[fh · 40] - a chance to feel a beauty of falling

April - Mei 2022.

Langkah yang menjejak pelan mencumbui ubin kayu dengan ritme konstan. Hampir sampai, tetapi kakinya berhenti mengayun tepat di penghujung belokan. Dengan pandangan menunduk, laki-laki itu menatap segenggam kamboja di tangan sembari memangku wajah kelewat riang.

Begitu banyak yang terjadi dalam berbulan terakhir. Sejujurnya, Arya tidak tahu bagaimana atau dari mana harus memperbaiki. Berjibun keping hati yang mesti dipasang kembali. Dan di sini Arya menapakkan kaki saat ini, berdiri di ujung lorong dengan asa untuk dapat mencoba mencuri hati lagi.

"Kamu ngapain di sini, Ya?"

Segenggam kamboja buru-buru disembunyikan. Arya tidak punya pilihan lain selain saku celananya sendiri. Sore yang berangin hampir merangkak naik dan laki-laki itu sudah ketahuan meski belum mencuri.

Arya Alvaro berdeham singkat. Sepasang mata balas menatap manik yang berkilat penasaran bercampur bingung. "Kamu sendiri?"

"Oh!" Randi tertawa ringan. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana. Ia melirik ke salah satu lorong asrama tepat di depan mereka, pasti melihat salah satu pintunya yang masih tertutup rapat. "Aku mau jemput Fira buat nganter dia ke butik."

Ada sesuatu yang membuat dadanya sedikit nyeri. Apalagi yang belum laki-laki itu ketahui tentang sejauh apa hubungan kedua orang ini? Arya makin menyesali tidak berusaha menghubungi Fira ketika berada di London waktu itu.

"Jadi kamu udah jadi supirnya Fira sekarang?"

"Aku, kan, udah jadi adiknya Fira. Jadi otomatis dia jadi tanggung jawab aku," jawab laki-laki yang sedikit lebih tinggi dari Arya itu. Ia menyugar rambut setelah angin berusaha mengacaknya.

"Adik?" Arya menaikkan sebelah alis.

"Kamu ketinggalan banyak informasi ternyata."

Oh, benar. Ternyata banyak sekali yang tidak Arya ketahui. "Maksudnya?"

"Lain kali aja kita bincang-bincang." Randi menepuk-nepuk bahu kirinya, mengulas senyum yang bahkan tidak Arya ketahui apa maksudnya. "Kalau gitu, kamu aja yang anterin Fira ke butik. Mozzafiato, tau, kan? Jangan sampai kakak tersayang itu lecet."

"Kenapa kamu malah nyuruh aku?" Kedua mata itu memicing. Arya sedikit skeptis. Tidak mungkin semudah itu melepaskan saudara sendiri untuk diantar orang lain yang sudah jelas-jelas pernah membuat luka.

"Keliatannya kamu emang niat banget buat deketin Fira. Nggak ada salahnya, kan?" Kali ini senyum yang diulasnya sedikit berbeda, lebih tulus dan seolah sedang berupaya untuk menaruh percaya. Namun, terlampau cepat berubah menjadi senyum yang terkesan malu-malu. "Anyway, aku juga ada dating sama seseorang. Jadi kita impas."

"Ran---"

"Bye, Arya!"

Laki-laki itu hampir melontar protes. Namun, sepertinya ia kalah cepat. Randi terlalu gesit memotong lalu beranjak begitu saja dengan setengah berlari. Arya mengembus napas agak panjang.

Sejujurnya, tidak ada yang bisa ditolak. Adalah hal yang bagus kalau memang seseorang yang mengaku adiknya Fira itu juga hampir memberi restu untuknya. Tujuan laki-laki mengayunkan langkah ke asrama kampus juga karena ingin menjadi salah satu orang yang mengantar Fira. Mengantar ke pekerjaan pertamanya. Satu hal yang menjadi impiannya dulu.

Kadang-kadang Arya juga bertanya-tanya, apakah ia memang sepantas itu mendapat kembali kesempatan kedua. Ia hanya takut rak bisa menepati janji-janji seperti dulu sekali.

"Arya? Kamu ngapain di sini?"

