[fh · 39] - throwback august to bring back the feelings

April, 2022.

Manusia adalah salah satu dari sekian banyak makhluk Tuhan yang aneh. Namun, menurut Arya, manusia tidak aneh. Sama seperti anasir pada umumnya, mereka hanya istimewa. Barangkali disebabkan punya macam-macam perasaan yang hampir sebagian besar berdasarkan pengendalian hati dan pikiran.

Hari itu, cuaca berselimut panas menyengat. Bahkan angin yang bertiup saja malah menghantarkan gerah tak main-main. Di sana, di sebuah titik di mana Arya melihat suatu hal yang membuatnya kembali dilanda iri. Ketika langkah-langkah dijejak agak gegabah menuju meja bundar yang terbuat dari semen serta bangku yang terbuat dari kayu akasia, ia merasa sedang sesak napas. Bukan sebab rasa gembira yang terlukis di wajah Randi ketika menyapa teman satu jurusannya, tetapi sebab mimpi yang sedang berusaha dibangun di atas meja bundar itu.

Instruktur bangunan dengan banyak lantai, barangkali sebuah perkantoran, apartemen, atau memang gedung pencakar langit. Dari bawah atap koridor ke meja bundar di bawah pohon mangga yang jaraknya kira-kira dua puluh meter itu, Arya bisa melihat Randi yang sesekali memperbaiki tata letak bagian yang sedikit miring.

Apakah Arya pernah bilang, selain kedekatan Randi dengan Fira, hal lain yang membuatnya cemburu adalah mimpi yang tidak pernah berusaha untuk dihindari? Sebenarnya bukan hanya Randi saja, tetapi setiap orang yang mereka belajar di tempat itu untuk menggapai asa-asa yang tergantung jauh hari juga bagian dari dengkinya Arya.

Dulu sekali, laki-laki itu ingat kalau pernah ditanyai oleh Fira mengenai cita-citanya. Arya memang lupa hari apa waktu itu, tetapi ia ingat bahwa hari itu ia baru saja selesai bertanding cabang olahraga bulu tangkis di GOR dengan sekolah lain. Mereka duduk di tribun dekat lapangan, duduk berdampingan sembari menatap orang-orang yang masih berlatih meski senja sudah merangkak naik.

"Kalau kamu nanti udah dewasa, profesi impian kamu apa, Ya?"

Laki-laki itu bahkan masih ingat nada lembut bercampur penasaran dari suara kekasihnya. Arya baru saja memenangkan medali emas, tetapi sang ayah bahkan tak datang untuk sekadar mendukung atau memberi selamat, menghubungi pun tidak. Padahal, jauh sebelum hari ini, pria itu selalu marah kalau Arya melewatkan sehari saja untuk bolos latihan.

Namun, ia merasa dua kali lipat lebih baik ketika Fira menyusup ke tribun penonton di pertengahan pertandingan. Sangat manis, ketika tiba-tiba senyum mengembang dan isyarat semangat dari bibir itu terajah jelas. Fira tak perlu berteriak seperti penonton lain di sana untuk memberi suntikan yang berlimpah akan macam-macam bara untuk mendapatkan kemenangan.

Keringat yang mengucur jatuh dari dahi diusap dengan handuk kecil berwarna putih. Di salah satu ujungnya terdapat bordiran bertuliskan namanya sendiri. Fira yang memberikan. Gadis itu juga yang membuat, katanya. Arya tersenyum geli dengan tatap yang terus mengarah pada ujung handuknya.

"Aku masih belum tau," kata laki-laki itu. Ia memberi jeda singkat sebab menenggak air dari botol baru yang diberikan sang pelatih. Ini akan jadi botol kelima yang akan Arya tenggak habis. "Menurut kamu, aku cocoknya jadi apa?"

"Atlet badminton?" Kekasihnya itu berucap tidak yakin. Ia menyilangkan kaki dengan bibir yang mengerut. Tanpa diketahui Fira, ia tersenyum malu-malu. Gadis itu benar-benar sangat lucu. "Kamu juga jago melukis, kamu mungkin bisa jadi pelukis hebat."

"Gitu?" Arya mengangguk beberapa kali, ikut juga mengerutkan bibirnya. Fira menoleh juga pada akhirnya, gantian dahi yang berkerut heran. "Menurut kamu, emang seharusnya profesi yang cocok untuk seseorang itu sesuatu yang mereka jadikan hobi atau yang mereka kuasai?"

Fira mengangguk. Senyum yang semula tipis perlahan sedikit merekah. Wajahnya hampir sama persis seperti kamboja muda di rooftop rumahnya.

"Kamu emangnya mau jadi apa?"

