🦋 22. Emosi 🦋
Selamat siang temans. Semalem aku ketiduran duong🤭. Gantinya sekarang yess. Selamat membaca🤩
Ariani melakukan pekerjaan di rumah orang tuanya dengan pikiran yang terus berputar pada pembicaraan antara Giandra dan Siti. Saat akhirnya memutuskan untuk menemui mereka berdua, Ariani memang merasa cukup dengan kebenaran yang sudah diketahuinya. Wajah terkejut Giandra memperkuat keyakinannya bahwa memang ada sesuatu yang lebih di antara suaminya dan Siti. Giandra terlihat lega saat Ariani mengatakan tidak mendengar apa pun yang sudah Siti katakan. Semuanya tidak luput dari perhatian Ariani.
Sampai di situ Ariani kembali menghubungkan seluruh kejadian yang menimpa Bu Yati lengkap dengan semua kebenciannya pada Siti. Mertuanya benar, Siti adalah wanita tidak baik yang hanya tahu cara memanfaatkan orang lain. Dia melihat dengan jelas saat Giandra menarik satu kartu ajaib dari dompetnya dan menyerahkan benda itu pada Siti.
Rasanya ingin sekali Ariani marah pada Giandra begitu melihat kartunya berpindah ke tangan Siti. Dia begitu ingin menampar suaminya serta wanita tidak tahu malu yang sudah begitu berani mengguncang pernikahannya serta menjadi penyebab seorang anak menipu ibu kandungnya dan berujung pada kemarahan tanpa kata maaf. Ariani berusaha menahan diri dengan menarik napas panjang berkali-kali. Giandra memang bersalah, tetapi ini bukanlah saat yang tepat. Ariani tahu kalau semuanya masih harus menunggu. Giandra memberikan kartu pada Siti dengan tujuan meredam tuntutan Siti yang meminta status sementara keluarga masih berduka.
"Mbak Ariani makanlah dulu!" Mbok Parti yang hari itu ikut ke rumah orang tua Ariani membawa sepiring rawon dan meletakkannya di meja.
Ariani tersenyum. "Terima kasih, Mbok. Sudah mau membantu keluarga Ariani."
"Oalah, Mbak. Simbok ini hanya ingat pesan Ibu untuk terus berada dekat dengan Mbak Ariani."
Diingatkan kembali tentang mertuanya membuat Ariani muram. Dia memang tidak bisa melupakan wanita baik itu begitu saja. Ada banyak perubahan besar dalam hidupnya yang semuanya adalah campur tangan Bu Yati. Seluruh keahlian yang dimilikinya didapat dengan cuma-cuma tanpa harus pergi ke bangku kuliah yang sudah pasti dia tak mampu membayarnya.
"Mbak, kok malah melamun itu loh. Makan dulu ini, mumpung masih panas."
"Riga sudah makan, Mbok?"
Mbok Parti mengangguk. "Sudah, sama papanya," jawabnya.
"Ayo ke meja makan saja!" ajak Ariani. "Sekalian Simbok makan nemani aku."
Ariani berjalan menuju meja makan sambil membawa piring makannya. Mbok Parti mengikuti lalu mengambil makannya dan duduk di samping Ariani. Tidak ada percakapan yang terjadi hingga mereka selesai makan. Mbok Parti mengambil piring Ariani dan langsung mencucinya.
"Ibu sudah makan juga, kok, Mbak. Jangan khawatir," tutur Mbok Parti setelah kembali duduk di samping Ariani. "Tapi ya gitu, masih belum bisa ditanyai."
"Ya maklum aja, Mbok. Biasanya wong apa-apa berdua terus tiba-tiba Bapak nggak ada."
"Sakit apa, to, Mbak?"
"Sakit sudah lama, Mbok. Maag akut. Beberapa hari ini katanya nggak bisa makan, tapi Ibu nggak ngabarin Ariani."
Ariani tidak menyesali kepergian bapaknya karena itu memang sudah jalan terbaik setelah sakit selama bertahun-tahun. Bukannya dia tidak sayang, tetapi bapaknya memang pernah mengatakan kalau sudah lelah menjalani pengobatan dan tak kunjung sembuh. Beliau sudah merasa cukup lega dan bahagia karena Ariani sudah menikah serta memiliki cucu sepintar Prabu.