Ia tersentak, kembali dari lautan pikiran yang nyatanya tak pernah berkesudahan. Memang sebaiknya tidak perlu banyak melamun ketika berada di tengah ranah publik.

"Aku ...," Arya berdeham, "aku mau nganterin kamu ke butik." Napasnya tercekat. Ketika sepasang mata menatapnya agak kebingungan, Arya menahan napas.

"Nggak usah, Ya." Kontak mata diputus cepat. Seperti sengaja. Fira malah beralih merogoh ransel putihnya, entah mencari apa. "Randi yang bakal nganterin. Katanya dia mau jemput."

"Randi baru aja bilang kalau dia ada ...." Sekiranya apa pendalihan yang cocok selain memberitahu kejujuran yang agak mengesalkan? "Ada tugas kelompok sama temennya." Laki-laki itu membubuhkan anggukan beberapa kali. Tidak buruk juga. Setelah ini Arya dan Randi harus saling berterima kasih karena telah saling membantu. "Jadi dia minta aku aja yang anterin kamu."

"Oh, gitu?" Lagi, sepasang manik kecokelatan itu menatap, ada binar keheranan yang berkilat. "Kok Randi nggak ada bilang, ya?"

"Kayaknya dia buru-buru." Arya mengatupkan bibir. Ia tahu jika Fira pasti tidak ingin diantar olehnya. Sangat terlihat ketika gadis itu terus-menerus memutus kontak mata. Sekarang ia beralih pada gawai yang layarnya menunjukkan aplikasi pemanggil. "Kamu mau, kan, kalau aku yang anterin?"

Benda pipih persegi itu berakhir diabaikan ketika layarnya meredup. Angin bertiup menerbangkan anak-anak rambut yang tidak terikat. Arya seperti dibawa kembali pada masa sewaktu pertama kali memberi setangkup kamboja merah muda.

Gadis berkucir itu mendongak. Meski tak ada ucap yang terlisankan, matanya seolah sedang mencari-cari jawab yang entah apa. Pada akhirnya, Fira mengangguk, agak kaku. Arya tersenyum diam-diam ketika langkah-langkah dijejaki.

***

Perjalanan memang baru dilalui sebentar saja. Sepuluh menit yang rasanya sangat-sangat canggung dan terlalu banyak memangku dingin yang datangnya entah dari mana. Padahal, Arya tahu sendiri jika suhu AC mobilnya tidak terlalu rendah, pun fatamorgana di jalanan menandakan kalau udara sedang cukup gerah.

Gawai di dasbor mobilnya mendadak berdering. Irama yang pastinya terlalu familier untuk kedua insan yang masih bersitahan saling memangku bisu itu. Arya dan Fira bersitatap singkat sebelum akhirnya saling membuang muka.

Laki-laki itu mengambil ponselnya yang belum juga berhenti berdering ketika lampu lalu lintas mendadak berubah merah. Laju mobil dipelankan, berhenti tak lama kemudian.

Gawai diangsurkan dekat telinga, Arya mendengarkan saja. Dari ujung mata pun, laki-laki itu tahu jika ada sepasang mata yang sedang mencuri satu dua lirikan untuk mencari tahu. Panggilan terputus ketika lampu lalu lintas berganti hijau lagi dan klakson macam-macam kendaraan mendadak mengisi udara. Mobil bergerak lagi, pelan lalu berada di kecepatan rata-rata. Sengaja agar perjalanan mereka sedikit lama.

"Kamu masih pake lagu itu, Ya."

Arya menoleh sebentar, lalu beralih lagi pada jalanan yang tidak terlalu ramai. Ia mengernyit sebab tidak mengerti apakah sepenggal kalimat itu adalah tanya atau pernyataan.

"Kamu sendiri?"

"Enggak," jawabnya terlalu cepat. Arya dibuat agak sedikit nyeri di dada kirinya. "Tapi kadang accidently aku masih sering denger."

"Accidently, hmm."

Laki-laki itu menelan ludah susah payah. Sesekali berusaha melirik Fira yang duduk di sampingnya. Air mukanya hampir tak beriak, berpandangan lurus ke jalanan yang setengah kosong, tetapi binar di matanya sedang berucap kalau ada sakit yang sedang berusaha ditahan. Arya yang sekarang malah merasa bersalah.