Gumam panjang mengudara bersama sorak dari pelatih yang menghitung poin atau meneriakkan 'smash' di tengah lapangan. Fira lagi-lagi berpaling. Arya sebenarnya tidak mau, tetapi ternyata menatapi kekasihnya dari samping seperti itu lebih menakjubkan.

"Aku sering belajar ngejahit sama bunda," jawabnya. Di bibir itu ada segaris senyum bersama tatap yang mengarah ke langit-langit GOR. "Aku juga lumayan sering buat desain baju gitu. Bunda bilang, mungkin aku bisa coba masuk jurusan tata busana nanti. Jadi, aku mau jadi desainer."

"Bagus, dong. Bunda kamu bener, actually selalu bener. Nggak ada salahnya dicoba dulu, kan?"

Sepasang mata kembali menatapnya. Intens dan sedikit menuntut. Arya mengernyit. "Terus kamu mau jadi apa, Ya? Kamu belum jawab."

Senyum merangkak naik, lesung di pipinya muncul. "Aku mau jadi arsitek aja." Namun, lambat laun malah berubah menjadi senyum jahil yang membuat pandangan Fira menjadi skeptis. Belum lagi Arya yang menambahman kerlingan di mata kiri. "Biar saling melengkapi sama kamu."

Fira memicing. "Emang tata busana sama arsitektur hubungannya apa?"

"Nanti, kamu yang bakal bikin busana buat pernikahan kita. Terus aku yang bikin rumah untuk masa depan kita. Melengkapi, kan?" Laki-laki yang masih mengenakan pakaian olahraganya itu menaikkan alisnya singkat. Menambah intensitas senyum jahil yang makin mengesalkan.

"Arya, kamu bau. Aku nggak mau deket-deket."

Fira hampir bangkit berpindah, tetapi Arya dengan ligat menahan. Gadis itu berakhir tetap di tempat dengan wajah yang berpaling. Melihat kekasihnya malu seperti itu, Arya malah gencar menyemburkan tawa. Satu dua pukulan mendarat di bahunya.

"Oh, kenapa? Kamu nggak mau? Padahal muka kamu merah gitu, loh." Arya tertawa singkat, mencoba melihat Fira yang masih terus memalingkan wajah. "Jangan bohong, Zhafira. Aku tau kamu seneng, kan? Iya, kan? Ngaku kamu."

"Arya, ish! Udaaah!"

Laki-laki itu ingat dengan jelas bagaimana kekasihnya terus berusaha memalingkan wajah. Mengulum senyum mati-matian yang nyatanya mustahil disembunyikan, wajah merah padam yang sama sekali tak bisa dipalingkan dari mana-mana.

Langkah-langkah yang dijejak tergesa, dengung orang yang berbicara bersahut tak jelas, dan gemerisik dedaunan dari pohon mangga di dekat sana membawa Arya kembali pada masa yang seharusnya dijalani. Kemarin, setelah berbincang banyak dengan Laura, laki-laki itu banyak melakukan niat-niat yang semoga saja bukan hanya sekedar pikiran belaka. Berjibun hal yang harus diperbaiki, banyak yang perlu dimulai kembali, dan Arya mungkin hanya punya kesempatan sekali lagi. Seharusnya ia memanfaatkan waktu yang ada saat ini.

Arya Alvaro mengembuskan napas panjang. Kaki berbalut sneakers putih hitam itu mengayun pelan, itu membaur bersama beberapa mahasiswa lain menuju satu tempat yang dulu sekali pernah punya kenangan. Arya akan memulainya dari sana.

***

"Kamu masih ngitungin jamnya?"

Granit di ujung pensil mendadak berhenti mencumbui kertas. Kepala mendongak agak tergesa dan sepasang mata menatap dengan bulatan sempurna. "Hah?" Zhafira agak linglung, menatap April dan kertas yang sudah dicorat-coret bergantian. Ia menggeleng tegas. "Enggak!"

April memicing, sangsi dengan jawab bernada sentakan. "Jangan pikir aku nggak tau, Ra."

"Apa, sih, April?" Manik kecoklatan itu bergulir sebentar ke arah keramik yang berkilau akibat cahaya lampu. Fira tertawa, terdengar terpaksa dan dibuat-buat ketika seorang gadis melewati meja mereka menuju sebuah rak di sampingnya. "Jam apa maksud kamu?"

Aprilia Faranisa berdecak. Gadis berwajah oriental itu melirik ke arah meja petugas sebelum akhirnya mengambil kertas desain setengah jadi milik Fira. "Ini," katanya sambil menunjuk angka yang ada di paling sudut kanan atas. Fira meringis ketika sahabatnya itu hampir memasang wajah murka. "Kamu pikir aku bisa dibohogin lewat desain kamu ini? 8.789, ini jam yang masih selalu kamu itungin, kan?"

