[fh · 41] - it's about to hold and never let you go
Juni, 2022.
Jemari di genggaman tangan itu terasa dingin dan bergetar. Lorong panjang yang kebanyakan terbuat dari kaca tebal, nyatanya malah membubuhkan terlampau banyak kegelisahan dan gugup di satu waktu yang singkat. Arya Alvaro tahu sendiri, tindakannya untuk kembali ke London terburu-buru bukanlah hal yang pasti akan berakhir baik. Namun, menunda waktu lebih banyak lagi bukan berarti akan menunda hal-hal buruk lainnya.
Langkah seseorang di belakangnya berhenti mengayun, mau tak mau memaksa laki-laki itu juga menghentikan langkah. Mereka hanya tinggal sedikit lagi saja, terhalang sebuah pintu kaca, menjemput restu semesta katanya. Akan tetapi, begitu tumitnya berbalik menghadap gadis berkucir itu, Arya merasa kalau kalut sedang membaur bersama dinginnya gugup yang semakin tak keruan saja.
Zhafira Freya berdiri memaku di tempat, bahunya merosot sedikit, sepasang mata bermanik kecokelatan itu juga sedang memancarkan binar ketidakpercayaan diri dan takut. Arya memangkas sedikit jarak, kedua tangan gadisnya digenggam lebih erat. Kalau dibandingkan, memang suhu tangan mereka sama-sama rendah. Namun, Arya hanya ingin menyalurkan ketenangan lebih banyak pada Fira yang baru pertama bertemu dengan ayahnya. Meskipun sebenarnya laki-laki itu tak cukup punya banyak nyali menghadapi amarah sang ayah yang mungkin akan menghancurkan kantor.
"Semuanya bakal berakhir baik. Kamu tau itu, kan, Ra?"
Jedanya agak lama. Sepasang mata berbinar sedikit redup itu seperti sedang mencari-cari entah apa di mata kekasihnya. Derap-derap langkah samar dan dengung orang yang berbicara menodai sedikit saja. Fira mengangguk, kaku dan takut-takut.
Derap-derap langkah terdengar mendekat. Kedua insan itu menoleh dan mendapati sepasang manusia lainnya yang sudah berdiri di dekat mereka sembari saling menggenggam. Air mukanya bahkan hampir sama seperti Arya dan Fira.
"Tunggu di sini. Sebentar aja, ya. Kalau udah waktunya, kalian bisa masuk." Begitu ucap Arya ketika tangannya terulur mengusap pipi sang kekasih. Lembut, sedikit lama. Ada macam-macam asa yang berpendar melalui maniknya yang kelam dan dalam.
Laki-laki itu tersenyum tipis ketika tangannya ditarik menjauh, saling berisyarat pada Laura untuk melewati pintu kaca berhendel aluminium. Tersisa Fira dan laki-laki yang ia kira adalah kekasihnya Laura. Sama-sama menunggu dengan berselimut resah.
Pintu kaca berdenging lembut. Arya pikir, hanya akan ada ayahnya di sana. Namun, ternyata juga ada ayahnya Laura yang duduk di sofa panjang berwarna cokelat tua itu. Kebetulan yang tidak begitu disangka.
"Arya? Secepat ini kamu kembali?" Bersama tanya yang mengudara, dua pasang mata menatap sama keheranan. Anthony hampir berdiri, tetapi Arya lebih dulu menahan dengan isyarat.
Laki-laki muda itu tahu akan sedingin apa ruangan familier milik ayahnya akan terasa. Namun, kali ini, rasanya lebih membuat nyeri. Benar saja. Ketika melihat pada Andra, Arya sudah lebih dulu dihujam tatapan sinis dan dingin.
"Apa kamu tidak menemukan apa yang kamu cari di sana, makanya kamu kembali secepat ini?"
"Kenapa kamu nggak bilang kalau sudah di London?" Anthony tampaknya tak menghiraukan tanya aneh yang terlontar dari rekan bisnisnya, ia lebih terpaku pada sang putri yang tiba-tiba sudah berada di samping Arya. Berdiri dengan air muka sama kaku. "Papa bisa jemput kamu. Ada masalah, Nak?"
Arya dan Laura saling bertatap singkat. Saling meyakinkan untuk melakukan semua ide-ide yang telah mereka susun jauh hari. Memang tidak terlalu matang, tetapi lebih baik dari pada tidak dijalankan. Ayah Laura lantas mengisyaratkan agar sepasang manusia itu untuk duduk di sofa juga. Anthony berpindah ke sisi Andra, Arya dan Laura yang sekarang duduk di sofa paling panjang. Yang tua saling berhadapan dengan yang muda.
