🦋 11. Sisi Lain 🦋
Selamaf pagiii, liburan panjang cocok banget kalo magernya sambil baca. Ye kaaan🤭🤭🤭
Giandra bekerja seperti biasanya. Berangkat pagi dan pulang pada sore hari. Kegiatannya terasa menyenangkan, menjalankan usaha keluarga tidak seburuk yang pernah dia pikirkan. Malah lebih menyenangkan karena dia bisa melakukan apa saja, termasuk melaksanakan ide-ide yang terkadang mampir di otaknya.
Selain mengurusi pekerjaan, Giandra juga mengurus Ariani yang sedang mengandung. Dia heran bagaimana ada kehamilan yang begitu menyiksa. Giandra bukannya tidak suka, tetapi rasa kasihan melihat Ariani yang tidak bisa makan membuatnya trenyuh. Ketika jalan satu-satunya adalah membawanya ke rumah sakit secara rutin, Giandra pun melakukan hal itu dengan senang hati. Tidak masalah berapa pun biayanya, selama Ariani dan anaknya baik-baik saja maka itu adalah harga yang pantas.
Beberapa perawat dan dokter di rumah sakit sampai hafal dengan Giandra dan Ariani. Biasanya Ariani akan dirawat selama dua hari atau lebih jika dokter yang bertanggung jawab tidak datang di hari kedua. Lagi-lagi tidak masalah. Giandra akan tersenyum lebar setelah dokter memberikan hasil USG dan mengatakan si calon jagoan baik-baik saja dalam kandungan Ariani.
Tadi pagi sebelum berangkat kerja, Giandra sudah menyiapkan segala kebutuhan Ariani. Dari vitamin, cemilan, buah, dan semua makanan yang mungkin akan cocok dengan selera istrinya. Dia tidak merasa repot. Justru dengan semua yang sudah dia lakukan, ada bahagia karena sudah memperhatikan anaknya sejak berada dalam kandungan.
Siang itu udara terasa begitu panas, lebih panas dari biasanya. Giandra yang jarang mengeluh pun mendadak hilang kesabaran karena gerah yang terus dirasakannya. Beberapa karyawan tidak masuk sementara kiriman barang begitu banyak. Puncaknya, Giandra mengirim sendiri sebagian besar pesanan setelah memberikan peringatan kepada karyawan untuk mengondisikan ketidakhadiran.
Lepas tengah hari Giandra selesai dengan pekerjaan yang diambil alih olehnya. Dia berniat makan di restoran cepat saji karena merasa tidak ingin ribet dengan aneka lauk dan sayur yang entah jumlahnya ada berapa. Asyik makan siang, ada seseorang yang mengambil tempat duduk di seberang Giandra. Merasa tidak punya urusan, Giandra meneruskan makan tanpa perlu berbasa-basi.
"Cuek banget, sampai aku di sini pun tetap nggak dianggap."
Giandra mendongak dari keasyikannya makan siang. Senyumnya mengembang seketika. "Hei, Siti. Sama siapa ke sini?" tanyanya bersemangat.
Siti berdecak tidak suka. "Siti lagi. Kan udah dibilangin kalau manggilnya Sonya," protes Siti.
"Ya, ya ... baiklah. Sonya." Giandra mengalah.
"Begitu lebih baik."
"Sama siapa ke sini? Nggak kerja?"
Siti meraih lengan kiri Giandra dan menunjuk jam tangannya. "Lihat!" serunya, "ini jam istirahat. Lagian mulai kapan Sonya nggak kerja? Posisiku di kantor bukan kaleng-kaleng, sayang banget kalau aku bolos," lanjutnya pongah.
Giandra mengangkat sebelah alisnya dan menatap terus pada Siti yang memamerkan senyum memikat. Tidak ada rasa marah atau tersinggung meski Siti berbicara dengan nada sombong dan bangga akan diri sendiri. Bagi Giandra, Siti masihlah cantik terlepas dari bagaimana perempuan itu bersikap atau bersosialisasi.
"Iya. Kamu yang terbaik."
Giandra tahu kalau Siti bahagia dengan ucapannya. Hal itu terlihat dari mata Siti yang berbinar setelah kalimat Giandra selesai. Giandra senang saat mata Siti berbinar seperti itu. Seperti melihat kerlip bintang, hanya saja dalam mata Siti ada begitu banyak keceriaan dan harapan akan masa depan.
"Gimana pernikahanmu?" tanya Siti tiba-tiba.
"Ya begitulah," jawab Giandra.
"Kamu mulai mencintainya?"
"Mencintai atau tidak, bukankah tak ada pengaruhnya untukmu? Kamu tenang sajalah."