Kertas dikembalikan, laptop juga diabaikan. April menghela napas bersamaan dengan tangannya yang menggaruk alis. Yang dikatakan April tidak ada yang salah, ia memang masih menghitung tiap-tiap jam itu bahkan ketika sudut-sudut dadanya masih menyimpan kepingan hati yang tersusun rapuh.

Anehnya, Fira tidak bisa meninggalkan rutinitas untuk menghitung waktu yang sebenarnya malah membuatnya sesak. Kadang-kadang ia juga sendirian terisak. Bertanya mengapa janji hampir selalu berakhir tak tertepati. Namun, hanya ada sunyi yang tak henti menepi.

"Ra, aku beneran nggak marah kamu emang masih nunggu hal-hal itu kembali." Suara April tak lagi seperti desisan amarah, telah berganti melembut. "Jawab jujur, kamu masih sayang, kan, sama Arya?"

Zhafira mengerjap. Ia mendadak sesak napas. "Aku nggak tau." Lantas sepenggal ucap itu terlontar bebas tanpa izin yang jelas.

"Ra ...."

Namun, begitu nada yang sedikit memperingatkan itu menyentuh gendang telinganya, sesak napas tiba-tiba menguap. Sepasang mata milik April menatapnya agak menuntut dan Fira merasa harus mengatakan yang sejujurnya sekarang.

"Iya, aku masih sayang dia, April." Kalimatnya hanya serupa bisik saja. Fira kembali menunduk, memandangi desain jas wanita yang direncanakan ia beri warna mustard. "Tapi aku takut kalau kejadian yang waktu itu terulang. Aku takut nggak ada ucap yang berakhir sungguh-sungguh. Aku takut ... semua pengembalian cuma sebuah awal untuk kepergian yang lebih menyakitkan."

"Tapi kamu percaya, nggak, sama Arya?" Pundak disentuh lembut. Memang Fira berbicara pada orang yang tepat. April seperti rumahnya yang lain. "Kalau kamu takut, itu artinya kamu harus lebih banyak percaya sama hati dan pikiran kamu. Aku nggak bilang kamu harus nerima perasaan kamu yang masih sayang sama dia. Aku juga nggak bilamg kamu harus lupain Arya."

Meskipun gadis berwajah oriental itu tidak memaksanya untuk menatap, Fira sendiri yang ingin melihat binar yang berkilauan di mata sahabatnya. Setelah berpacaran dengan Randi, Fira pikir akan banyak yang berubah dari April. Gadis itu memang berubah, tetapi lebih dewasa. "Yang harus kamu inget, nggak ada jatuh cinta yang indah. Mau kamu lepasin atau tetap genggam, pasti dua-duanya tetap ngerasain sakit."

"Menurut kamu, kali ini Arya bakal gimana?"

Gadis berkucir itu berucap setelah jeda lama yang agak menggelisahkan. April menarik tangan dari bahu, beralih menggenggam kedua tangan yang bersuhu sedikit rendah darinya.

"Gimana apanya? Satu kampus tau kalau dia ngejer kamu, Ra."

"Maksud aku ...." Fira tahu sendiri, bahkan kalau ia tidak berucap pun, April tahu apa yang ada dalam pikirannya. Namun, tetap saja dia mencari-cari padanan kata yang tepat. "Apa Arya sungguh-sungguh?"

Senyum terulas lembut. April berkedip sekali. "Jangan tanya pendapat orang lain, Fira. Kamu sebenarnya bisa nilai sendiri dari cara pandangnya."

Zhafira Freya tahu sendiri jika perpustakaan tidak akan pernah berakhir dengan senyap yang terlalu janggal seperti ini. Memang hanya dua detik saja, tetapi ia merasa akan ada sesuatu hal yang akan terjadi. Derap-derap langkah terdengar lagi, derit kursi mendengungi telinga kembali.

Ia mencoba kembali menyentuh kertas desain setengah jadi ketika April mengusap sekilas punggung tangannya. Namun, gadis berkucir itu malah berakhir dengan menatapi lorong panjang yang kanan-kirinya menjulang rak-rak dengan buku berdesakan. Fira jadi teringat waktu ketika pertama kali menapaki lantai perpustakaan di sekolah menengah atasnya. Ia mencari buku Biologi di rak Fisika. Senyum geli tiba-tiba merangkak naik ke wajahnya. Mana bisa ketemu.