"Maaf sebelumnya, Tuan Anthony." Laki-laki muda itu berdeham singkat. Jemarinya saling bertaut, berharap bisa melunturkan resah yang terlampau kentara. "Apa kami ... bisa membatalkan perjodohannya?"
Arya jelas tahu apa yang akan dihadapinya ketika sepenggal kalimat itu akhirnya mengudara tanpa terhambat setelah sekian waktu terlewati dengan kekangan tiada habis. Sepasang mata milik Anthony sudah pasti membelalak terkejut, tetapi kalau ayahnya sendiri pasti sudah bercampur amarah yang seharusnya tidak disulut seperti ini. Memang terlalu gegabah, tetapi menahan lebih lama malah membuat ledakan lebih parah.
"Enggak, nggak bisa!" Andra menyentak, dengan keras menolak. Ia sepertinya akan meledak jika saja memang hanya ada mereka berdua di sana. Namun, pria paruh baya itu sepertinya memang lebih bisa mengontrol emosi jika ada orang lain. Jadi, dia menghela dan mengembuskan napas beberapa kali sebelum berucap lagi. "Dari awal Papa udah bilang kalau perjodohannya udah keputusan mutlak, kan? Kamu pulang dari Semarang malah minta batalkan perjodohan kalian. Ada apa sebenarnya sama kamu?"
Anthony menarik diri dari sandaran sofa. Tubuhnya tegap, condong pada dua insan di depannya. Dibanding ayah sendiri, Arya sebenarnya lebih takut menyakiti perasaan pria si pemilik perusahaan ini. Ia bahkan lebih menyayangi Arya dibanding ayahnya sendiri.
"Bisa bilang alasannya dulu, Arya, Laura?" Pria itu menatap sepasang manusia di depannya bergantian, agak linglung. Barangkali masih terkejut juga dengan sepenggal tanya yang terlalu mendadak. Arya hanya berharap saja kalau pria itu tidak punya riwayat penyakit jantung. "Kenapa sekarang? Kedatangan kalian yang tiba-tiba ini pasti bukan karena cuma mau bilang itu, kan?
Pintu kaca diketuk dua kali, berdenging lembut, terbuka sempurna. Sepasang manusia masuk lagi, menampilkan air muka penuh kekalutan. Lantas, Arya dan Laura buru-buru bangkit. Menggandeng pasangan mereka masing-masing. Meskipun ada seulas senyum tipis yang tergambar di masing-masing wajah, nyatanya tetap saja tidak bisa memantik suasana lebih tenang ketika dua pria akhirnya memilih beranjak dan menghampiri.
"Maafin Laura, Pa. Waktu itu sebenarnya Laura nggak mau ngecewain Papa karena Papa keliatan bahagia banget sama perjodohan ini." Bahu Laura merosot, suaranya sedikit bergetar. Arya tahu sesulit apa mengatakan tak suka pada sesuatu setelah terlalu lama. "Tapi setelah beberapa waktu di sana, kami pikir, malah kami yang nggak bahagia terhadap ikatan ini. Kami mencintai orang yang berbeda, Pa. Arya punya dia," Gadis setengah Eropa itu melirik Fira, beralih pada kekasihnya sendiri, "dan aku punya dia."
Namun sepertinya, rencana untuk menjemput restu semesta itu memang tidak akan berjalan mulus. Hening janggal ternoda suara telapak yang menyentuh permukaan kulit wajah. Arya merasakan panas yang menjalar di pipi bersama dengan denging panjang yang menyakiti telinga. Laura memekik, Fira meremas lebih erat genggaman tangannya, sedangkan Anthony berusaha menjauhkan Andra.
"Kamu mengacaukan semuanya, Arya." Andra melepas dengan sopan pegangan Anthony di bahunya. Jas abu-abu itu dirapikan. Ia memangkas jarak sedikit, melangkah terlampau pelan. Berdesis dingin dan tajam. "Kamu tau sendiri seberapa pentingnya, kan, perjodohan kalian? Papa udah siapkan masa depan terbaik buat kamu, tapi kamu--"
"Aku juga berhak bahagia, Pa," potong laki-laki muda itu. Matanya barangkali sudah memerah, hampir menganak sungai. Namun, seharusnya Arya tidak menangis sekarang. Genggamannya dipererat lagi, jemari mereka sama-sama berkeringat. "Masa depan terjamin, tapi nggak tahu di mana letak bahagia, sama aja kayak tinggal di neraka."