Giandra tidak bisa menceritakan apa pun tentang Ariani kepada Siti. Bagaimanapun, Siti adalah wanita istimewa sementara Ariani adalah pilihan ibunya. Keduanya tidak bisa dibandingkan. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
"Apa kamu bahagia?" Siti benar-benar menyulitkan Giandra dengan pertanyaannya.
"Hmm. Aku merasa nyaman. Itu saja."
"Nyaman, tapi beberapa kali aku melihatmu keluar dari klinik dokter kandungan."
"Apa masalahnya dengan itu?"
Siti terdiam. Matanya tajam menatap Giandra. Ada rasa tidak suka yang terlihat jelas di sana. Giandra bisa membaca hal itu dengan tepat. Namun, apa yang bisa dilakukannya kemudian? Ariani adalah istrinya, mengandung anaknya, dan sudah pasti dia harus memperhatikan semua kebutuhannya.
"Apa masalahnya?" Siti mulai emosi. "Aku cemburu."
Giandra tersenyum santai. "Nggak usah terlalu mendramatisir keadaan. Aku nggak bisa berlaku buruk terhadap menantu pilihan Ibu Suri yang tengah mengandung cucunya."
"Ibu lagi, Ibu lagi! Bosan aku mendengar kata itu."
"Siti, dengar ...."
"Sonya!" potong Siti.
"Whatever. Jangan membuatku marah dengan mulai menjelekkan ibuku. Kamu boleh mengatakan apa saja, tapi tidak dengan ibuku. Itu adalah batas keras bagiku."
"Tapi, Ndra. Aku rasa ...."
"Kalau kamu mau menjadi istriku, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengambil hati ibuku. Aku tidak menoleransi siapapun berkata buruk tentangnya."
"Termasuk aku?"
Giandra mengangguk. "Benar. Termasuk kamu, Manisku."
"Kamu nggak bisa membelaku di depan ibumu yang arogan itu!"
Giandra mengeratkan rahangnya. Dia memang tidak memberikan batasan kepada Siti, kecuali tentang ibunya. Gadis cantik itu mestinya tahu untuk tidak memancing kemarahannya. Perasaan marah karena ditinggal menikah dengan perempuan lain sudah pasti sangat menyakitkan. Siapa pun tahu itu, tetapi Siti tidak semestinya melanggar batasan yang sudah diberikan oleh Giandra.
"Kamu bisa pergi dari hadapanku jika terus berkata buruk tentang ibuku."
"Aku nggak mau kita putus," tegas Siti.
Giandra menarik napas dan mengembuskannya pelan. Mencoba membuang amarah yang sesaat lalu bersarang di dadanya. "Aku nggak mengatakan hal semacam itu. Berhentilah berkata buruk tentang ibuku sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran."
"Baiklah." Siti menurut dan melanjutkan makan siangnya yang hanya berupa sayur-sayur.
Giandra menatap Siti yang menikmati makan siangnya pelan-pelan. Terkadang dia heran, mengapa kebanyakan perempuan suka sekali menikmati sayur dengan alasan berat badan dan sudah pasti Siti termasuk di dalamnya. Gadis itu lebih memilih terus menyuapkan sayur ke mulut dan menyisihkan ayam tanpa tulang yang Giandra yakin sudah dimasak dengan baik.
“Kenapa nggak dimakan ayamnya?” selidik Giandra. “Jangan bilang karena kamu nggak mau gemuk.”
“Masa lemakku naik dan paha ayam bisa memperburuknya.”
Giandra mengambil garpunya dan menusuk ayam milik Siti dan memakannya sekaligus. Menurutnya sangatlah pemborosan jika makanan itu dimakan Siti hanya seperempatnya saja. Giandra tidak mau repot menceramahi Siti yang pasti akan merasa tersinggung. Lulusan luar negeri, pasti tidak akan terima jika kepandaiannya diremehkan. Meskipun Giandra tidak bermaksud begitu, tetapi watak Siti sudah dikenal Giandra dengan baik.
“Kenapa Ariani bisa hamil?”
Giandra meneguk minumannya sambil melihat mata Siti dari atas gelas. “Kenapa kira-kira? Masa kamu nggak tahu jawabannya?” tanyanya setelah meletakkan kembali gelasnya.
“Katamu kamu cinta aku,” protes Siti untuk kesekian kali.
“Memang dan sebaiknya kamu nggak meragukan itu.”
“Mencintai aku, tapi bisa menghamili perempuan lain.”
“Aku bukan pertapa, kalau kamu ingat,” kata Giandra enteng, “lagipula Ariani juga cantik, dengan caranya.”
