💜 2. Perih 💜
Malem temans. Aku update in sesuai jadwal ney. Kuyy membaca🥰🥰
Ariani merasa badannya tidak sehat. Setelah meninggalkan Abiseka kemarin, dia pulang dan langsung masuk ke kamarnya. Tangis yang sudah mati-matian dia tahan tumpah sejadi-jadinya. Ariani tidak bermaksud berlebihan seperti itu, tetapi tangisnya memang tidak bisa dia hentikan. Dia kehilangan kontrol atas diri dan perasaannya.
Mungkin orang berpikir Ariani berlebihan seperti yang sudah Ariani pikirkan, tetapi untuk seorang gadis yang selalu menjadikan Abiseka sebagai harapan masa depannya tentu bisa memaklumi. Belum pernah Ariani memikirkan kehidupan bersama orang lain. Dia hanya ingin menikah dengan Abiseka saat sudah cukup umur. Entah apa yang ditunggu Abiseka hingga menunda lamarannya saat Ariani lulus sekolah menengah. Satu tahun berlalu dan sekarang ... mereka kehilangan segalanya.
Ariani tertidur dalam lelah setelah tangisnya mereda. Ibu membangunkannya di sore hari dan Ariani mulai demam. Ada dokter sebelah rumah yang datang dan memeriksanya. Tidak ada hal serius yang terjadi pada Ariani selain lelah dan banyak pikiran.
Meskipun merasa tidak sehat, Ariani harus bangun. Dia ada janji dengan Bu Yati, ibu Giandra, untuk menemui beliau di rumahnya. Ariani segera membersihkan diri dan menemui ibunya di dapur.
Seperti biasanya, masakan selalu sudah matang meski hari masih sangat pagi. Ibu Ariani juga sudah duduk menikmati secangkir kopi dan singkong goreng sebagai sarapannya. Bapaknya sudah pasti masih tidur. Ibunya mengatakan kalau semalam beliau mengeluh perutnya perih dan badannya lemas.
"Kamu sarapan dulu, Ar. Bu Yati ndak pernah sebentar kalau nyuruh kamu menemuinya."
Tidak pernah ingin membantah ucapan ibunya, Ariani duduk tenang di meja makan dan menikmati sarapan dengan hati enggan. Tidak ada lagi rasa nikmat seperti yang sudah-sudah. Apa yang masuk ke mulutnya terasa begitu kasar seperti serbuk gergaji dan berhenti di tenggorokan saat Ariani menelannya.
"Makan itu mbok ya pelan-pelan." Bu Sami, ibu Ariani, meletakkan segelas air putih di depan putrinya.
Lega, begitulah yang terasa setelah air yang dia teguk mampu mendorong makanan masuk ke perutnya. Ariani menarik napas panjang. Bahkan hal yang biasanya terjadi otomatis itu kini terasa berat di hidung. Seperti ada isak tertahan menyertai udara yang masuk melewati saluran napasnya. Embusan napasnya pun terasa panas, seolah ada bubuk cabe yang sempat terhirup Ariani.
"Ibu minta maaf, Nduk. Karena ndak bisa menjadi orangtua yang mampu untuk mencukupimu."
"Bu," potong Ariani. "Ariani bahagia menjadi anak Ibu."
"Tapi bahagiamu tergadai."
Ariani menggeleng, menjauhkan piringnya yang masih terisi separuh. "Tidak Bu. Mana ada bahagia tergadai? Ariani bersedia dan menyetujui dan dengan sadar menerima lamaran Bu Yati untuk Mas Giandra."
"Ibu berterima kasih padamu, Nduk. Seandainya Ibu punya anak perempuan yang lain, tentu Ibu ndak akan merenggut kebahagiaanmu."
"Bu, sudahlah. Lebih baik Ibu mengambil makanan untuk Bapak. Ini waktunya beliau sarapan sebelum minum obat."
