[fh · 42] - if it's ten thousand hours or forever hours, i'm gonna love you
Juni, 2025.
Di satu waktu, di lengang tempat yang dipenuhi orang-orang saling bercengkerama, seseorang pernah berkata kalau tidak ada akhir bahagia untuk siapa pun juga, semua tetap akan berakhir pada satu tempat, tanah.
Dia berkata sembari tertawa ringan, tanpa beban. Padahal kita semua mengetahui bahwa tiap-tiap manusia pasti akan selalu mencari bahagia di sepanjang hidupnya. Jadi, kalau nanti memang sudah waktunya untuk pergi dari dunia, ada rasa tenang ketika tubuh memang benar-benar menyentuh tanah.
Kesimpulannya semua memang tidak ada yang akan berakhir mengembirakan, tetapi pasti ada banyak persimpangan jalan yang menyediakan bahagia setelah menempuh terlalu banyak rintangan.
Tiga tahun lalu, ketika Arya dan Fira saling berbagi peluk dan tangis haru sebab restu semesta berakhir menjadi temu, kedua insan itu tahu jika bahagia di situ bukanlah bahagia yang paling akhir yang benar-benar dituju. Ada begitu banyak konflik kecil, tetapi pada akhirnya mereka tetap juga masih bertemu kabar-kabar suka yang berhasil memantik senyum berhari-hari.
Hubungan mereka baik. Memang tidak semulus sewaktu mereka sekolah menengah, tetapi masalah-masalah sepele seperti itu yang membuat Arya dan Fira semakin tak ingin merusak kembali hubungan yang dasarnya saja sudah cukup rumit. Jadi akan terlalu kokoh untuk dirubuhkan kembali.
Sekembali dari tanah Ratu Elizabeth, banyak kejutan yang membuat Fira mendadak menjadi gadis paling beruntung di dunia. Dapat bergandeng tangan dengan orang yang dicintai, punya kekasih yang juga menyayangi, restu semesta yang menyertai, ia seperti hampir tak punya alasan untuk tidak mensyukuri.
Andra mulai menghangat, sudah mulai sering tersenyum. Kadang, kalau Arya membawa Fira untuk makan malam di rumahnya, pria paruh baya itu sudah bisa memberi macam-macam lelucon aneh. Katanya, baru saja menemukan di internet. Sedangkan ibunya Arya ternyata lebih lemah lembut dibanding yang Fira kira. Kalau ia berkunjung, wanita itu selalu banyak tanya seperti bundanya dulu atau Dewi. Fira menyukainya, ia seperti jadi punya total tiga ibu sekarang.
Omong-omong soal sepuluh ribu jamnya, Arya dan Fira bersepakat untuk tak lagi menghitung jamnya tepat di hitungan ketiga. Selain melelahkan, hitungan jam juga kurang akurat. Mereka bisa berdebat karena total hitungan yang berbeda. Namun, lebih dari alasan-alasan itu, Arya memang selalu punya pemikiran yang membuat Fira mau tak mau harus tersenyum hangat dan malu-malu.
Katanya, kalau terus-menerus menghitungi, waktu yang dilewati akan sulit dinikmati. Banyak momen yang barangkali hangus karena sibuk menghitung, bukan mengenang. Jadi, mereka harus berhenti, berganti menikmati tiap detik, menit, jam, atau selamanya untuk terus saling berbagi kasih.
Pagi yang hangat hampir menggapai siang yang pasti sedang bersiap meniup gerah berkelanjutan. Halaman auditorium ramai, hampir penuh sesak. Kebanyakan adalah mahasiswa yang mengenakan baju toga wisuda hitam, sleber dan samir biru putih, serta topi wisuda segi lima. Beberapa ada pula yang masih memegang map dan tabung wisuda untuk berpose ria bersama teman atau keluarga.