***
Hari berlalu tanpa terasa. Ariani sudah berhasil mengatasi kesedihan ganda yang terjadi pada keluarganya. Tidak sepenuhnya lupa, tetapi dia sudah bisa menerima kenyataan berat itu dan melanjutkan hidup. Dia sibuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang diamanatkan oleh Bu Yati. Ariani memikirkan semuanya, termasuk kasus Giandra dan Siti yang kini semakin menyita waktu. Bukan waktunya, tetapi waktu Giandra. Ada beberapa hari dalam sebulan yang membuat Giandra pergi dengan alasan pekerjaan di luar kota. Entah benar atau tidak, yang jelas Ariani tahu kalau ada Siti di sisi suaminya.
Ariani tidak bermaksud untuk membiarkan hal itu berlarut-larut. Dia tidak mau menjadi pihak yang dianggap tidak tahu apa-apa sementara suaminya banyak bertingkah di belakangnya. Waktu sudah lewat selama dua bulan dan sudah saatnya dia mengambil tindakan.
"Mbak," panggil Mbok Parti. "Di depan ada tamu mencari jenengan."
"Siapa?" tanya Ariani.
"Simbok ndak kenal, belum pernah ke sini. Ada dua orang."
"Ya sudah, Mbok. Tolong buatkan minum. Ariani temui mereka sebentar lagi."
Ariani mengganti bajunya dengan rok panjang. Setelah menyisir rambutnya, dia keluar dan melihat dua pria duduk di sofa. Dia belum pernah melihat keduanya. Ada perasaan tidak enak karena melihat ekspresi salah satu tamunya. Ariani duduk di sofa tunggal, tak lama kemudian Mbok Parti datang dengan dua cangkir kopi dan segelas teh chamomile untuk Ariani.
"Silakan diminum!" ujar Mbok Parti sebelum kembali ke belakang.
Ariani hanya mengangguk sambil tersenyum begitu tamunya mengangkat cangkir. Dia pun meraih cangkirnya sendiri dan menikmati tehnya. Hanya seteguk karena tamunya sudah meletakkan kembali kopi mereka.
"Jadi, apa yang bisa saya bantu?" tanya Ariani membuka pembicaraan.
"Perkenalkan, Bu. Saya Deni."
"Deni siapa?" selidik Ariani.
"Saya pegawai kepercayaan Pak Giandra."
"Oh." Ariani mengangguk. "Lalu kenapa kemari? Mestinya Pak Deni tahu kalau Pak Giandra tidak di rumah."
"Saya tahu, Bu."
Ariani menaikkan alisnya karena merasa heran. "Kalau tahu, kenapa masih kemari?"
Deni tampak ragu-ragu saat akan mengatakan sesuatu. Meskipun tahu, Ariani membiarkan hal itu tanpa keinginan untuk bertanya. Sejujurnya dia penasaran tujuan pria yang mengaku sebagai orang kepercayaan suaminya itu datang. Lagipula siapa Deni? Selama menangani bisnis perdagangan Giandra, Ariani tidak pernah merasa ada karyawan bernama Deni.
"Begini, Bu ...." Deni kembali diam.
"Biar saya saja, Pak Deni," kata pria yang satu lagi. "Saya debt collector datang untuk menagih tagihan kartu kredit istri Pak Giandra."
Ariani terkejut, tetapi dia tidak bisa menyembunyikannya dengan baik. "Tagihan saya? Belanja saja enggak. Gimana ceritanya saya punya tagihan?" Meskipun menanggapi dengan ketenangan luar biasa, dalam hati meredam emosinya. Ariani sudah bisa menebak ke mana semua masalah itu akan bermuara.
"Bu ...." Deni menyela. "Itu belanjaan ...."
"Begini ya, Pak Deni. Saya tahu seluruh pekerjaan suami saya dan saya nggak pernah tahu Anda sebagai karyawannya. Jadi silakan keluar, kalian bisa jadi adalah penipu."
"Saya benar karyawan Pak Giandra, Bu," sahut Deni lagi. "Jasa pengiriman barang."
"Saya nggak percaya," cetus Ariani. "Saya nggak pernah ...."
"Ibu bisa ikut saya ke kantor kalau tidak percaya. Pak Giandra ...."