Jemari yang saling bertaut itu berusaha untuk dilepas. Ada tenaga keputusasaan di sana. Arya tahu Fira ingin pergi, kalau bisa membawanya serta juga. Namun, Arya sudah berjanji. Tidak ada lagi yang harus berubah menjadi tak tertepati. Laki-laki itu menoleh. Memberi tatapan kalau semuanya akan baik-baik saja. Mengulas senyum tipis bersama anggukan kecil juga. Kekasihnya itu membalas dengan anggukan juga, barangkali sedikit tenang.
"Maaf sebelumnya, Tuan Andra. Dalam hal membatalkan pertunangan ini bukan sepihak aja, saya juga ikut andil." Laura terdengar agak menahan amarah. Ia melirik sebentar pada Arya. "Kalau hanya menyalahkan Arya, itu hal yang tidak etis."
Andra tidak membalas apa pun. Jarak diulur, napasnya mulai terdengar tak teratur. Pria berjas abu-abu itu memilih menatap singkat pemandangan di luar jendela kaca ruangannya.
Sedangkan Anthony mendekat, menatap tiap-tiap insan di sana terlalu lama, terutama pada Arya dan Laura. "Apa kalian yakin untuk membatalkan perjodohan ini?"
Kedua insan yang ditanyai saling menatap sebentar, beralih pada pasangan masing-masing, lantas kembali pada pria yang menanyakan. Arya dan Laura serempak mengangguk.
"Kalian benar-benar menyayangi pasangan pilihan kalian saat ini?" tanya Anthony lagi. Sekiranya hendak memastikan kembali.
Lagi, kedua orang itu mengangguk. Lebih tegas. Sedikit saja, seulas senyum lega sedang berusaha digambar.
Ayah Laura memangkas jarak lagi, menyisakan ruang dua meter lebih. Ada senyum tipis bersamaan dengan harap yang berpendar di matanya yang sedikit sayu ketika menatap Justin. Seseorang yang katanya telah mencuri hari sang putri. "Why did you choose my daughter?"
Laki-laki berambut hazelnut itu menoleh sebentar pada Laura. Setelah mendapat respons anggukan, dia menjawab dengan percaya diri. Tak lupa membubuhkan senyum tanpa ada kepalsua. "She has an angelic heart. I love her like I will lose the world. Cause eventually," Justin melirik lagi kekasihnya, "she is my world."
Anthony mengangguk beberapa kali. Ada senyum lega yang terpancar di sana. Memantik untuk mencairkan resah yang tersisa setengahnya saja. Pria itu beralih menatap Fira. "Nak, kamu yakin bisa mencintai Arya?"
Jemari yang dingin diremas pelan, sepasang mata saling beradu pandang. Singkat saja. Gadis berkucir itu tersenyum tipis setelahnya. "Saya nggak bisa berjanji untuk selamanya, tapi saya janji melakukannya selama yang saya bisa."
"Gadis itu tidak bisa bersama dengan kamu, Arya."
Nada agak menyentak itu baru saja membuat atmosfer di ruangan mendadak kembali dingin. Tak ada lagi senyum yang terpatri, tidak ada kelegaan yang membubung hampir tinggi, tertinggal saja gamang yang menjadi-jadi. Semua pasang mata mendadak menatap punggung yang sudah berbalik itu. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana abu-abu.
"Tuan Andra, bagaimana bisa Anda mencegah cinta?" Anthony bergerak mendekati pria lain di sana. Sedang melontarkan protes bersamaan dengan wejangan. "Apa Anda tetap akan memaksa Arya untuk menjalin hubungan dengan Laura padahal sudah jelas-jelas mereka tidak mau?"
Pria itu berbalik lagi. Kerut di wajahnya menunjukkan kalau ia sudah lelah bekerja. Arya merasa bersalah. Seharusnya dirinya yang membujuk Andra agar mau menerima pembatalan perjodohan mereka, tetapi sekarang malah berakhir dengan Anthony yang sibuk meyakinkan.
"Papa biarkan kamu memilih untuk masa depan kamu sendiri, Laura." Nada bicara Anthony melembut. Senyum perlahan terbit di sana. "Kamu bisa memilih untuk menjalin hubungan dengan siapa saja, tapi Papa tolong, jangan pernah menyimpan rahasia sendiri."
"Saya minta maaf sekali, Tuan Andra. Saya rasa, kita tidak bisa lagi melanjutkan perjodohan anak-anak kita." Jemari ditaut cemas, pandangannya menunduk singkat. "Anda melihat sendiri kalau mereka punya seseorang yang mereka cinta, kan? Memaksakannya malah tidak akan berakhir baik. Sebenarnya masalah keluarga kalian saya tidak bisa ikut campur, tapi saya yang sudah menganggap Arya sebagai anak sendiri juga ingin yang terbaik untuknya. Arya itu laki-laki baik, dia juga berhak memilih masa depannya sendiri. Anda harus menerimanya, Tuan Andra."