Gadis itu sebenarnya lelah. Ingin pergi saja dari sana segera. Namun, buket bunga, kotak-kotak hadiah, dan orang-orang yang bahkan sudah Fira lupakan wajahnya itu tak henti berdatangan. Katanya adalah penggemar Fira karena desain-desain pakaian gadis itu tidak pernah gagal memukau mata di sepanjang jendela kaca besar butik Mozzafiato. Mereka tidak tahu saja berapa banyak kertas dan kain yang dihabiskan hanya untuk merevisi satu pakaian saja.
Zhafira mengembuskan napas lelah ketika kerumunan meninggalkannya bersama buket bunga dan kotak-kotak kado di pelukan. Penuh. Gadis itu sampai harus menurunkan semuanya di atas rumput Jepang.
"Boleh aku cemburu karena kamu dapet banyak banget bunga dan hadiah dari cowok-cowok?"
Fira belum sempat bangkit ketika melihat bayangan yang menghalangi cahaya matahari untuk menyorot langsung buket bunga dan kotak-kotak yang ditaruh di atas rumput. Gadis itu mendongak, air muka Arya tampak sedikit kesal. Laki-laki itu mengenakan pakaian toga yang sama sepertinya.
"Tapi dia antara itu nggak ada bunga kamboja, jadi aku nggak terlalu suka." Gadis itu tersenyum, manis dan lembut. Barangkali permen kapas di pasar malam akan kalah. Namun, senyumnya terlalu cepat berganti dengan bibir cemberut. Fira berkacak pinggang. "Kamu cuma bilang cemburu aja, tapi nggak ngasih apa-apa."
"Cemburu itu tanda kalau aku sayang sama kamu." Pipi Fira dicubit. Gadis itu buru-buru menepis. Arya tertawa singkat. "Lagian aku juga udah nyiapin hadiah." Tangannya beralih bersedekap. Dagunya naik. "Padahal aku juga wisuda, kamu seharusnya juga ngasih, dong."
"Aku juga punya." Fira menjulurkan lidah. "Tapi hadiahnya di rumah."
"Di rumah? Maksudnya rumah papa kamu?"
Fira mengangguk. "Soalnya kamu suka ke asrama. Pasti nanti kamu liat hadiahnya."
"Jadi kamu udah siapin hadiahnya dari jauh hari? Aku jadi penasaran hadiahnya apa. Boleh nggak aku minta hadiah lain?"
Arya memangkas jarak. Ada seringai di wajah tegas itu. Kepalanya sedikit menunduk. Fira tentu tahu ke mana maksud kekasihnya ini. Jadi, ia memukul dahi Arya, mendorong dada laki-laki itu untuk menjauh.
"Gila, kamu!"
Arya terbahak, hampir mengundang perhatian beberapa orang. Jenis tawa mengesalkan yang membuat Fira ingin kembali memukul kepalanya.
"Hoi! Malah lovey-dovey di tempat umum."
Fira tersentak. Bahunya disentuh tiba-tiba. Lantas dengan cepat, gadis lain sudah berada di depannya sembari memberenggut. "Kamu ke mana aja, April? Aku pikir kamu udah pulang duluan."
"Mana bisa. Kita, kan, belum foto bareng," katanya lemas. Gadis berwajah oriental itu merogoh sesuatu dari rok hitam yang ia kenakan. "Pas banget Arya di sini. Fotoin, ya." Ponsel diangsurkan. Arya memang terlihat bingung, tetapi menerima juga. "Tolong, hehe."
Laki-laki jangkung itu mendengkus. Langkah diayun mundur perlahan. Ia memposisikan ponsel, mengambil gambar ketika dua gadis di depannya sibuk berpose ria. "Padahal aku nyamperin Fira juga buat ngambil foto berdua."
"Tenang aja, Ya." April mengganti gaya. "Nanti aku fotoin kamu sama Fira sampai memori kamu meluber."
"Seharusnya kamu juga bawa pacar kamu itu. Biar dia berguna dikit," desis Arya rendah. Tidak tahu sampai ke telinga April atau tidak.
"Hei! Telingaku berdengung. Ada yang manggil aku?"