Ariani diam mendengarkan cerita bagaimana usaha baru Giandra didirikan. Sangat menarik, dua tahun lebih usaha itu ada dan dirinya tidak tahu apa-apa sama sekali. Bagus sekali kelakuan suaminya. Menyembunyikan usaha itu dan kemungkinan dari mertuanya juga. Mendadak semuanya menjadi terang benderang di matanya. Bisa jadi semuanya memang sengaja disembunyikan oleh Giandra dari ibunya, tetapi apa pentingnya hal itu sekarang? Ariani harus menyelesaikan semuanya sesegera mungkin.
"Baik," kata Ariani. "Kalian duluan biar saya nyusul."
"Ibu bisa pergi bersama kami."
"Tidak, terima kasih. Saya punya supir sendiri."
Ariani diantar oleh Pak Darno mengikuti mobil kedua tamunya. Benar-benar sulit dipercaya bahwa dia sudah ditipu mentah-mentah oleh suaminya sendiri. Sepanjang pernikahan mereka, Ariani mengingat bahwa Giandra adalah suami yang perhatian. Dari awal sampai saat ini, belum pernah pria itu menolak keinginannya. Giandra justru menginginkan dia meminta apa saja.
Memasuki sebuah bangunan yang katanya adalah kantor Giandra, Ariani turun dari mobil setelah pintu dibuka oleh Pak Darno. Dia melangkah masuk mengikuti Deni sampai tiba di ruangan besar dan nyaman. Kalau semula Ariani tidak percaya maka begitu melihat ruangan itu dia langsung mengubah pikirannya. Itu adalah ruangan yang benar-benar khas Giandra dengan nuansa hitam putih dan foto Prabu di mejanya.
Ariani duduk di kursi Giandra. Rasanya enak sekali bisa bekerja di ruangan senyaman itu. Kembali menatap Deni dan pria yang mengaku sebagai debt collector, Ariani siap mendengarkan kembali percakapan yang terjeda.
"Jadi saya mohon kerja samanya, Bu!"
"Saya nggak ngerti apa yang dimaksud dengan kerja sama. Dari tadi meminta saya untuk membayar."
"Bu Siti ... kalau Anda sudah berbelanja sebaiknya ...."
"Tunggu!" Ariani memotong ucapan si penagih hutang. "Anda panggil apa?"
"Bu Siti."
Jadi wanita itu lagi yang sudah membuat ulah, batin Ariani. Dia akan melihat sampai sejauh mana kebodohan yang sudah dilakukan Giandra.
"Sayangnya namaku bukan Siti. Aku Ariani."
"Pak Deni apa maksud ini semua?"
"Anda menanyakan istri Pak Giandra maka saya membawanya ke beliau. Bu Arianilah istri dari Pak Giandra."
Pria penagih hutang itu keluar dari ruangan. Ariani diam dan menyalakan komputer Giandra. Dia memeriksa apa yang bisa dia ketahui dan matanya melebar seketika. Sekilas baca saja Ariani sudah tahu bagaimana harus menangani pekerjaan Giandra.
"Saya diperintahkan untuk mengirimkan setengah penghasilan kantor ke rekening Bu Ariani. Sudah berlangsung seperti itu sejak enam bulan yang lalu atas keinginan dari Bu Yati."
"Ibu?"
"Iya, Bu. Ibu Pak Giandra pernah kemari dan meminta saya untuk mengurus pekerjaan dengan benar. Termasuk membagi penghasilan."
"Pak Giandra nggak tahu kalau ibunya kemari? Gimana laporannya?"
"Pak Giandra percaya seperti biasanya. Ibu beliau yang mengecek keuangan setelah saya transferkan."
Otomatis Ariani memeriksa keuangannya melalui ponsel. Memang benar ada penambahan penambahan dalam jumlah yang tidak sedikit di rekening yang dikhususkan untuk Prabu. Jumlah yang bagi Ariani tidak main-main. Lagi-lagi Ariani memahami pesan Bu Yati.
"Kau pikir siapa dirimu berani-beraninya tidak membayar tagihan kartu kredit Giandra?"
Ariani berpaling ke pintu masuk. Siti baru saja melalui pintu itu disusul si penagih hutang di belakangnya dan kini keduanya berdiri tepat di hadapan Ariani. Selalu terlihat cantik seperti biasanya, tetapi kali ini wajah itu terlihat garang, sarat akan kemarahan.
"Tidak ada barang baru di rumahku. Jadi jelas suamiku tidak belanja apa-apa," tukas Ariani santai.
"Kau ...."
