berkomentar.
Ariani baru tahu kalau ternyata Giandra begitu populer di antara teman-teman Bu Yati. Beberapa bahkan saling berbisik dan mencela nama perempuan yang berniat dijodohkan dengan Giandra. Sebenarnya tidak bisa dikatakan berbisik karena nyatanya Ariani masih bisa mendengarnya dengan baik.
Hubungan Ariani dengan Giandra juga tidak buruk. Malah bisa dikatakan sangatlah baik. Suaminya itu adalah pria yang tidak rewel. Giandra makan apa saja yang disediakan dan semua tampak enak baginya. Jika tidak suka dengan suatu makanan, Giandra tetap memakannya dan meminta hal lain keesokan harinya. Tidak ada kemarahan atau kata-kata yang tidak mengenakkan keluar dari mulutnya. Giandra lebih sering tersenyum dan tertawa walaupun Bu Yati sedang mengomelinya.
Hal yang masih membuat Ariani sedikit nelangsa adalah ketika melayani Giandra makan setiap hari. Bukan dia pria yang pernah dia bayangkan untuk menjadi suaminya. Meskipun Giandra adalah pria yang juga baik, tetapi rasa Ariani masihlah milik Abiseka. Setiap hari bayangan Abiseka masih berputar-putar di benak Ariani, terlebih saat makan. Selalu ada senyum yang menggoda ingatan Ariani untuk terus mengingat kenangannya bersama Abiseka.
"Aku mau nambah sopnya. Apakah masih ada, Ar?" Pertanyaan Giandra bernada pelan saja, tetapi Ariani terkejut mendengarnya.
"Iya," sahut Ariani setelah sadar dari rasa terkejut.
Bangkit dan membawa mangkuk kosong, Ariani melangkah ke dapur. Dipenuhinya mangkuk Giandra. Lagi-lagi kenangannya terseret pada saat dia ada di rumah Abiseka dan memasak makanan yang sama. Ariani masak sop membantu ibunya Abiseka. Beliau mengatakan kalau putranya suka sekali makanan itu. Apalagi dengan sambal terasi, kerupuk, dan tempe goreng. Sederhana, tetapi begitu disukai Abiseka.
"Sambelnya kurang pedes, Ar," komentar Abiseka.
"Jangan pedes-pedes. Nggak bagus buat kesehatan, Mas Abi."
"Nggak tiap hari ini. Jadi nggak masalah. Ini kerupuk apa, sih?"
Ariani tersenyum mendengar setiap pertanyaan Abiseka. Meskipun sudah tahu, Abiseka tetap menanyakan apa yang dilihatnya. Supaya ada komunikasi, katanya. Lagipula tidak enak makan dalam suasana hening tanpa ada pembicaraan sama sekali.
"Ar, nggak usah dipanasin lagi. Biarin gitu aja." Suara Giandra memutus lamunan Ariani.
"Iya, Mas." Ariani membawa sop untuk Giandra dengan langkah lebar.
Giandra mengucapkan terima kasih setelah menerima tambahan sayurnya. Ariani tidak ikut makan karena merasa masih kenyang setelah makan bakso yang dibelikan Giandra setelah pulang kerja.
"Lain kali buatin aku sambel bawang aja, ya, Ar. Aku lebih suka sambel itu soalnya."
"Iya, Mas."
Ariani mencatat dalam hati. Semua menu yang dia buat secara otomatis memang mengikuti selera Abiseka. Sampai pada hal terkecil pun dia tetap melakukannya seperti saat bersama Abiseka. Contohnya membuat camilan, Ariani membuat limpang-limpung sebagai teman nonton televisi di sore hari. Suaminya mengatakan limpang-limpung itu pisangnya tidak terasa karena didominasi oleh tepung. Jadi pisang goreng biasa lebih tepat.
Beberapa hal memang harus dicatat oleh Ariani karena segala sesuatu selalu dia ukur berdasarkan kesukaan Abiseka. Dia meletakkan catatannya di atas kulkas supaya gampang ditemukan ketika butuh. Giandra tidak pernah marah, hanya saja Ariani merasa tidak enak sendiri. Dia pernah membuatkan pukis cokelat sampai dua kali padahal Giandra suka keju. Suaminya hanya bertanya apakah keju di rumah mereka habis atau memang Ariani suka cokelat.
"Ar, besok aku mau ke Surabaya. Kirim barang sekaligus beli sesuatu untuk dijual. Tolong buatkan bekal, ya. Keringan saja sama sambal."
"Iya, Mas."
"Sesuatu apa, Ndra?" Justru Bu Yati yang lebih cerewet daripada Ariani selaku istrinya.
Ariani hanya memandang ibu dan anak yang mendadak diselimuti ketegangan. Bu Yati yang mendesak ingin tahu kegiatan Giandra sementara Giandra tetap pada perkataannya semula. Ariani tidak mengerti apa yang sebenarnya diributkan oleh keduanya. Menurutnya Bu Yati hanya bertanya sementara Giandra hanya tinggal menjawab. Entahlah, Ariani memilih untuk beranjak ke kamar daripada menyaksikan keduanya adu argumen.