"Aku hampir berhenti denger ketika kamu nggak ada kabar selama kuliah di sana."

Arya meringis. Genggaman pada setir mobilnya sedikit mengetat. Laki-laki itu mengembuskan napas pelan. "Maaf, Zhafira."

Hening di ruang mobil itu kembali menyelimuti. Deru berbagai kendaraan yang berusaha mendahului nyatanya sama sekali tak bisa menyibak senyap yang kian kentara. Arya malah merasa kalau pilihannya untuk mengantar Fira seperti ini malah berakhir menjadi hening yang tiada henti.

"Boleh aku tanya sesuatu?" Arya menelan saliva lagi. Menunggu sebentar untuk mendapat respons. Ketika dehaman pendek dan pelan mengudara, laki-laki itu mengulas segaris senyum yang berakhir juga dengan murung. "Kalau semisal setelah sambungan terakhir kita, aku nggak pernah kembali; entah untuk hal yang kayak gini atau untuk panggilan lain, apa kamu tetep bakal bertahan?"

Jedanya agak lama, Arya hampir tak sabaran. Belum lagi sudah ada tanda-tanda kalau mereka akan sampai di tujuan. Mengapa juga hening membuat mereka menjadi cepat sampai? "Aku nggak tau."

"Apa ada kesempatan untuk kamu bakal mencintai orang lain selain aku?"

Gerak mobil memelan. Fira menoleh singkat, seperti baru sadar kalau mereka ternyata sudah sampai. Boleh, kan, Arya juga berharap kalau gadis itu juga sedang berasa agar mereka tidak cepat-cepat sampai?

"Ada banyak kesempatan." Jedanya ternoda hela napas. "Tapi, aku nggak pernah ngambil barang salah satunya."

Setelah berbelok ke pelataran jejeran toko-toko, mobil hitam itu parkir di antara barisan mobil-mobil lain. Sabuk pengamannya dilepaskan, laki-laki itu menyondongkan duduk ke arah Fira. Gadis itu menoleh saja, mereka bersemuka.

"Itu artinya perasaan kamu terhadap aku memang masih sama, kan?"

"Aku nggak mungkin ngasih kamu kesempatan terlalu banyak, Arya." Ucapannya hanya serupa bisik saja, tetapi ada banyak emosi yang bisa Arya tangkap. Kebanyakan adalah pilu dan amarah. "Aku bisa berubah pikiran kapan aja."

"Tapi nggak bisa semudah mengubah arah hati, Zhafira." Biarlah kali ini Arya yang terdengar putus asa. Mendengar macam-macam penolakan lagi dari gadis ini saja rasanya sudah hampir mati. Namun, ini salahnya juga. Arya bertahan karena masih ingin memperbaiki segalanya seperti semula. "Aku udah sejauh ini, kamu---"

"Kamu bertindak sejauh apa?" Nada bicaranya meninggi, bahu Arya sedikit tersentak. "Menurut aku, kamu belum ngelakuin apa pun. You just try harder. Ada harga yang harus dibayar kalau pecahan hati nggak lagi sempurna. Aku pikir kamu tau kalau semua ini berawal dari kamu sendiri."

Gadis itu benar, bahkan sangat. Semua ini memang berawal dari Arya. Semua yang dilakukannya adalah kebodohan. Belum lagi ia selalu membawa-bawa orang lain dalam kesulitan. Apa lagi? Seharusnya memang laki-laki itu tak pantas mendapatkan apa pun juga.

Napas diembus terlampau kasar. Lantas, pintu mobil terbuka singkat dan tertutup lagi. Namun, belum sempat Fira melangkah jauh, kaca mobil diturunkan. Ia memekik dari dalam. "Kamu masih ngitung jamnya?"

Tidak ada jawaban yang berusaha diangsurkan. Hanya tatap tanpa riak yang tidak berarti apa pun. Langkah-langkah malah dijejaki menjauh, hilang. Di titik itu Arya baru berusaha merogoh saku celananya. Setangkup kamboja mencumbui ujung jemarinya. Namun, sudah layu, sudah loyo, bahkan sebelum sempat berpindah tangan. Arya akan mencari yang baru, yang lebih segar. Kalau bisa, tanamannya saja sekalian.