Seseorang merangkul bahu Arya ketika laki-laki itu bersiap mengembalikan gawai kepada pemiliknya. April cepat-cepat menggapai, melihat-lihat hasil jepretan bersama Fira. Arya mendengkus, mengapa pula Randi dan April punya kesamaan suka datang tiba-tiba.
"Bro, entar malem jadi, nggak?" Itu yang sarjana arsitektur itu katakan ketika rangkulannya dilepas. Mungkin mulai menyadari raut tidak enak dari Arya.
Kekasih Fira itu menoleh, mengangguk kemudian. "Jadi, lah. Kan aku udah lama ngerencanain." Arya tersenyum, menepuk-nepuk bahu Randi. "Btw, makasih udah bantu, ya."
"Nanti malem kenapa? Randi bantuin apa?"
Arya menoleh ke lain arah. Air muka kekasihnya sedang penuh penasaran, tetapi ia sendirian. April pergi menghilang entah ke mana lagi. "Makan malam di rumah kamu. Boleh, kan?"
"Hah?" Fira membelalak. "Kok kamu nggak bilang?"
"Kamu nggak seneng?"
"Seneng, kok, seneng," jawabnya cepat. Fira tertawa canggung. Ia juga bingung kenapa tiba-tiba melakukannya. "Aku ... cuma terkejut aja."
"Aaahh, kamu lucu banget." Lagi, Arya mencubit kedua pipi kekasihnya. Kebiasaan yang paling Fira kesalkan. Laki-laki itu pasti akan selalu berakhir dengan membuat kedua pipinya merah dan sakit.
Randi mengulur jarak. Ekspresinya dibuat seakan-akan ingin muntah. Ia bahkan membuat suara yang serupa.
"Hoi, Randi. Bersikap baik sama calon kakak ipar. Atau ... aku bilangin ke April kalau di dekat perpus ..."
Padahal, Arya sebenarnya tidak tahu ada apa dengan perpustakaan. Ia hanya asal menyebutkan. Namun, melihat Randi yang gelagapan dan hampir memucat, sarjana manajemen bisnis itu menyeringai. Ia jadi punya senjata sekarang.
"Perpus? Kenapa perpus? Aku nggak ngapa-ngapain di perpus. Nggak godain dos---"
Dehaman mengintrupsi. Tiga pasang mata menoleh ke asal suara. April datang entah dari mana. Dia benar-benar seperti hantu yang pergi dan datang tiba-tiba.
"Eh, Sayang?" Randi hampir memucat, tetapi mencoba tersenyum meski malah terlihat kaku. "Abis ini kamu mau kita makan kebab, nggak? Ada ayam, daging. Kalau kamu mau kita juga bisa nyari bakpao ayam---"
"Ya, beli aja semuanya," ucap April agak acuh. Ia memperbaiki letak topi wisuda sedikit. Menunjuk dengan jemarinya depan. Seorang pria dengan kamera digital sudah siap memotret beberapa meter di depan mereka. "Aku baru aja nemu fotografer nganggur. Ayo foto berempat."
Keempatnya merapatkan diri. Tersenyum lebar ketika sang fotografer memberi aba-aba dengan hitungan. Berganti-ganti gaya juga. Misalnya melompat, berpura-pura saling berbicara, menatap pasangan masing-masing, dan tentu saja yang paling penting melempar topi wisuda.
Mereka sudah lulus. Sudah menyandang gelar sarjana dengan gelar sesuai jurusannya juga. Dua pasang kekasih tersenyum, sama indah, sama bahagia. Saling merangkul, saling berbagi suka tiada tara. Berharap, masa-masa seperti ini tidak akan berakhir dengan duka yang datang terlalu cepat.
***
"Ra, mana hadiahnyaaa?"
Dari meja makan, dapur, dan sekarang mereka sedang mendaki anak tangga menuju kamar Fira, Arya belum juga berhenti merengek minta diberi hadiah yang dijanjikan tadi siang. Tidak sabaran sekali. Gadis itu pikir, setelah makan malam bersama Nugroho, Dewi, Randi, dan juga April yang disertai dengan banyak lelucon dan cerita-cerita sewaktu SMA dan sepanjang perkuliahan, Arya akan melupakannya. Ternyata laki-laki itu punya ingatan terlalu tajam.