Sebenarnya itu hanyalah cara halus Ariani untuk mengusir ibunya. Bapaknya memang sakit-sakitan dan harus terus beristirahat. Namun, Ariani bisa bernapas lega setelahnya. Setidaknya dia bisa membiarkan air matanya bergulir seandainya masih bisa keluar lagi.
Tidak dipungkiri, lamaran yang disampaikan oleh Bu Yati kepada ibunya benar-benar mengejutkan Ariani. Wanita terkaya di kampungnya itu adalah seorang janda dengan satu putra dan Ariani ingat kalau anaknya sedang kuliah di Surabaya. Sudah lama anak Bu Yati tidak pulang dan Ariani tidak tahu kuliahnya selesai atau belum. Ibunya tidak memaksa Ariani untuk menerimanya, tetapi mengingat hutang budi mereka pada Bu Yati, sudah pasti hal itu tidak mungkin untuk ditolak.
Bapak dan Ibu Ariani hanyalah buruh tani di sawah Bu Yati. Kebetulan bapaknya adalah orang kepercayaan Bu Yati sehingga keluarga mereka menjadi dekat. Tak jarang Ariani diajak ke Surabaya hanya untuk mengunjungi Giandra, anak beliau yang sedang dulunya kuliah di sana dan sekarang bekerja sebagai salah satu staf di pabrik sepatu.
Saat bapaknya mulai sakit-sakitan karena maag akut yang sudah lama beliau derita, Bu Yati tetap baik dengan keluarga Ariani meski hanya Ibu yang ke sawah dan memantau para pekerjanya. Biasanya ibu Ariani memasak dan mengantarkan makanan ke sawah di tengah hari sebagai jatah makan siang para pekerja. Ariani lulus sekolah menengah tahun lalu dan tidak bisa melanjutkan kuliah. Dia ikut mengawasi pegawai Bu Yati dan seringnya, Ariani akan pergi bersama Bu Yati dan berakhir menjadi orang kepercayaan beliau juga.
"Mau ngelamun sampai kapan, Ar? Bukannya kamu harus menemui Bu Yati jam tujuh?"
"Iya, Bu."
***
Ariani masuk ke rumah besar berhalaman luas. Belum sampai tangangannya terangkat dan mengetuk, pintu sudah terbuka dan muncullah Bu Yati dengan senyum lebar. Pakaiannya sudah rapi, siap untuk pergi bersama Ariani.
"Nduk, kamu sampai tepat waktu. Ibu sudah bawa bekal, nanti makan di mobil saja. Ayo berangkat!"
Selalu seperti itulah Bu Yati pada Ariani. Langsung berbicara pada tujuannya tanpa perlu berbasa-basi. Begitu mobil sudah melaju, Bu Yati langsung membuka bekal yang sudah beliau katakan sebelumnya. Ariani melihat nasi goreng komplit saat salah satu bekal sudah berada di tangannya. Sayur, telur, ayam suwir, dan bakso. Melihat itu mestinya bisa menggugah selera makan, tetapi Ariani sama sekali tidak tertarik.
"Makan nanti saja kalau belum lapar, Nduk," ujar Bu Yati pengertian.
Ariani bersyukur calon mertuanya tidak pernah memaksakan sesuatu padanya. Perempuan baik itu justru cenderung memikirkan keinginan Ariani. Hal yang selalu mengundang kekaguman Ariani adalah jika dia menginginkan sesuatu dan melihatnya maka Bu Yati akan membelikan barang tersebut untuk Ariani. Ariani kadang-kadang merasa tidak enak sendiri karena kepekaan Bu Yati terhadapnya.