Setelah hari itu, tiap-tiap waktu yang berlalu mendadak berubah menjadi misi untuk membuat seorang insan kembali jatuh hati. Arya sedikit senang karena orang-orang tidak lagi membicarakan Fira sebagai gadis yang berusaha meretakkan hubungan. Seharusnya mereka berganti mencela Arya saja. Biar laki-laki itu sadar kalau kesalahan yang lampau sekali itu telah membuatnya menjadi menyesali banyak hal.

Begitu banyak kelopak-kelopak kamboja yang melayu disisipkan; laci meja, sela halaman diktat, bahkan tas Fira yang kadang malah dipenuhi oleh bunga-bungaan. Sesekali, ia menulis bait-bait puisi aneh yang ditemui di buku-buku perpustakaan atau internet. Ditulis di notes tempel dan direkatkan di bukunya Fira. Pasti gadis itu jengah juga, tetapi Arya hanya sedang mencari cara apa saja bagaimana harus menarik kembali gadis itu kembali.

Terkadang ia juga ikut bergabung ketika gadis itu duduk sendirian di bawah pohon pinus tua itu. Meski tidak saling mengucapkan apa pun, ia hanya ingin Fira tahu kalau dirinya masih ada di sana. Atau ketika gadis itu duduk di kafetaria kampus bersama April dan Randi. Arya akan datang, seperti kekasih lama yang baru kelihatan sekarang. Ya, setidaknya menemani Fira yang duduk di antara sepasang kekasih yang sedang lovey-dovey.

Hingga di suatu hari, setelah beberapa waktu terlewat untuk berusaha mencari jatuh yang indah, Arya memberanikan diri untuk menulis di notes tempel. Sepenggal kalimat yang telah lama ingin ia tanyakan, tetapi lagi-lagi takut berakhir penolakan.

Kamu mau kita ulang semua cerita kita lagi? Hanya ada dua pemeran utamanya, hanya kita.

Kertasnya ditempel di sebuah botol kaca. Botol yang sama yang saban hari tidak jadi diberikan sebab ia belum menceritakan soal hubungan akal-akalan. Ditempatkan di laci meja Fira. Lantas setelahnya menunggu jawaban dengan degup yang kian berpesta pora.

Arya Alvaro menunggu si bawah pohon pinus tua yang menjulang itu. Seorang diri saja. Menatap kolam ikan berganggang itu dengan kegugupan yang terus melanda. Jadi, ketika sepasang langkah mengayun mendekat, menjejaki rumput pelan-pelan, Arya menahan napasnya.

Mereka sudah bersemuka, hanya berjarak tiga langkah saja. Arya juga melihat kalau gadis itu juga membawa notes tempel berwarna merah muda yang tentu saja Arya ingat untuk ditempel di permukaan botol itu. Ia mencoba membaca apa sekiranya jawaban yang akan diberikan Fira melalui tatapan mata. Namun, tidak ada riak emosi apa pun.

Notes tempel disodorkan. Tangannya mengambang sebentar sementara Arya agak ragu meraih. Pada akhirnya, benda merah muda itu berpindah tangan. Lipatannya dibuka. Di bagian paling bawah, ada tulisan tangan berbeda. Tinta hitamnya agak luntur, barangkali terburu-buru kertasnya dilipat sementara tinta belum juga kering.

Namun, satu kata yang terlalu singkat itu nyatanya dengan cepat mengusir gugup. Terlampau cepat membawa ulas senyum bahagia. Dua pasang mata bersirobok lagi, sedang saling melempar tatap yang terkesan riang dan malu-malu.

Di notes itu tertulis, Ya.

***

Gerimis menyapa kaca-kaca jendela besar kafe itu ketika seorang laki-laki muda membuka pintu. Bel berdenting dua kali, seolah hendak memecah gamang yang mendadak menghampiri dada.