"Hadiah aku dulu, Ya. Kamu yang bilang duluan tadi kalau mau ngasih hadiah." Fira bersedekap, berdiri di depan pintu kamarnya yang masih tertutup. Sesuai janjinya waktu itu, mulai sekarang ia akan tinggal bersama keluarga barunya.
"Kamu dulu aja." Arya memberenggut. Fira tidak akan bisa menahan lebih lama lagi kalau kekasihnya bisa bertingkah seimut itu. "Aku janji, kalau kamu udah kasih, nanti aku juga langsung kasih." Tangannya terulur menggoyang lengan Fira. "Ya, ya, ya ...." Jedanya dibuat untuk mengembus napas panjang. Agak menuntut. "Zhafiraaa!"
Rambut gadis itu tak lagi dikucir. Surai panjang hitam sepinggangnya dibiarkan tergerai, diberi tiga jepit hitam di bagian kiri. Fira berdecak, merotasikan bola mata. "Iya, tapi harus janji."
"Iya, kapan juga aku pernah nggak penuhin permintaan kamu?" Laki-laki itu mengerling, mengangkat sebelah saja sudut bibirnya.
"Ini. Aku minta hadiah duluan tapi gak dikasih."
"Tapi aku janji ngasih hadiahnya setelah kamu."
"Banyak banget alasan kamu."
Hendel pintu disentuh, kamarnya terbuka lebar. Dindingnya serupa warna kelopak melati, tetapi ada beberapa bagian yang diberi wallpaper bunga-bungaan. Ada tiga menekin setengah badan di depan meja belajar; satu di antaranya dipasangi jas abu-abu yang agak berkilau karena cahaya lampu, dibungkus juga dengan plastik, sedangkan dua lainnya masih telanjang.
"Kamar kamu rapi banget. Kamar aku kalah," celetuk Arya.
Tentu Fira tahu kalau kekasihnya tidak sedang memuji. Banyak potongan sisa-sisa kain yang belum dikutipi, gulungan bahan yang bertengger di bawah manekin, serta ada beberapa pakaian setengah jadi yang dibiarkan saja di atas ranjang. Arya pasti sedang menerka-nerka bagaimana pula gadis ini akan tidur di malam hari dengan kamar seberantakan ini.
Padahal, jelas-jelas beberapa waktu lalu Randi mengatakan kalau ayah mereka sudah menyiapkan studio untuk menaruh bahan-bahan milik Fira. Letaknya pasti tepat di sebelah kamar ini juga. Kalau memang gadis itu mau, ia juga bisa menggunakan studio milik ibu tirinya. Tidak ada bedanya. Mereka juga sama-sama desainer. Sayang sekali kamar yang seharusnya menjadi tempat istirahat malah berakhir juga menjadi studio kedua.
"Nggak usah ngeledek," balasnya ketus. Langkah gadis itu mendekati satu-satunya manekin yang dipasangi pakaian. Tumitnya memutar, menyentuh bahu jas yang masih terbungkus plastik itu. Wajahnya berganti mengulas senyum lembut. "Ini hadiah kamu."
Arya Alvaro mengerjap. Beku di tempat beberapa saat, melihat Fira dan jas abu-abu itu bergantian beberapa kali. Semburat bahagia tergambar di wajah tegasnya. Alis tebal yang membingkai mata naik bersama ulas senyum yang terlalu bahagia. Kaki diayun mendekat agak tergesa, menjejak hati-hati agar tidak mengenai sisa-sisa potongan kain yang dibiarkan saja.
"Jas? Ini ...."Arya pasti tidak punya kosa kata yang tepat untuk mendeskripsikan keterkejutan dan kebahagiannya sekaligus. Berulang kali lidahnya berusaha membasahi bibir. Pasti Fira lama sekali mempersiapkan hadiah semacam ini untuknya. "Ini keren banget. Kamu beneran buat ini sendiri? Khusus buat aku?"