Tempat yang didatangi Ariani dan Bu Yati adalah sebuah butik kecil yang bisa dikatakan sepi meskipun karyawannya tidak diam. Calon mertua Ariani menyapa si pemilik yang ternyata sudah menunggunya. Sedikit obrolan di antara mereka memberitahukan bahwa karyawannya sedang menyiapkan banyak pesanan dan siap mengirimnya. Bu Yati memilih beberapa kebaya dan menganjurkan pada Ariani untuk melakukan hal yang sama
"Nduk, pilih saja kebaya yang kamu sukai untuk pernikahanmu. Ibu ndak tahu seleramu," saran Bu Yati sementara tangannya tetap memilih baju-baju di gantungan
Memilih kebaya, kegiatan seperti itu saja sudah membuat pikiran Ariani terseret ke belakang. Dia pernah mengangankan memilih kebaya pernikahannya. Tentu saja yang berwarna putih dan berkesan sederhana lengkap dengan kerudung berenda untuk mempercantik penampilannya. Namun, itu bukan untuk pernikahannya dengan Giandra. Sedikit pun Ariani tidak pernah memikirkan pria lain selain Abiseka
"Ibu suka yang mana?" Ariani terus mengikuti Bu Yati. Memilah-milah seolah melihat dan mencari apa yang diinginkannya.
"Ibu suka yang ini." Bu Yati menunjuk sebuah kebaya cantik yang jika dipakai Ariani pasti akan menyentuh lantai.
"Kalau begitu Ariani pilih itu saja, Bu," putus Ariani.
"Ini pernikahanmu, Nduk. Pilihlah sesuatu yang kamu suka, jangan sungkan dengan Ibu." Bu Yati kembali menyarankan, ada nada tegas dalam suaranya.
Kebaya mana pun sudah pasti sama untuk Ariani. Dia tidak menikah dengan Abiseka dan baginya tidak ada gunanya dia memilih sesuatu yang akan dikenakannya. Ariani tidak mau menambah luka dengan membayangkan apa yang dia pilih sebenarnya adalah untuk pria lain. Meskipun dia sendiri yang memutuskan hubungan cintanya dengan Abiseka, tetapi jauh dalam hatinya Ariani tidak pernah ingin semuanya berlalu.
"Ariani suka apa pun yang Ibu suka."
Kemudian tidak ada argumen lagi. Bu Yati menunjuk beberapa pakaian lain dan meminta dikirim ke rumahnya hari itu juga. Selanjutnya wanita yang menurut Ariani penyayang itu mengajaknya mengunjungi beberapa tempat usaha beliau. Ada dua toko kain dan satu toko sepatu. Ketiga toko itu sangat ramai menurut Ariani dan dia baru mengetahui kalau Bu Yati memiliki usaha tersebut.
Hampir jam dua siang saat mobil diparkir di depan sebuah bangunan besar. Halamannya pun cukup luas dan penuh dengan gabah yang dijemur. Bu Yati mengajak Ariani masuk dan baru tahu kalau itu adalah selepan yang ternyata juga milik calon mertuanya. Ada banyak beras yang siap didistribusikan, ditumpuk begitu tinggi di bagian depan. Masuk ke dalam, empat orang sedang bekerja dan langsung berhenti untuk menyambut kedatangan Bu Yati.
"Sini, Nduk!" Bu Yati menarik tangan Ariani dan mengajaknya duduk di kursi plastik.
Ariani hanya menuruti perkataan Bu Yati. Dia biarkan Bu Yati meraih satu tangannya dan meremas jarinya lembut. Wanita yang baik meski kekayaannya sangat banyak dan tidak bisa Ariani bayangkan. Dia baru saja mengetahui ada begitu banyak usaha yang sudah beliau jalankan.
"Selepan ini menjadi milikmu mulai sekarang. Setiap hari datanglah ke sini dan pelajari bagaimana menjalankan usaha ini lalu majukanlah. Saat kamu menikah dengan Giandra nanti, jangan mengandalkannya meski kamu adalah istrinya. Kamu juga harus berpenghasilan, ya, Nduk?"
"Tapi, Bu ...."
"Sudah, ndak usah omong apa-apa kalau kamu hanya menolak. Giandra ndak tahu usaha apa yang ibu punya. Ibu hanya mau kamu diam dan patuh demi kebaikanmu sendiri."
"Iya, Bu."