Berada dalam kamarnya sejak menikah, Ariani hanya bisa diam. Pernikahannya berjalan lebih baik dari yang dia pikirkan. Giandra baik dan begitu perhatian meskipun sibuk. Pekerjaannya mengurus usaha keluarga benar-benar patut diacungi jempol. Suaminya selalu serius dan dalam salah satu kesempatan Bu Yati pernah mengatakan kalau usaha mereka menjadi sangat maju di tangan Giandra.
Ariani sendiri sibuk dengan selepan yang sudah dipasrahkan padanya. Setiap hari dia datang dan terus mempelajari bagaimana memajukan usaha itu. Tidak ada kesulitan berarti selama dia berada dalam bimbingan mertuanya. Pelan-pelan Ariani mengerti apa yang harus dia lakukan.
Kesibukan Ariani setelah menikah tetap tidak menghapus ingatannya tentang Abiseka. Dia tidak membandingkan Giandra dan Abiseka, tetapi cintanya masihlah milik Abiseka. Raganya memang bersama Giandra dan cintanya tidak. Setiap hari ingatan Ariani masih penuh dengan seluruh kenangan masa lalunya.
Keesokan paginya, Ariani sudah selesai membuatkan bekal yang akan dibawa Giandra. Jam enam tiga puluh tepat Giandra sudah masuk meja makan dan mengatakan pada Ariani supaya berganti pakaian. Dia ingin mengajak Ariani untuk urusan pekerjaan yang dikatakannya semalam. Ariani tidak bisa membantah. Dia berlalu ke kamar dan mengganti pakaiannya serta membawa benda-benda yang mungkin diperlukan di perjalanan.
Duduk di samping Giandra dalam perjalanan adalah saat-saat yang bisa dinikmati Ariani untuk mengamati hamparan sawah yang menghijau. Jendela mobil yang kebetulan dibiarkan terbuka membuat Ariani bisa merasakan dinginnya angin pagi yang menyejukkan kulitnya. Tiba-tiba dia melihat Abiseka di kejauhan. Pria itu sedang berjalan membawa sebuah karung di punggung. Ariani tahu kalau itu adalah pupuk yang akan digunakan hari itu.
"Ar ... apa kamu kenal semua pekerja Ibu di sawah?" tanya Giandra setelah kebisuan panjang perjalanan mereka.
"Iya. Kenal semuanya," jawab Ariani.
"Ada berapa orang kepercayaan Ibu?"
"Uhm ... hanya ibu dan bapakku. Tapi ibunya Mas Andra baik ke semua pekerja, nggak pilih-pilih."
"Kamu bekerja di sawah juga?"
"Tidak. Aku hanya kadang-kadang ke sawah mengantarkan makanan untuk pekerja."
"Kamu mengantar makanan?"
"Iya. Para pekerja itu kan dapat jatah makan siang dari Ibu. Yang masak kadang Ibuku, kadang Mbok Parti. Kalau tidak antar makan siang ya aku nggak ke sawah."
"Kenapa tidak?"
Ariani terdiam memikirkan pertanyaan-pertanyaan Giandra. Dia sempat heran, dari sekian banyak usaha keluarganya, Giandra tidak pernah menyentuh sawah dan selepan. Suaminya itu hanya fokus pada usaha perdagangan saja. Meskipun selepan juga menjual beras, tetapi Giandra tidak pernah mendatanginya. Jadi mendengar pertanyaan suaminya, Ariani berpikir mungkinkah Giandra mulai tertarik dengan persawahan juga?
"Aku tidak tertarik pada sawah Ibu. Hanya pengen tahu saja kegiatan istriku sebelum menikah denganku." Giandra berujar seolah-olah tahu pertanyaan di benak Ariani.
Ariani tidak mengomentari ucapan Giandra. Dia lebih memilih untuk terus mengamati sawah Bu Yati dan melihat Abiseka. Ada senyum tipis terbit di bibir Ariani. Hanya melihat Abiseka saja hatinya menghangat. Seperti ada kepingan-kepingan kenangan yang berebut ingin keluar dari ingatannya. Pagi-pagi begitu biasanya dia membawa seteko kopi panas ke sawah dan sudah pasti dia akan memberikan satu gelas kecil untuk Abiseka.
"Jadi ... kenapa istriku tidak ke sawah?"
"Nggak boleh sama Bu Yati. Katanya nanti kulitku jadi gelap."
Giandra tergelak. Itu adalah pertama kalinya Ariani mendengar tawa keras sang suami, sisi lain Giandra yang baru diketahuinya. Selama ini dia hanya tahu kalau Giandra adalah pria baik dengan pembawaan tenang meskipun bukan pribadi yang pendiam.
"Memang Bu Yati itu siapa? Aku kok baru dengar nama itu."
Ariani melirik suaminya. Rupanya pria itu punya selera humor juga. Meskipun begitu, Ariani sedang tidak ingin bergurau. Itu mengganggu keasyikan matanya yang sepertinya ingin melihat hamparan sawah.
"Ayolah jawab, Ar. Siapa itu Bu Yati?"
"Ibukmu," ujar Ariani jengkel.
Bukannya tersinggung dengan nada bicara Ariani, Giandra malah tertawa lagi. Rupanya sisi Giandra hari itu benar-benar ingin mengajak Ariani terus bercanda. Ariani tidak keberatan meladeni candaan itu begitu jendela tertutup dan mobil mulai melaju di jalan raya.
"Mantan pacarmu ada berapa Ar?"
Nah ... susah move on ya emang. Lagian ada-ada aja pertanyaan Giandra.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top