Sepasang mata bersua. Sinar di mata Arya terlalu silau, gadis itu sampai tak bisa melepas senyum lebar dari wajahnya. Ia pikir Arya tidak akan menyukai hadiah ini karena laki-laki itu pasti sudah punya terlalu banyak jas berwarna senada. Tentu saja karena Arya sekarang tengah memegang separuh saham perusahaan milik Tuan Anthony yang baru saja selesai dibangun setahun lalu, di sana, di pusat kota Semarang. Seperti yang pernah Laura katakan. Seharusnya setengah lagi adalah milik Laura, tetapi gadis itu menolak dan memilih untuk memegang yang ada di London saja. Gadis itu sudah lulus setahun lalu, dia benar-benar jadi direktur di sana. Fira dengar, Laura dan Justin akan melangsungkan pertunangan sebentar lagi. Mereka memang harus datang ke sana karena waktu itu pernah menjemput restu semesta bersama-sama.
Fira mengangguk. Jarak dipangkas terlalu cepat. Dekap erat membungkus singkat.
"Makasih, Sayang."
Gadis itu mengangguk lagi, bergumam panjang setelahnya. "Hadiah aku mana?"
"Kamu buru-buru banget. Entar dong."
Ada kerlingan di sana. Melihat sekilas pun, orang juga akan tahu kalau Arya sedang memberikan seringaian. Jarak dipangkas lagi. Laki-laki itu menunduk, mendekatkan wajah. Namun, tentu saja Fira mendorong dada Arya lebih dulu sebelum isi pikiran Arya benar-benar tersalurkan.
"Aryaaa!" Fira memekik, kesal.
Laki-laki jangkung itu terbahak, sampai menggema ke mana-mana. Jarak diulur, langkahnya mundur. "Hadiahnya ada di bawah. Ikut aku."
Tawanya mengabur. Berganti dengan air muka serius dan sedikit tergurat gugup. Arya berbalik sembari menggenggam erat tangan Fira. Membawa gadis itu keluar dan menuruni anak tangga.
Selama perjalanan singkat yang membawa debar itu, Fira bertanya-tanya hadiah kelulusan apa yang akan ia dapatkan. Di bawah katanya? Namun bahkan gadis itu tidak melihat kalau Arya membawa sesuatu setelah keluar dari mobil Range Rover-nya. Entah pula kalau memang laki-laki itu mengeluarkan ketika Fira berada di dapur atau sedang mencuci piring bersama April.
Zhafira tidak tahu mengapa suasana begitu sampai di anak tangga terakhir agak berbeda. Merah muda. Ia mendongak dan mengagumi kalau memang lampu di ruang keluarga itu memang telah berganti warna seperti kelopak kamboja. Ada aroma jasmine yang lembut juga, entah dari mana. Kelopak-kelopak mawar merah pekat, mawar merah muda, dan kamboja juga ditebar di lantai keramik putih gading itu. Musik mengalun, membelai gendang telinga terlalu lembut. 10,000 Hours versi piano, tetapi penyanyinya tetap sama. Fira tidak bisa menahan lagi senyum di wajahnya. Ia pasti sedang merona parah.
Manik berkilauan itu mencari-cari. Namun, matanya malah jatuh agak rendah. Arya sudah berlutut, sebelah kakinya menyentuh lantai. Kedua tangan Fira diraih, digenggam erat seperti akan hilang esok hari. Laki-laki itu berdeham. Fira rasa, bukan hanya dirinya saja yang sedang berdebar parah, Arya pasti juga sama. Sebenarnya hadiah apa yang akan diberikan Arya? Fira tidak mau menebak lagi. Ia akan mengikuti apa saja yang sudah disiapkan laki-laki di depannya ini.
"Zhafira ...." Arya menjeda dengan tarikan napas sedikit panjang. Senyum lembut terulas. Gadis itu merasa akan luruh menjadi kelopak-kelopak bunga yang ditebar saat itu juga.