"Pokoknya kamu harus belajar dan menjadikan usaha ini sukses. Ndak masalah meski kamu hanya lulus sekolah menengah. Kalau pinter ya pinter saja."
Ariani tidak berniat lagi untuk membantah titah Bu Yati. Dia tahu kalau hasilnya tidak akan baik. Diam adalah keputusan yang tepat mengingat kadang-kadang Bu Yati bisa sangat keras kepala jika memiliki kemauan. Selalu ada kelebihan dan kekurangan dari seseorang, tetapi sejauh ini Bu Yati sangatlah baik dan tidak pernah marah.
"Bu," panggil Ariani ragu, "apa Mas Giandra tidak punya pacar?"
Ariani tidak berani menatap wajah Bu Yati setelah mengajukan pertanyaannya. Mengingat cara melamar Bu Yati yang datang tanpa Giandra, Ariani jadi ingin mengetahui sedikit tentang calon suaminya. Tidak masalah jika calon mertuanya marah atau tersinggung asalkan dia mendapat jawaban.
"Dulu punya, tapi Ibu ndak setuju. Dan Giandra adalah anak yang menuruti perkataan ibunya meski dia sendiri memiliki kemauan yang kuat."
"Bolehkah Ariani tahu, mengapa ibu tidak setuju?"
"Karena Ibu hanya menyukaimu, Nduk. Kamu itu ayu, tapi kelakuanmu ndak macam-macam."
Ariani mencatat ucapan Bu Yati dalam hati. Calon mertuanya tidak menyukai perempuan yang tidak nurut. Entahlah ... Ariani tidak begitu paham apa yang dimaksud macam-macam oleh Bu Yati.
"Pastikan saja, Nduk, bahwa kamu akan menjadi istri yang baik untuk Giandra. Dia itu gampang untuk dicintai. Gampang juga diambil hatinya kalau kamu memang tulus."
Ucapan Bu Yati seperti menonjok ulu hati Ariani. Luka hatinya menganga seketika. Tidak perlu diperingatkan, dia sendiri sedang mempertanyakan bagaimana memunculkan ketulusan untuk Giandra jika cintanya masih menjadi milik Abiseka. Bagaimana caranya mengukir nama Giandra di hatinya jika di sana masih penuh dengan nama Abiseka.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Ar?"
Ariani langsung menoleh begitu mendengar suara yang begitu dia kenali. Dia melihat Abiseka baru saja menurunkan sekarung gabah dari motornya. Bagaimana dia bisa lupa jika Abiseka bisa datang ke selepan sementara dia akan bekerja di tempat itu setelah pernikahannya? Itu adalah pemikiran Ariani yang sedang galau memikirkan perasaan dan masa depannya.
"Mas Seka sudah datang," sapa Bu Yati, "taro sana aja, Mas. Terima kasih sudah mengantarkan contoh gabah ini."
Ariani tidak berani berkomentar apa-apa. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Abiseka pun dia enggan. Apa yang ada dalam benaknya hanya bagaimana cara untuk pergi dari tempat itu sesegera mungkin karena dia tahu kalau hatinya mengkhianati pikirannya.
"Ar?"
"Ariani kenal Abiseka?" tanya Bu Yati.
"Ariani ini ...."
"Kenal waktu antar makan ke sawah Ibu," sela Ariani memotong ucapan Abiseka.
"Begitu. Datang di nikahan Ariani, ya, Mas Seka. Dia ini calon mantuku."
Mata Ariani terpejam sementara wajahnya berpaling. Kesakitan yang terpancar di mata Abiseka sudah tertangkap oleh matanya. Rasanya ingin berteriak supaya tidak ada yang memisahkan cinta mereka. Namun, apa yang bisa dia lakukan sekarang ketika dia hanya bisa membiarkan Abiseka menanggung lukanya sendirian. Dia yang mengejar Abiseka dan dia juga yang sudah menghempaskan impian cinta mereka.
Serasa menggarami luka yakk😥😥
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top