Pandangannya menyisir ke penjuru kafe yang hampir tiap mejanya terisi. Arya hampir linglung, tetapi ketika seulas senyum merekah menyapanya dari meja yang tepat berada di tengah-tengah, ia diam-diam menghela napas lega. Langkah diayun lagi, pelan tapi pasti. Arya menarik kursi dan duduk di depan seorang pria paruh baya yang masih mengenakan setelan kemeja lengkap dengan jas dan dasinya.

"Kamu tadi kehujanan, nggak? Mau pesan apa?"

Arya bahkan belum sempat membalas ketika pria itu sudah lebih dulu memanggil seorang pelayan dan memesankan cappuchino hangat dan sepiring kue pie madu.

"Kamu beneran seserius itu sama anak saya?"

Arya mendongak pelan setelah beberapa saat menunduk, menatapi meja bundar dari rotan itu. Inilah pertanyaan yang memang seharusnya memulai pertemuan tak direncanakan ini. Kemarin malam, sesaat baru saja pulang dari kelas terakhirnya, Arya mendapat panggilan dari Randi. Ia bilang, Nugroho, ayahnya sekaligus juga ayah Fira ingin bertemu di kafe tempat Randi bekerja. Laki-laki itu mengiyakan saja meski ia tidak menyiapkan apa pun untuk macam-macam pertanyaan yang barangkali telah mampir di kepala jauh hari.

"Enggak, enggak. Saya nggak maksa kamu buat nikahin dia sekarang. Soal itu, kan, kalian sendiri yang menentukan." Padahal Arya belum juga melontarkan ucap apa pun. Barangkali matanya terlalu banyak menampung gamang yang sampai berlimpah-limpah. "Maksud saya di sini, apa kamu bisa pastikan kejadian dahulu nggak terulang? Ada banyak hal yang saya tinggalkan, saya nggak mau Rara sedih-sedih terus."

"Saya nggak bisa menjanjikan apa pun, Om." Arya berhenti berucap ketika secangkir cappuchino hangat tersuguh bersama sepiring pie yang madunya meleleh ke sana-kemari. "Yang saya tau, saya menyayangi Fira. Tapi saya rasa itu nggak akan cukup karena sebuah hubungan nggak akan pernah ada yang berjalan mulus."

Dari cara pandang Nugroho terhadapnya, Arya sama sekali tidak merasa sedang diadili atau diintimidasi. Ia seolah sedang berbicara dengan sosok ayah yang mendengarkan curahan hati putranya. Arya merasa nyaman.

"Satu hal yang paling sulit sebenarnya adalah mencari restu orang tua. Semuanya terjadi karena orang tua saya nggak terlalu suka hubungan ini. Jadi ...."

"Kalau kamu memang sesayang itu sama anak saya, ada banyak cara untuk melaluinya, Nak." Senyum hangat terulas pelan-pelan. Secangkir teh chamomile yang asapnya masih mengepul-epul disesap. Pria itu juga berisyarat agar Arya segera menikmati cappochino-nya.

"Om ... Om ngerestuin saya menjalin hubungan sama Fira?"

"Kalau kamu sungguh-sungguh sama ucapan kamu, kenapa enggak? Tapi saya belum kasih restu sepenuhnya kalau masih ada masalah yang belum diselesaikan, Arya."

Laki-laki muda itu mengembuskan napas palan. "Papa," lirihnya sembari mengalihkan pandangan pada ubin kayu. Singkat saja. Lantas ia menatap lagi sepasang mata tegas milik seseorang di depannya. "Kalau saya minta izin untuk bawa Fira, Om bolehkan?"

Di hampir penghujung bulan itu, di sore yang telah gelap akibat gumpalan awan keabu-abuan, berniat menjemput malam melalui senja yang hampir datang, Arya baru sadar akan satu hal. Tidak akan ada cinta yang bertahan lama tanpa restu semesta. Jadi, ketika seulas senyum teduh kembali tampak bersama anggukan pelan nan meyakinkan, Arya bertekad membuat semesta memberi restu sebanyak-banyaknya.

***

[ to be continue ]

--[02/09/21; 23.40]--
--[12/09/21]--

...

Hampir mendekati ending, nih. Apa harapan kalian untuk endingnya nanti?
Hmm...

Terima kasih. Rasanya aku nggak akan bosan berterima kasih, ya. Jangan lupa jaga kesehatan! ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top