Fira tidak benar-benar menyerpih menjadi kelopaknya, tetapi manik kecokelatan itu telah menganak sungai. Tangis haru pecah ketika Arya mengudarakan bait-bait cinta.
apa kau ingat kali pertama kita bersemuka?
di bawah pohon ketapang itu,
kau tau kalau ada sepasang netra yang memaku terhadapmu?
di antara rak-rak buku yang berdebu,
pasti dirimu sedang menahan senyum malu-malu.
mari ingat kembali,
kapan kau merasakan jatuh hati?
setangkup kamboja,
hamparan bintang di pucuk kepala kita,
aku melihat sendiri kalau kau sedang jatuh cinta.
tapi, apa kau tau?
sepasang mata indah milikmulah yang lebih dulu membuatku jatuh.
kamboja merah muda itu,
atau semerbak melati yang lalu,
tidak ada yang bisa menandingi indahnya jatuh padamu,
mencintaimu.
jadi ayo bersepakat jangan lagi memisahkan cinta dan jatuh.
karena ketika aku memutuskan untuk luruh,
maka kau harus bersedia jadi cintaku.
lantas kita bisa belajar lagi bagaimana caranya jatuh cinta seperti dulu.
berhenti menghitung jam yang lalu,
ada terlalu banyak perasaan yang mesti dihitungi dari masa lalu,
berjibun cinta yang patut dipersiapkan kala masa depan berlaku,
lalu untuk saat ini, kau harus tahu kalau aku akan selalu mencintaimu.
zhafira,
mari habiskan sisa hidup kita untuk saling berbagi cinta
ayo kita bersumpah akan mencintai selamanya
menikahlah, denganku...
Genggaman pada tangannya terlepas. Arya merogoh saku celananya. Mengeluarkan kotak kecil beludru merah pekat. Membuka kotaknya menghadap Fira. Berkilau, dan Fira benar-benar menutup mulutnya dengan kedua tangan agar isak bahagia itu tidak terdengar. Sebuah cincin perak berbentuk untaian yang saling menyatu membentuk tiga daun mungil. Tujuh permata atau berlian, ia tidak tahu, itu juga kalau Fira tidak salah mengira, menghias pangkal, tengah dan ujung daunnya.
"Say yes, say yes, say yes!"
Benar, seharusnya Fira sadar lebih awal kalau di rumah itu tentu memang bukan hanya mereka berdua saja. April pasti belum diantar pulang, Nugroho, Dewi, dan Randi sudah pasti akan tetap di rumah. Tentu saja mereka juga ikut andil membantu Arya untuk melakukan semua ini. Dibanding harus merasa malu dan istimewa sekarang, Fira seharusnya menjawab. Menerima hadiah kelulusannya sekarang juga.
Cincin yang masih bersarang di kotak itu ditatap singkat, beralih pada Arya yang juga masih menunggu respons darinya. Gadis itu tersenyum kelewat bahagia, menyusut ingus bersamaan dengan menghapus jejak-jejak air mata yang membasahi wajah. Fira mengangguk sekali. "Iya, ayo kita menikah."
Sorak bahagia mengudara, tepuk tangan meriuhkan seisi rumah. Air matanya mengalir lagi ketika cincin perak terpasang di jari manis kirinya. Sangat pas. Tentu Fira harus menyanjung kalau Arya ternyata bisa tahu ukuran jarinya padahal mereka hanya saling berbagi genggam saja.
Sepasang insan bersemuka lagi. Fira mendongak dengan mata sembab. Tangisnya belum berhenti, terasa tak bisa. Ia terlalu bahagia sebab hadiah yang terlalu indah. Memang tidak ada yang lebih indah dibanding mendengar pengakuan cinta dan permintaan untuk hidup bersama selamanya. Sepasang tangan menangkup wajahnya, jejak tangis dihapus lembut. Fira dibawa dalam dekap hangat yang lama.
"I love you, Arya." Fira terisak. Peluk dibagi makin erat. "Love you now, tomorrow, and forever hours that we can."
- [ forever hours - t h e e n d ] -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top