“Jadi kamu mulai membagi hati?”
Giandra tersenyum lebar. Ada-ada saja pertanyaan Siti. Perempuan berwajah cantik itu, terkadang bisa sangat bodoh karena dibutakan oleh prasangka dan perasaan-perasaan tidak aman yang ditimbulkannya sendiri.
“Pertanyaan apa itu?”
“Kalau kamu nggak membagi hati, mana mungkin Ariani bisa mengandung?”
Kalau Giandra masih tersenyum sebelumnya maka kali ini dia tertawa pelan. Baginya Siti benar-benar lucu. Baru saja dia memberikan jawaban dan sekarang sudah menanyakannya lagi. Walaupun ditanyakan dengan cara yang berbeda, intinya tetap sama. Giandra malas berurusan dengan Siti yang sedang dalam mode merepotkan seperti itu. Jika diteruskan maka pertemuan mereka pasti akan berujung pada pertengkaran.
Ada saat-saat Giandra merasa begitu ingin cepat pulang. Masuk rumah terasa begitu damai dengan keberadaan Ariani yang menyambut kedatangannya. Kehamilan yang merepotkan tidak pernah menghalangi Ariani untuk terus memperhatikannya. Sebisa mungkin Ariani masih melayani segala keperluannya. Giandra menghargai itu dan sebisa mungkin membalas semua kebaikan Ariani dengan layak. Istri yang begitu disayangi oleh wanita tercinta itu benar-benar patut dibanggakan. Terlepas dari cara mereka menikah, Ariani telah bersikap baik dan tanpa cela di mata Giandra.
Beberapa kali Giandra pernah melihat Ariani tampak sedih. Dia tidak tahu apa yang berlarian di pikiran istrinya, tetapi dia merasa ingin supaya Ariani berbagi. Seandainya bisa, Giandra ingin menanggung separuh beban Ariani, atau seluruhnya juga boleh asalkan jangan ada kesedihan lagi. Pernah pada suatu hari Giandra ingin menanyakan tentang kesedihan Ariani lalu mengurungkannya. Ariani langsung berubah manis saat melihat dirinya dan mulai mengambilkan minum dan menawarkan camilan yang dia inginkan.
Giandra berpikir bahwa itu hanya perasaan sedih mengenang sesuatu dan menghilang begitu lamunan selesai. Satu lagi hal yang tidak pernah dilakukan oleh Ariani, istrinya itu tidak pernah manja. Untuk wanita yang sedang mengandung, Ariani benar-benar mandiri. Tidak sekali pun dia meminta tolong jika Giandra tidak menawarkan diri. Meminta makanan yang kata orang disebut mengidam pun tidak.
Pernah Giandra merasa sebagai suami yang tidak berguna karena Ariani yang begitu mandiri. Namun, penjelasan ibunya yang mengatakan bahwa tidak semua perempuan hamil itu manja membuat Giandra merasa sedikit tenang. Dia memperhatikan Ariani dari sisi terlemah. Ariani yang terlihat mencoba baik-baik saja setelah membuang semua makanan dalam perut membuat Giandra merasa dibutuhkan. Setidaknya saat-saat seperti itu Ariani bisa menuruti semua kata-katanya.
“Ndra ... malah ngelamun. Pasti ngelamunin Ariani.” Lagi-lagi Siti menyentuh topik yang tidak disukai Giandra.
Dari awal Giandra sudah meminta Siti untuk mendekati ibunya dan meluluhkan hati beliau. Siti yang merasa lulusan luar negeri dan begitu modern tidak mau mengalah dan menurutinya. Jadilah Bu Yati yang dasarnya tidak menyukai Siti jadi tidak mengindahkan kehadiran gadis itu. Apa pun yang dilakukan Siti tidak pernah benar di mata beliau. Baginya Siti tak lebih dari seorang tamu yang tidak pernah diperkenankan untuk tinggal terlalu lama di kediaman mereka.
“Benar. Si cantik itu benar-benar menggemaskan. Dengan perut membesar karena kehamilannya, Ariani benar-benar terlihat menawan,” sahur Giandra tenang.
“Giandra!" seru Siti. "Kamu baru saja memuji perempuan lain di depanku.”
“Dan perempuan itu adalah istriku. Berhenti bersikap kekanakan, Siti!”
“Sudah kubilang jangan panggil aku begitu!”
“Baiklah. Sonya. Aku pulang dulu.”
“Ndra aku mau belanja. Bayarin, ya?”
Eaaa ... pendukungnya Mas Giandra mana suaranyaa😁😁
#kabor🏃♀️🏃♀️
Love, Rain
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top