Akan tetapi, dengan cepat senyum itu menguap. Berganti dengan pandangan agak murung dan bibir yang dikulum. Itu adalah kali pertama Arya dan Fira bertemu. Memang bukan pertemuan yang terlalu mengesankan, tetapi bahkan Fira masih bisa mengingat detailnya dengan jelas sampai sekarang.

Napas dihela pelan, berharap bisa mengenyahkan dan memfokuskan pikiran. Ada desain yang harus dikerjakan. Sejak bekerja di butik, ya secara harfiah adalah milik ibu tirinya, Fira baru menyelesaikan satu produk saja. Itu pun masih harus diperbaiki lagi. Ia jadi sedikit tak enak karena tidak bekerja sesuai ekspektasi.

Namun, singkat saja. Entah waktu yang terlampau cepat berlalu atau memang ada masa di mana sekitarannya bergerak terlalu cepat. Derap langkah ringan dijejak mendekat. Meskipun hanya menatap sepasang sepatu saja, Fira sudah merasa hampir tercekat.

Sebuah buku setebal dua ruas jari mendadak tersodor di hadapannya. Perlahan diletakkan dekat dengan kertas desain yang tadi dicelotehkan oleh April. Warnanya dominan hijau, tetapi ada bagian tertentu yang berwarna putih gading dan hitam. Meskipun itu adalah buku yang sudah jelas berisi tentang bagaimana menjadi seorang desainer, Fira tidak mungkin salah ingat jika warnanya hampir sama seperti buku Biologi yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka.

Setelah mengembuskan napas, pelan-pelan kepalanya mendongak. Membalas tatapan teduh dari sepasang mata bermanik legam. Dadanya mendadak berdegup tak keruan. Terutama ketika senyum tipis terulaskan, serta tiga tangkai kamboja yang sedikit layu diletakkan di atas buku yang baru saja diberikan. Sebelum langkah itu berderap menjauh, secarik kertas berwarna merah muda mampir di atas kertas desain yang terabaikan.

Manik kecoklatan itu bergulir pada tiga benda di hadapannya. Menurut penglihatan orang biasa tidak ada yang istimewa. Namun bagi Fira, sukses membuat degup dalam rongga dadanya yang berpesta pora. Gadis itu mendadak merasa menjadi orang yang istimewa.

Secarik kertas merah muda diraih. Meskipun sudah berupaya keras menyembunyikan lengkungan di wajah, Fira tetap tidak terbiasa untuk berpura-pura tidak bahagia. Dengan kepala yang tertunduk dalam, matanya bergulir membaca tiap-tiap kata yang ditarik menggunakan tulisan tangan familier.

...-------...

Mau tau sebuah rahasia yang nggak pernah aku kasih tau bahkan ke kamu sekalipun?

Aku udah ngincer kamu sejak hari pertama kita menginjak SMA 1 Perwira sebagai murid kelas sepuluh.

Hai, Zhafira. Senang melihat warna kamboja di wajah itu.

...-------...

Gadis itu berkedip beberapa kali. Tidak mengerti juga mengapa tiba-tiba kedua belah pipinya terasa sedikit hangat, barangkali sudah memerah juga. Ia melirik April yang betah berkutat dengan laptop, sabahatnya itu bahkan tidak mau melirik balik. Atau memang sengaja membiarkan Fira malu sendirian.

Perlahan, tiap sudut bibirnya merangkak naik. Sebuah senyum yang mengisyaratkan malu yang indah. Manik kecokelatan itu bergulir, mencari-cari di mana sekiranya seseorang yang sudah membuatnya hampir bersembunyi di balik batang pinus dekat kolam ikan. Sepasang mata bersua, Fira makin merona.

Di seberang sana, terpaut hanya satu meja saja, Arya juga memasang senyum serupa. Sesekali menggulirkan mata ke arah lain, tetapi pada akhirnya tetap juga saling menatap. Fira tidak tahu mengapa seolah bisa mendengar sudut hatinya sedang berusaha untuk membuka lagi pintu yang beberapa waktu lalu berupaya untuk ditutup. Namun, kepalanya malah berceloteh kalau waktu tetap harus ikut andil untuk memutuskan apakah pintunya harus berakhir dibuka lebar atau ditutup saja sekalian.

Zhafira bimbang. Meski hanya ada satu jawaban, tetap saja cabangnya tidak bisa dibiarkan. Waktu sepertinya memang satu-satunya hal yang sedang ia butuhkan.

***

[ to be continue ]

--[31/08/21; 22.18]--
--[11/09/21]--

...

Ngomong-ngomong, FH udah mendekati ending. Siap-siap, ya. Haha.

Terima kasih sudah bersedia membaca cerita aneh ini. Tetap bahagia dan jaga lupa jaga kesehatan. Luv ya! ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top