Langkah dijejaki mendekat. Bahu Andra disentuh dan ditepuk-tepuk. Ada tenang yang berusaha dihantarkan lewat jemari yang mulai mengeriput itu. Setelah ini, Arya harus memeluk dan berterima kasih sangat banyak pada Anthony. Atau apa saja. Arya akan lakukan apa saja agar pria itu terus bahagia.
"Saya pikir juga, barangkali Anda merasa khawatir mengenai kerja sama kita kalau perjodohan dibatalkan. Tapi menurut saya itu tidak ada hubungannya sama sekali." Anthony menggeleng dua kali. Sebentar saja menatapi lantai keramik ruangan itu. "Kerja sama kita tetap akan terus berlanjut, Tuan. Saya tetap menjadi investor perusahaan Anda di Semarang, mungkin Anda bisa sedikit lega kalau sudah kembali lagi ke sana. Soal Arya yang mendapat bagian di perusahaan saya, akan tetap dijalankan sesuai dengan kesepakatan kita terdahulu. Tidak ada yang berubah karena Anda dan Arya selama ini juga telah banyak membantu di sini."
Dinginnya mulai mengabur, ada titik-titik hangat yang mencoba menelusup. Pandangan Andra tak lagi sesinis beberapa saat lalu. Ia menatap rekan bisnisnya sebentar, mencari dan menggali lebih banyak alasan lain untuk menolak. Namun, yang ia temui malah alasan untuk menerima tiap-tiap kalimat petuah untuk meyakinkan dirinya.
"Saya harap Anda mau memberikan restu pada anak Anda sendiri, Tuan Andra."
Bahu ditepuk dua kali, kaki mengayun menjauhi. Di detik itu, Andra, untuk pertama kalinya memandangi sang putra sedikit melembut. Sedikit saja, tetapi sukses membuat binar penuh kelegaan berpendar dari mata laki-laki muda itu. Ketika ayahnya memangkas jarak dan memberi tepukan lelaki beberapa kali di bahunya, Arya baru merasakan kalau sebenarnya sang ayah sedang menahan amarahnya. Bukan amarah yang seperti biasa, tetapi marah yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Mulai sekarang, kamu bebas, Arya. Kamu bisa menentukan bagaimana masa depan kamu sendiri." Kala senyum akhirnya tergaris di wajah, meski tipis saja, Arya rasanya ingin menangis. Menghambur dalam dekap ayahnya yang bahkan hampir tak pernah ia rasakan. "Kamu bisa mencoba untuk menjalani dengan ...," pria itu menoleh pada gadis di sebelah putranya, menggaris senyum lebih lembut, "Fira."
Jarak diulur, jauh, makin jauh. Detik itu Arya merasa kalau ayahnya benar-benar akan pergi teramat jauh. Sebuah pergi yang dulu sangat-sangat diharapkan, tetapi sekarang malah ingin ia hindarkan. Namun, tidak ada yang menghentikan ketika Andra memilih untuk pergi dari ruangannya sendiri, memutuskan untuk meredakan amarahnya barangkali.
Atmosfer ruangan mendadak cepat berubah lagi. Haru membaur. Laura memeluk ayahnya, menangis sesenggukan sembari berucap terima kasih terlalu banyak. Justin juga ditarik dalam dekap, sesekali ia diberi petuah untuk menjaga putrinya yang rewel.
"Semuanya bener-bener baik-baik aja, Ya," bisik seseorang.
Arya menoleh ketika genggaman tangan itu mengerat. Sepasang mata sedang menganak sungai, merah, jatuh ke mana-mana. Laki-laki itu buru-buru menghapus jejak yang tersisa. Membawa kekasihnya dalam dekap yang hangat dan menenangkan.
"Kita berhasil, Sayang. Semesta ada di pihak kita. Semesta memberi restunya," lirih laki-laki itu. Parau. Ia pasti akan menangis sepuasnya di sana.
***
[ to be continue ]
--[03/09/21; 22.53]--
--[13/09/21]--
...
Sudah sejauh ini ternyata. Aku masih tidak menyangka sudah menghabiskan waktu berapa lama hanya untuk mengetik omong kosong belaka ini.
Aku benar-benar sangat berterimakasih pada siapa pun yang sudah menyempatkan diri untuk membaca ini. Tetap jaga kesehatan! ♡
Btw, bab selanjutnya adalah bab terakhir. Persiapkan diri, ya. Semoga tidak mengecewakan. ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top