"Jadi bagaimana, Bu Siti?" potong si penagih. "Tolong segera bayar tagihannya!"
"Minta bayar istri Giandra!"
"Begini saja, Pak. Atas nama siapa tanggungan kartu kredit itu?" Santai saja Ariani mengucapkan kata-katanya.
"Atas nama Bu Siti."
"Dia orangnya." Ariani menunjuk Siti. "Jadi selesaikan urusan kalian dan keluar dari kantor suamiku!"
"Giandra harus membayar tagihanku!" seru Siti.
"Kalau kau tak punya uang, jangan sok-sok belanja seperti orang kaya. Kalau mau punya uang, bekerjalah dan jangan merampok uangku!"
Siti maju dan meletakkan kedua telapak tangannya di meja. Badannya membungkuk sementara matanya menatap tajam pada Ariani. Ariani mengangkat sebelah alis melihat muka Siti yang penuh kemarahan.
"Giandra yang harus membayar tagihanku!" seru Siti.
Kalau selama ini Ariani bisa menahan kemarahan menghadapi ulah Siti karena kondisinya yang sedang berduka maka tidak kali ini. Emosi Ariani naik hingga kepala dan rasa untuk memberikan pelajaran pada Siti sudah tidak bisa ditahannya lagi. Dialah penyebab kepergian mertuanya dan seluruh akhir tragis berpulangnya beliau kembali terbayang dalam ingatan Ariani. Wanita yang menyebabkan Giandra melupakan rasa baktinya kepada orang tua.
"Mintalah padanya kalau begitu!" sahut Ariani.
"Dia tidak bisa kutemui. Jadi kau sebagai istrinya harus membayarkannya!"
Ariani tertawa. "Siapa yang mengharuskan? Sampai rambutmu ubanan sekalipun, tak akan kukeluarkan uang untuk membayar tagihan yang tidak ada gunanya buatku," tandas Ariani. "Lagipula kau siapaku sampai aku harus mengeluarkan uang untukmu?"
"Kau!"
"Sstt." Ariani meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Nggak usah jadi pengemis intelek di depanku!"
"Aku bisa dipenjara kalau nggak bisa membayar tagihan itu, Ar!"
"Jual saja apa yang kau punya," kata Ariani.
"Aku tak punya apa-apa."
"Kalau begitu jual saja dirimu. Penampilanmu sangat cocok untuk itu. Kau pasti laku mahal."
"Suamimu yang akan membeliku," ujar Siti percaya diri.
"Tidak saat seluruh kartu ajaibnya sudah berada dalam dompetku. Masih mau sama Giandra?"
Ariani bangkit dan keluar dari ruang kerja Giandra. Puas melihat wajah Siti yang mendadak pucat pasi dan berteriak memanggilnya begitu langkahnya sudah melewati pintu. Dia tidak memedulikan umpatan dan banyak kata-kata kotor yang masih terus terdengar hingga luar ruangan. Sebelum masuk ke mobil, Ariani berbalik dan menatap tajam pada Deni.
"Di mana Pak Giandra? Aku tahu dia tidak bekerja ke luar kota seperti yang dikatakannya."
"Itu, Bu ... Pak Giandra ...."
"Di mana?" paksa Ariani.
"Pak Giandra tidak pernah ke kantor sejak ibundanya berpulang. Sekarang beliau ada di Batu ... itu ...." Deni tak mampu mengatakan keberadaan Giandra.
"Beritahu aku atau kupecat kau!" Ariani kehilangan kesabarannya.
"Vila beliau di daerah Batu."
"Kalau kau tahu di mana keberadaan suamiku, kenapa masih kau bawa masalah tidak penting itu padaku?"
"Maaf, Bu. Saya benar-benar berpikir Ibu yang belanja. Saya tidak berani menggunakan uang kantor untuk keperluan di luar operasional."
Ariani berbalik dan langsung masuk mobil. Dia meminta pada Pak Darno untuk segera menyusul Giandra. Dia tahu suaminya tidak pernah terima dengan kepergian ibunya, tetapi tak seharusnya dia menghindar dari tanggung jawab. Beruntung Giandra meninggalkan kartu-kartunya di rumah sehingga Ariani bisa menyelamatkan harta mertuanya untuk kepentingan yang tidak berguna.
Runyam weess. Gimana terus?
Siapa yang dimaki duluan? Dipersilakan.😁😁😁
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top